
![]() |
H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Barangkali tak banyak kita tahu momen penting di tanggal 19 Juni. Tepatnya 19 Juni 1993, Pemerintah RI dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto mendapat penghargaan Avicienna dari badan PBB UNESCO. Apresiasi diberikan atas upaya Pemerintah mewujudkan pemerataan pendidikan ke seluruh negeri melalui kebijakan SD Inpres dan Sekolah Pamong. Keberadaan sekolah tersebut telah berhasil membuka akses bagi anak-anak seantero Indonesia ke sektor pendidikan, termasuk di Provinsi Riau. Di bulan Juni SD Inpres kembali jadi trending topic. Tapi ironisnya bukan konteks positif.
Bermula dari statemen Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang angkat suara mengenai polemik pengawas proyek di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang menggunakan Tenaga Kerja Asing (TKA). Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap bahwa guna memastikan kualitas IKN, bakal melibatkan TKA untuk pengawasan. Presiden menerima usulan dan berdalih TKA memang dibutuhkan untuk mendapatkan kualitas yang bagus. Ucapan Presiden memicu kontroversi manakala membawa-bawa SD Inpres untuk membela kebijakan pemakaian TKA di IKN. "Kita ingin menaikkan level kualitas kita, jangan nanti hasilnya kaya SD Inpres, mau?," Kata Presiden Jokowi saat diwawancari awak media massa (15/6/2023). Pernyataan tadi sontak ramai, memancing beragam komentar netizen dan berbagai kalangan. Banyak menyayangkan sikap Pemerintah yang terkesan menganggap kualitas SDM lokal hingga paling miris penilaian yang menyepelekan kualitas pembangunan SD Inpres.
Sekilas tentang SD Inpres, proyek ini implementasi Instruksi Presiden (Inpres) 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Setahun kemudian Presiden Soeharto kembali mengeluarkan Inpres 6/1974 tertanggal 14 Mei 1974 tentang Program Bantuan Pembangunan SD. Program dan kebijakan ini dilaksanakan secara berkelanjutan.
Tahap pertama Pemerintah membangun 6.000 SD. Tahap kedua, Pemerintah menyelesaikan gedung sekolah yang belum selesai pada tahap pertama. Jumlah dan rincian sama dengan tahap awal, yaitu 6.000 gedung SD. Setiap gedung terdiri dari 3 ruang kelas yang dapat digunakan, kamar kecil dan perabot sekolah. Tahap kedua dilengkapi penyediaan guru, buku pelajaran pokok dan buku bacaan kanak-kanak untuk perpustakaan.
Tahap selanjutnya lewat Inpres 6/1975 tertanggal 10 April 1975, Pemerintah menambah bantuan penyediaan fasilitas air bersih, guru, buku pelajaran pokok, pelatihan guru dan buku bacaan kanak-kanak untuk perpustakaan. Tahun 1975 dimulai pelaksanaan pengajaran di SD Inpres. Sejak diluncurkan tahun 1973, pertama kali SD Inpres meluluskan siswa di tahun 1980. Singkat cerita hingga 1994, pembangunan SD Inpres mencapai jumlah 150 ribu unit. Selain SD Inpres, Pemerintah Soeharto juga membangun SD Pamong (Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orangtua dan Guru).
SD Pamong diselenggarakan oleh masyarakat, orangtua dan guru untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak-anak miskin, anak putus sekolah dan anak yang tak dapat datang rutin belajar di sekolah. Sekolah ini tak punya gedung layaknya sekolah lazimnya. Kegiatan belajar dibimbing oleh guru pamong dan bisa dilakukan di mana saja, seperti balai desa atau rumah penduduk. Proyek perintis SD Pamong dibuka di Kabupaten Karanganyar, Surakarta pada 1975. Kemudian pada 1977, proyek SD Pamong dibuka juga di Kabupaten Gianyar, Bali dan menyusul daerah lain.
Melawan Stigma
Boleh jadi stigma yang melekat ke SD Inpres apa adanya. Baik dari segi fisik bangunan dan ketersediaan sarana penunjang sekolah belum penuhi standar kelayakan. Namun bicara eksistensi sungguh berarti. Era Pemerintahan Soeharto dinilai berhasil memberantas Tiga Buta: buta aksara latin dan angka, buta bahasa Indonesia dan buta pendidikan dasar. Dampak pembangunan bidang pendidikan terlihat dari angka partisipasi anak usia 6-12 tahun yang menikmati pendidikan mencapai 97 persen. Tak heran kenapa program SD Inpres mendapatkan pengakuan dunia. Selain penghargaan yang sudah disinggung di awal tulisan, solusi pengentasan kemiskinan melalui pendidikan yang dijalankan rezim Soeharto juga mendapat pengakuan berupa hadiah nobel. Ini setelah ekonom asal Amerika Serikat (AS) Esther Duflo melakukan penelitian terkait kebijakan pemerintah Indonesia mendirikan SD Inpres era 1973-1978, yang kemudian dituangkan dalam jurnal berjudul “Schooling and Labor Market Consequences of School Construction in Indonesia: Evidence from an Usual Policy Experiment”.
Program itu, menurut Duflo, secara signifikan mendorong populasi masyarakat Indonesia menyelesaikan pendidikan dasar. Si ekonom mengkaji efek lanjutan pembangunan pendidikan, yakni terjadi kenaikan upah 1,5 hingga 2,7 persen untuk setiap sekolah tambahan. Berdasarkan perhitungannya, efek pembangunan SD Inpres sukses “meningkatkan ekonomi” Indonesia kala itu. Bahkan pengembalian ekonomi nasional sekitar 6,8 hingga 10,6 persen! Duflo dalam jurnalnya juga menyebut program SD Inpres pembangunan gedung sekolah terbesar di Indonesia sepanjang sejarah. Duflo pun meraih nobel bidang ekonomi di tahun 2019.
Mengacu ke penelitian di atas, tergambar betapa urgennya pemerataan akses pendidikan. Walau negeri kita sudah merdeka 78 tahun, namun problem kesenjangan sarana pendidikan masih didapati sampai sekarang. Angka putus sekolah masih termasuk tinggi. Diantaranya Provinsi Riau. Meski banyak latar belakang yang menyebabkan putus sekolah, namun masalah sarana pendidikan masih mengemuka. Kesenjangan bangunan sekolah/satuan pendidikan begitu terasa. Buktinya dapat ditengok setiap penyelenggaraan PPDB. Bagi para orang tua yang terkendala perekonomian, kerap menjadi dalih untuk menarik anak-anak mereka dari sekolah. Karena kalau jarak sekolah terlalu jauh dari rumah, terpikir biaya.
Di luar itu masih banyak kasus sekolah belum benar-benar bebas biaya, meski Pemerintah mengadang-gadangkan program wajib belajar 9-12 tahun. Kalaupun orang tua siswa mau anaknya dapat bantuan pendidikan, harus siap mengurus surat keterangan ini dan itu yang memakan waktu, tenaga dan biaya. Kembali ke tema semula, program SD Inpres dan Sekolah Pamong patut kita acungi jempol. Di masanya terbilang ikhtiar luar biasa dan inovasi brilian mengatasi kesenjangan pendidikan. Terlepas dari cela dan kekurangan, penelitian telah membuktikan bahwa kehadiran program SD Inpres dan Sekolah Pamong berkontribusi meningkatkan kualitas perekonomian bangsa. Seperti inilah idealnya belanja Pemerintah. Apalagi Presiden Jokowi selalu berpidato pentingnya menjaga momentum dan prospek menjanjikan ekonomi Indonesia puluhan tahun ke depan. Semestinya Pemerintah jor-joran investasi pembangunan SDM. Bagaimana mau insan berkualitas tapi alokasi anggaran pendidikan baru sebatas memenuhi belanja minimal. Herannya untuk proyek ambisius dan tak jelas prioritasnya malah hambur-hamburkan uang.
Penulis | : | H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |










































01
02
03
04
05




