Instagram merindink. Foto: merdeka.com
|
(CAKAPLAH) - Resesi seks yang terjadi di Jepang semakin memprihatinkan. Dampak besar akan sangat terasa dari krisis populasi di Jepang akibat angka kelahiran masuk dalam kategori terendah sepanjang sejarah.
Beberapa sekolah di Jepang juga terpaksa ditutup akibat kekurangan murid dan ketiadaan siswa yang mendaftar.
Sebuah cerita dari dua murid terakhir di sebuah SMP di Fukushima, Jepang menjadi potret miris kondisi pendidikan di Jepang. Keduanya menjadi siswa terakhir sebelum sekolah ditutup karena tidak ada murid.
Kisah keduanya menjadi contoh dampak dari adanya resesi seks besar di Jepang. Dilansir dari akun Instagram merindink, berikut kisah selengkapnya.
Dua orang siswa di SMP Yumoto, Jepang bernama Eita Sato dan Aoi Hoshi benar-benar membuat siapapun prihatin melihatnya.
Keduanya belum lama ini melangsungkan upacara kelulusan SMP pada 9 Maret 2023 yang dihadiri oleh mereka saja tanpa murid lain.
Keduanya adalah lulusan terakhir di SMP Yumoto yang berada di pegunungan Jepang Utara. Sekolah yang berdiri sejak 76 tahun lalu itu akan tutup untuk selamanya setelah kedua siswanya itu lulus.
Alasan tidak adanya calon murid baru yang mendaftar membuat mau tidak mau SMP Yumoto harus menutup aktivitas mereka untuk seterusnya.
Penutupan Sekolah di Pedesaan
Eita sangat menyayangkan rencana tersebut terjadi karena hal tersebut benar-benar terjadi. Hal tersebut akan membuat pendidikan di daerah itu akan semakin tertinggal.
"Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut,” kata Eita, seperti dikutip Reuters.
Kondisi seperti ini dikhawatirkan oleh Masumi, ibu dari Eita. Masumi juga merupakan alumni dari SMP Yumoto.
"Saya khawatir orang tidak akan menganggap daerah ini sebagai tempat tinggal untuk memulai sebuah keluarga jika tidak ada sekolah menengah pertama,” kata Masumi.
Resesi seks di Jepang membuat angka kelahiran di Jepang turun drastis. Menurut data pemerintah, angka kelahiran pada 2022 anjlok di bawah 800.000 dan menjadi rekor kelahiran terendah sepanjang sejarah.
Akibatnya menyasar ke sektor pendidikan dengan penutupan berbagai sekolah di pedesaan dan membuat daerah terpencil akan semakin tertinggal.
"Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan,” kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.
Tren depopulasi atau menurunnya angka kelahiran di Jepang terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan. Penutupan sekolah di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima, menjadi pukulan telak.
Rendahnya fertilitas menjadi masalah di regional Asia. Selain itu negara di Asia Timur memunculkan paradigma bila membesarkan anak memerlukan biaya yang sangat tinggi.
Ratusan Sekolah Tutup
Pemerintah Jepang merilis data sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Dalam rentang waktu 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah tutup permanen.
Beberapa solusi sempat dicanangkan oleh Perdana Menteri Fumio Kishida untuk meningkatkan angka kelahiran, termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak, dan mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting.
Namun sejauh ini kontribusi dari langkah-langkah tersebut sangat kecil dampaknya. Daerah terpencil akan sangat sulit memikat penduduk baru dan lebih muda.
"Sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda," demikian pernyataan Perdana Menteri Fumio.
Editor | : | Yusni |
Sumber | : | merdeka.com |
Kategori | : | Internasional |