PEKANBARU (CAKAPLAH) - Sistem Pemilu proporsional terbuka dan tertutup masih menjadi polemik dan menimbulkan pro dan kontra. Ditambah lagi, ada bocoran bahwa Pemilu menggunakan sistem Pemilu tertutup.
Politisi Partai Demokrat Riau Eddy A Mohd Yatim mengatakan, belum ada ketentuan pasti soal sistem Pemilu 2024. Ia menyayangkan jika betul Pemilu 2024 dilakukan secara tertutup.
“Kalau balik lagi (tertutup) susahlah, aspirasi orang banyak kan minta Pemilu Terbuka. Cermin demokrasi itu masyarakat memilih yang dianggap bisa mewakilinya,” kata Eddy Yatim, Selasa (30/05/2023).
Lanjut dia, sistem pemilu tertutup ini sama saja balik ke masa Orde Baru. Artinya, tidak ada gunanya perjuangan reformasi digaungkan mahasiswa dulu.
“Tapi seandainya kalau dibalikkan ke Pemilu Tertutup itu ya balik ke pola Orba lagi. Kemunduran namanya. Tak ada artinya reformasi yang diperjuangkan mahasiswa dulu,” kata dia.
Anggota DPRD Riau Riau Marwan Yohanis mengatakan, Indonesia belum menemukan bentuk Pemilu yang pas. Kata dia, sistem Pemilu terbuka dan Pemilu tertutup pernah dijalankan di negara ini. Ada kekurangan dan kelebihan dalam setiap pilihan sistem itu, baik Pemilu terbuka, maupun Pemilu tertutup.
"Misalnya, dalam sistem tertutup, ada anggapan bahwa kita membeli kucing dalam karung, yang tidak tahu dan kenal dengan siapa yang mewakili rakyat di parlemen," kata politisi Partai Gerindra ini, Senin (29/5/2023).
Tapi kata dia, partai tentu memiliki pertimbangan dalam menunjuk kadernya yang akan mewakili kepentingan rakyat di parlemen. Misalnya, pernah mengikuti pelatihan A, B, C dan seterusnya.
Dengan begitu, kader yang ditunjuk adalah orang-orang yang dianggap bisa mewakili ideologi partai. Sebab, partai adalah perpanjangan tangan rakyat untuk mengakomodir kepentingan rakyat.
Sementara untuk sistem Pemilu terbuka, loyalitas dan integritas seorang kader tidak menjadi faktor penentu dia akan menjadi wakil rakyat. Kadang, kata dia, ada pengurus partai yang sibuk mengurus partai, jadi kurang sosialisasi ke masyarakat, belum lagi faktor finansial.
"Sehingga, dia tidak terpilih di Pemilu," kata dia.
Lanjut dia, ada celah untuk orang-orang yang tidak mengerti ideologi partai tiba-tiba menjadi wakil rakyat di parlemen. "Ideologi partai saja kadang tidak tahu, apatah lagi tentang perjuangan membela rakyat. Sehingga, pas sudah di kursi parlemen, dia bingung mau ngapain," jelasnya.
Ia menambahkan, ketika seseorang memutuskan untuk berpartai, maka kewajiban dia adalah mencarikan suara sebanyak-banyaknya untuk partai, bukan untuk pribadi.
"Tugas kita adalah mencarikan suara untuk partai, karena peserta pemilu adalah partai. Kita Caleg ini diberi amanah oleh partai, bagaimana kita menjelaskan ke rakyat tentang perjuangan partai membela rakyat, supaya partai dipercaya dan partai kita dipilih," jelasnya.
Terkait siapa yang akan duduk, diserahkan saja ke partai, kalau misalkan tetap terbuka tentu siapa suara terbanyak, dan kalau tertutup kembali lagi kepada partai. Fenomena hari ini membuat banyak politisi yang memutuskan pindah partai ketika dia tidak mendapatkan nomor urut yang diinginkannya.
"Yang begini, gimana dia mau memperjuangkan ideologi partai, kalau dia pindah-pindah partai," jelasnya.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik |