Dr. H. Biryanto, M.Si
|
(CAKAPLAH)-Bulan Ramadan tahun 1444 Hijriah tidak berapa lama lagi akan meninggalkan kita. Bulan Ramadan yang datang hanya sekali dalam setahun ini, sangat identik dengan ibadah puasa yang merupakan salah satu dalam rukun Islam. Kewajiban berpuasa di bulan Ramadan bagi umat Islam dinyatakan secara jelas dalam Alquran Surat Al-Baqarah Ayat 183 yaitu “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.”
Menurut Ibnu Katsir dalam kitab Al-Azhim menjelaskan bahwa ayat dimaksud berkaitan dengan perintah puasa yang tidak hanya diwajibkan menahan diri dari makan, minum dan jimak saja, akan tetapi sebagai ibadah yang harus didasarkan pada niat yang lurus karena Allah, menjauhkan diri dari segala perbuatan yang dilarang dan mensucikan diri lahir dan batin. Ayat tersebut juga menunjukkan bahwa kewajiban berpuasa telah ada pada umat sebelumnya, sehingga kita sebagai umat Rasulullah diharapkan dapat melaksanakan puasa dengan lebih bersungguh-sungguh, sehingga dapat menyempurnakan ibadah puasa menjadi lebih baik daripada umat sebelumnya.
Puasa sendiri tidak hanya sekedar menahan lapar dan minum, tetapi juga menahan hawa nafsu dan semua hal yang dapat membatalkan dan merusak pahala puasa. Menurut Imam Al-Ghazali (450-505 H) seorang ulama besar yang berasal dari Iran, yang juga dikenal dengan ulama bergelar hujjatul Islam atau pembela Islam yaitu gelar yang diberikan kepada seorang ulama yang memiliki jasa luar biasa dalam mempertahankan prinsip-prinsip kebenaran Islam dengan argumen yang kuat dan sulit dipatahkan oleh pihak lain yang tidak mempercayai Islam, menyebutkan dalam kitabnya yang masyhur yaitu Ihya Ulumuddin, bahwa terdapat tiga tingkatan orang berpuasa, yaitu puasa tingkatan orang awam (shaum al-'umum), puasa tingkatan orang istimewa (shaum al-khushush), dan puasa tingkatan orang sangat istimewa (shaum khawas al-khawash).
Pada puasa tingkatan pertama, seseorang yang berpuasa hanya sekedar menahan lapar, minum, dan berjimak, namun belum menjaga dirinya dari perbuatan yang tercela. Mereka masih terbiasa berkata kasar, berdusta, mengambil hak orang lain, riya, mencari kesalahan orang lain, dan tidak mampu menjaga dirinya dari perbuatan yang buruk. Oleh karena itulah puasa pada tingkatan pertama ini disebut dengan puasanya orang awam atau orang kebanyakan, sehingga mereka hanya memperoleh lapar dan dahaga saja, namun esensi dari puasa itu sendiri tidak dapat mereka peroleh.
Pada puasa tingkatan kedua, seseorang berpuasa tidak hanya sekedar menahan rasa lapar, dahaga, dan berjimak saja, tetapi telah mampu menjaga dirinya dari perbuatan tercela dan berbagai hal yang merusak ibadah puasa. Mereka mampu menjaga lisannya dari perkataan yang buruk, menjaga pendengarannya dari perkataan yang sia-sia, menundukkan pandangannya (ghadhdul bashar), dan menjaga semua anggota tubuhnya dari berbagai hal yang dapat menimbulkan dosa. Berpuasa pada tingkatan inilah yang disebut Imam Al-Ghazali puasanya orang yang terpilih atau istimewa.
Berikutnya, puasa pada tingkatan tertinggi yaitu seseorang yang berpuasa dengan membebasakan dirinya dari semua kepentingan dunia, dan berkhidmat melalui ketaatannya kepada Allah semata. Mereka yang berpuasa pada tingkatan ini tidak lagi menahan lisan, pendengaran, mata, dan semua anggota tubuhnya dari perbuatan tercela, tetapi telah sampai dengan menjaga hati dan pikirannya. Pada tingkatan inilah yang disebut dengan puasanya orang dengan derajat yang sangat istimewa atau puasanya para nabi dan wali Allah.
Berdasarkan tiga tingkatan puasa yang dikemukakan oleh Imam Al-Ghazali tersebut, tentunya kita sebagai orang yang beriman tidak hanya ingin berpuasa sekedarnya saja, yaitu seharian berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Kita dianjurkan untuk senantiasa memperbaiki diri, berbuat lebih baik dari waktu ke waktu, dan tidak menunda-nunda untuk melakukan kebaikan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Alquran Surat Al-Baqarah Ayat 148 yaitu: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka, berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai tingkatan puasa yang lebih tinggi, adalah dengan menerapkan komunikasi yang baik dan bernilai ibadah. Diperlukan kesungguhan dan tekad yang kuat untuk berkomunikasi dengan baik dan bernilai ibadah tersebut, karena memang selama ini kita banyak berkomunikasi hanya sekedar untuk sharing informasi saja. Lebih bahayanya lagi jika komunikasi yang kita lakukan malah menjadi perbuatan dosa dengan berkata yang tidak benar, menceritakan keburukan orang, dan berkata kasar yang dapat menyinggung perasaan orang lain.
Melalui ibadah puasa, kita sebenarnya dilatih untuk berkomunikasi dengan baik dan bernilai ibadah. Setidaknya ibadah puasa dapat meningkatkan tiga keterampilan dasar berkomunikasi. Pertama, berbicara yang baik dan menyejukkan. Orang yang berpuasa dilatih untuk menjaga lisannya dari perkataan yang buruk. Berbicara yang baik dapat dimulai dengan tujuan berkomunikasi yang baik, memilih kata yang baik, dan isi pesan yang sesuai fakta. Tujuan komunikasi yang baik contohnya adalah berkomunikasi untuk saling mengingatkan sesama dalam kebaikan, berbagai informasi yang bermanfaat, dan mengajak orang lain untuk berbuat yang benar.
Tujuan komunikasi tersebut kemudian dilanjutkan dengan menyusun isi pesan yang baik, dengan pemilihan diksi yang sesuai, dan informasi yang tepat. Setelah pesan komunikasi didesain dengan baik, maka dilanjutkan dengan menyampaikan pesan tersebut dengan cara yang baik pula, seperti menjaga intonasi, volume, gestur, mimik, sikap tubuh, dan komunikasi nonverbal lainnya. Pada intinya, berbicara yang baik merupakan kesatuan dari komunikasi verbal dan nonverbal yang saling melengkapi.
Keterampilan dasar komunikasi berikutnya yang dapat dilatih saat berpuasa adalah dengan mendengarkan yang baik. Orang yang berpuasa juga harus dapat menjaga pendengarannya dari sesuatu yang sia-sia. Mendengar (hear) dan mendengarkan (listen) adalah sesuatu yang berbeda. Mendengar merupakan respon tubuh yang melibatkan indera pendengaran dan bersifat pasif, sedangkan mendengarkan merupakan proses aktif yang bertujuan untuk memahami dan memaknai pesan yang diterima. Mendengarkan yang baik contohnya ketika kita menyimak lantunan ayat suci Alquran, memahami tausiah atau ceramah keagamaan, dan lainnya yang memiliki faedah.
Untuk dapat melatih keterampilan mendengarkan yang baik maka seseorang perlu banyak membaca, karena dengan membaca akan memperoleh pengetahuan dan wawasan yang luas, sehingga dapat memahami pesan yang diterima dengan cepat dan tepat. Selain itu untuk memperoleh pesan komunikasi yang baik, maka pilihlah lawan bicara dan lingkungan komunikasi yang baik pula, sehingga proses komunikasi yang terjadi memiliki nilai dan faedah yang berguna bagi semua pihak yang terlibat dalam komunikasi.
Ketiga, puasa dapat melatih keterampilan membaca yang baik. Orang yang berpuasa diharapkan dapat menjaga dirinya dari membaca bacaan yang tidak berfaedah dan dapat merusak amalan puasa. Pada saat berpuasa kita biasanya menggunakan waktu seefisien mungkin dengan melakukan berbagai hal yang bernilai ibadah, salah satunya adalah dengan membaca Alquran. Kegiatan membaca Alquran ini tentunya sering pula diiringi dengan membaca terjemahannya agar dapat memahami makna dari ayat yang dibaca. Upaya untuk memahami makna dari pesan yang dibaca tersebut menjadi latihan bagi kita untuk meningkatkan keterampilan membaca, sehingga dapat memahami makna pesan tertulis dengan cepat dan tepat.
Keterampilan membaca yang baik ini dapat diteruskan dengan memilih bacaan yang bermanfaat, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana, keterampilan membaca dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu membaca intensif dan membaca ekstensif. Membaca intensif adalah membaca teks dengan seksama dan teliti untuk memahami secara mendalam pesan yang dibaca. Sedangkan membaca ekstensif yaitu membaca teks sebanyak mungkin dalam waktu sesingkat mungkin, contohnya adalah membaca cepat dan teliti (scanning), membaca cepat dan sekilas (skimming), membaca dengan teknik baca pilih (selecting), dan membaca dengan teknik melompat (skipping).
Melalui penerapan komunikasi yang baik dan bernilai ibadah sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, mudah-mudahan dapat melatih dan memperbaiki diri kita untuk mencapai tingkatan ibadah puasa yang lebih tinggi, atau setidaknya mendekati puasa pada tingkatan kedua, yaitu berpuasanya orang yang saleh (shaum al-khushush). Semoga ibadah puasa yang kita lakukan diterima dan mendapatkan pahala di sisi Allah, dan sekaligus dapat meningkatkan keterampilan berkomunikasi kita menjadi lebih baik lagi kedepannya.
Penulis | : | Dr. H. Biryanto, M.Si Senior Trainer BPSDM Provinsi Riau |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |