Chaidir
|
Amicus curiae menjadi perbincangan seksi pekan ini. Makhluk apakah amicus curiae? Amicus curiae (Latin) diartikan sebagai “Sahabat Pengadilan”; sebenarnya sudah dikenal di lingkungan peradilan, terutama dalam perkara-perkara penting yang mendapat perhatian publik. Tapi selama ini kurang akrab di telinga awam.
Amicus curiae merupakan suatu konsep hukum yang melibatkan pihak ketiga dalam memberikan masukan atau pandangan pada perkara tertentu.
Amicus curiae adalah orang atau organisasi yang dalam suatu perkara hukum membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat (Wikipedia).
Amicus curiae tidak bertindak sebagai pihak yang sedang dalam perkara, tetapi hanya berkepentingan menyampaikan masukan informasi atau pemikiran terhadap kasus secara khusus, diminta atau tidak diminta oleh pengadilan. Setiap orang yang memiliki pengetahuan terkait suatu perkara berhak mengajukan diri sebagai amicus curiae.
Hangatnya perbincangan tentang amicus curiae bermula ketika Megawati Soekarnoputri, Presiden kelima RI, sebagai seorang Warga Negara Indonesia menggunakan haknya mengajukan diri sebagai amicus curiae kepada Mahkamah Konstitusi pada tanggal 16 April 2024.
Sehari kemudian menyusul pula lima tokoh sebagai Kelompok Warga Negera Indonesia mengajukan diri ke MK sebagai amicus curiae. Lima tokoh ini adalah Habib Rizieq Syihab, Prof Din Syamsudin, KH. Ahmad Shabri Lubis, Yusuf Muhamad Martak dan Munarman, SH.
Prof Didin Damanhuri menyebut saat ini ada 303 guru besar mengajukan diri sebagai amicus curiae ke MK. Demi menyelamatkan demokrasi, Forum Tanah Air (FTA) dalam dan luar negeri juga mengajukan diri sebagai amicus curiae.
Agaknya menjelang MK membacakan keputusannya pada tanggal 22 April 2024 tentang perkara gugatan Pilpres 2024, akan semakin banyak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae.
Masalahnya pertama, ada kekhawatiran hakim MK dalam waktu yang sangat sempit, tak memiliki cukup waktu membaca semua masukan pemikiran (amicus brief) yang diajukan amicus curiae; kedua, tak ada keharusan hakim MK untuk menerima dan mengakomodasi pandangan atau pendapat amicus curiae.
Amicus brief yang ditulis oleh Megawati Soekarnoputri dan dimuat berbagai media, menurut saya sangat menyentuh. Sebagai Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri merasakan suasana batin ketika membentuk Mahkamah Konstitusi pada 15 Agustus 2003. Maka wajar bila amicus brief-nya menyentuh hati nurani, etika moral dan semangat kenegarawanan. Sikap kenegarawanan hakim MK masuk dalam dimensi tanggungjawab bagi pemulihan etika dan moral, tulis Megawati.
Megawati menunjukkan empatinya dengan memahami beratnya tanggungjawab para hakim MK dalam menyelesaikan sengketa Pemilu dengan keadilan yang hakiki. Apa yang akan diputuskan oleh para hakim MK sangat mempengaruhi masa depan bangsa yang saat ini sedang dihadapkan pada berbagai persoalan mendasar antara lain: rendahnya supremasi hukum; nepotisme, kolusi dan korupsi yang semakin masif; pelemahan nilai tukar rupiah yang mengkhawatirkan; beban utang luar negeri yang begitu besar; kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat; kohesi sosial yang semakin merosot; serta rendahnya keteladanan para pemimpin. Akar masalahnya, etika dan moral dijauhkan dari praktek hukum.
Tanpa landasan etika, moral, dan keteladanan pemimpin, manipulasi hukum menjadi semakin mudah dilakukan (www.kompas.id).
MK adalah simbol dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum. MK adalah simbol supremasi hukum dalam sebuah negara yang sudah mengklaim diri sebagai negara hukum.
MK punya kewenangan strategis menjaga konstitusi bernegara, mengawal demokrasi dan menegakkan pilar negara hukum. Menempatkan etika dalam setiap Keputusan MK sangat penting. Sebab, MK hadir sebagai benteng keadilan terakhir. Megawati menyebut dalam amicus brief-nya bahwa, kebenaran tetaplah kebenaran.
Ia tidak bisa dimanipulasi, sebab ia menjadi hakikat. Kebenaran dalam pengambilan keputusan muncul dari pikiran dan nurani yang jernih. Jernih seperti air. Air jernih adalah pikiran dalam alam kebenaran.
Menarik. Hampir 400 tahun Sebelum Masehi, filsuf Aristoteles menyebut filsuf Plato gurunya sebagai Amicus Plato (Plato sahabatku), Amicus Socrates (Socrates temanku), sed magis amica veritas (tetapi kebenaranlah yang menjadi sahabatku yang paling karib) ujar Aristoteles. Terjemahan bebas: kebenaran itu di atas segala-galanya. Keputusan MK final dan mengikat. Bila menepikan kebenaran, etika, moral, kenegarawanan, keteladanan pemimpin, maka keputusan akan mudah dimanipulasi.
Kita tidak ingin lembaga MK sebagai simbol supremasi hukum yang kita banggakan akan berhadapan dengan social distrust (runtuhnya kepercayaan sosial) dan dicibir dunia.
Tabik.
Penulis | : | Ketua Umum Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Chaidir |
Editor | : | Unik Susanti |
Kategori | : | Riau, Politik |