Kesehatan adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang dimiliki tiap individu. Selain itu, hak atas kesehatan juga merupakan tanggung jawab semua pihak. Polemik terkait Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menjadi perhatian banyak kalangan masyarakat di Indonesia.
Beberapa pihak memandang bahwa UU Kesehatan ini sudah tidak relevan dengan perkembangan kondisi dan keadaan yang mungkin timbul saat ini atau pada masa mendatang dan perlu diperbaharui. Terlebih lagi, UU Kesehatan tersebut sudah tidak dapat mengakomodir permasalahan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.
Urgensi pembaharuan UU Kesehatan juga penting berkaitan dengan implementasinya yang tidak maksimal. RUU Kesehatan disusun dengan alasan UU Kesehatan dianggap lemah karena kurang melindungi masyarakat serta para tenaga kesehatan. Banyaknya aturan di sektor kesehatan yang tumpang tindih menjadi salah satu alasan urgensi penyusunan RUU Kesehatan.
Gagasan omnibus law kesehatan sebagai kebijakan hukum nasional dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia akhir-akhir ini menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerintah dan profesi kesehatan. Penolakan terkait upaya penerapan Omnibus Law Kesehatan di Indonesia datang dari berbagai kalangan profesi kesehatan. Jika mengacu pada Indonesia yang merupakan anggota WTO dan GATS, maka Indonesia harus mempersiapkan diri sejak dini baik secara regulasi berdasarkan komitmen yang telah disepakati dalam perjanjian tersebut maupun kesiapan untuk bersaing secara sehat dengan sesama negara anggota, khususnya di bidang kesehatan.
RUU Kesehatan ini bertujuan untuk memberikan penguatan terhadap regulasi kesehatan. Selain itu adanya RUU ini bertujuan untuk memberikan penegakan dan perlindungan hukum terhadap para tenaga kesehatan di Indonesia. Berdasarkan banyak keluhan dari dokter-dokter muda yang melakukan pendidikan spesialis, namun izin praktek tidak kunjung dikeluarkan.
Terdapat kontra terhadap RUU Kesehatan oleh salah satu organisasi profesi kedokteran. Ikatan Dokter Indonesia mendesak pemerintah untuk melakukan pembahasan ulang terkait RUU Kesehatan. IDI berharap, dengan pembahasan ulang maka RUU Kesehatan yang telah dibuat dapat mencerminkan keadilan, kedamaian, kesejahteraan bagi seluruh tenaga kesehatan di Indonesia. Selain itu, RUU Kesehatan ini juga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia dalam ruang lingkup kesehatan. RUU Kesehatan menjadi diskursus penting terutama oleh beberapa pihak seperti masyarakat Indonesia, tenaga kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), organisasi profesi, dan pihak terkait lainnya. Berbagai pandangan terhadap RUU ini menuai tanggapan pro dan kontra, terutama dalam lingkup urgensi dan substansi dari RUU Kesehatan.
Selain IDI, beberapa pihak yang tidak setuju oleh adanya RUU Kesehatan ini berpendapat bahwa substansi yang ada di dalam RUU Kesehatan tidak mencerminkan kebutuhan dari permasalahan kesehatan dan agar Kemenkes menghentikan pembahasan RUU Kesehatan. IDI berpendapat bahwa RUU Kesehatan bukanlah suatu urgensi yang harus segera disahkan. IDI juga menyarankan untuk meningkatkan pengimplementasian dari UU Kesehatan yang sudah ada di Indonesia.
Pasal-pasal yang dinilai kontroversial ini adalah Pasal 314 ayat (2), 462 ayat (1), 235, 239 ayat (2), dan 154 ayat (3). pasal-pasal yang dianggap kontroversial ini, IDI juga menyarankan tidak memerlukan adanya RUU Kesehatan. Pasal 154 ayat (3) merupakan salah satu pasal kontroversial yang menjadi sebuah pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia. Isi dari pasal ini adalah tembakau, minuman beralkohol, narkotika, psikotropika diklasifikasikan menjadi satu kelompok zat adiktif. Hal ini menjadi faktor bagi berbagai kalangan untuk memiliki pandangan bahwa pasal zat adiktif dalam RUU Kesehatan sudah melampaui batas. Dalam UU Kesehatan sendiri, yang dimaksud sebagai zat adiktif yaitu tembakau dan produk tembakau tidak masuk ke dalam kelompok zat adiktif yang sama dengan narkotika. Ketentuan terkait tembakau di dalam UU Kesehatan masih relevan, sehingga dengan hadirnya inovasi tentang tembakau dalam RUU Kesehatan ini masih dipertanyakan urgensinya.
Padahal RUU Kesehatan ini dinilai dapat meringankan para beban dokter yang melanjutkan pendidikannya untuk spesialis. Selain itu RUU Kesehatan ini dapat mempermudah para dokter untuk memiliki ijin prakter, STR seumur, dan SIP setiap 5 tahun.
Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa adanya RUU Kesehatan ini agar mempermudah dokter dalam melakukan pendidikan spesialis kedokteran. Dimana sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi dokter spesialis, biaya yang dikeluarkan sangat mahal, dan untuk perpanjangan STR dokter juga memerlukan birokrasi yang mudah. Adanya RUU Kesehatan ini menjadi reformasi bagi dunia kesehatan.
Selain itu, Kementrian Kesehatan dan DPR RI berpendapat bahwa tujuan dari RUU Kesehatan adalah membentuk suatu landasan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia yang lebih baik. Urgensi disusunnya RUU Kesehatan adalah menyediakan sebuah payung hukum yang melindungi masyarakat secara lebih baik dalam penanganan di ruang kesehatan. Selain itu, penyusunan RUU Kesehatan menjadi suatu sarana pendorong kesiapan bidang kesehatan Indonesia dalam menghadapi krisis kesehatan di masa kini dan di masa yang akan datang. Adanya, intervensi pemerintah dalam dunia kesehatan pada RUU Kesehatan adalah suatu pembenahan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Organisasi profesi kesehatan sektor dokter atau IDI dinilai memiliki kepentingan terlampau besar dan dapat memonopoli sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.
Adanya narasi bahwa RUU Kesehatan tidak memberikan perlindungan hukum terhadap nakes ini merupakan hal yang salah. Padahal, hak bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang sebelumnya sudah tercantum dalam Undang Undang Kesehatan yang ada tidak hilang. Terutama pada substansi perlindungan hukum selama menjalankan praktik sesuai standar yang tertuang dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a; Perlindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan di luar kompetensinya dalam kondisi tertentu yang tertuang dalam pasal 296; serta mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa dalam sengketa hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang tertuang dalam Pasal 322 ayat (4).
Pada RUU ini, pemerintah malah mengusulkan adanya penghapusan pada substansi tuntutan bagi tenaga medis / tenaga kesehatan yang telah menjalani sidang disiplin atau alternatif penyelesaian sengketa, yang tertuang pada pasal 328.
Selain itu, banyaknya kebutuhan dokter spesialis di Indonesia membuat RUU Kesehatan ini menjadi angin segar bagi dunia kesehatan. Adanya RUU Kesehatan ini mempermudah birokrasi dan memangkas kemahalan biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan dokter spesialis. Pemberian izin terhadap para dokter spesialis tanpa rekomendasi oleh organisasi profesi ini memberikan kemudahakan bagi para calon dokter spesialis. Fakta di lapangan, banyak dokter spesialis yang tidak memiliki izin praktek karena tidak memiliki rekomendasi dari organisasi profesi. Selain itu, disinyalir bahwa untuk mendapatkan izin praktek dan melakukan pendidikan profesi, calon dokter ini harus merogoh kocek yang lumayan besar.
Pengesahan RUU Kesehatan ini menjadi salah satu undang-undang yang nantinya akan memudahkan lahirnya dokter spesialis di tanah air. Dalam RUU Kesehatan ada penyederhanaan proses izin praktek dokter dan penyederhanaan Surat Tanda Registrasi (STR). Berbagai kemudahan yang ada dalam beleid kesehatan pada RUU Kesehatan ini nantinya akan memenuhi kebutuhan akan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang akan lebih banyak, lebih diperluas dan hal tersebut akan menguntungkan masyarakat.
Banyaknya ketersediaan dokter spesialis ini akan mempermudah masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan yang baik. Dimana banyaknya kebutuhan akan dokter spesialis akan terpenuhi, rumah sakit di seluruh daerah tidak lagi kekurangan dokter spesialis. Berdasarkan survey lapangan yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan, banyak rumah sakit dan layanan kesehatan yang tidak memiliki dokter spesialis. Sehingga dalah memenuhi pelayanan kesehatan, masyarakat biasanya harus pergi ke rumah sakit provinsi dengan jarak tempuh 2 hingga 3 jam dari tempat tinggalnya.
RUU Kesehatan akan menyinkronkan pasal-pasal Undang-Undang Nomor 40 Tahn 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 yentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Permasalahan kesehatan di Indonesia yang lumayan kompleks ini diperlukan suatu solusi yang menyeluruh yang menjangkau kekompleksitasan permasalahan tersebut. Mulai dari pemenuhan sumber daya tenaga kesehatan, fasilitas dan insfrastruktur ksehatan, hingga industri farmasi. Yang mana dalam hal ini, industri farmasi merupakan suatu hal yang penting dalam bidang kesehatan.
Selain itu, dinyatakan juga oleh Direktur Eksekutif Kolegium Jurist Institute Ahmad Redi bahwa dalam regulasi kesehatan, terdapat 15 UU yang masih mengandung potensi konflik norma dan masalah implementasi. Regulasi yang berbelit-belit ini membuat kualitas pelayanan kesehatan belum bisa memenuhi harapan masyarakat. RUU Kesehatan ini nantinya alam mempermudah dalam pendistribusian fasilitas kesehatan yang lebih merata, khususnya di luar Pulau Jawa.
Narasi mengenai penyetaraan dan Surat Tanda Registrasi oleh IDI yang menyatakan bahwa akan mendatangkan masalah. Padahal sebenernya penyetaraan dan Surat Tanda Registrasi (STR) seumur hidup ini bukan berarti menghilangkan pemenuhan kompetensi secara berkala karena syarat kompetensi ini akan melekat dalam Surat Izin Praktek (SIP) yang diperbarui setiap 5 tahun sekali melalui pemenuhan Satuan Kredit Poin (SKP).
Ketidakefektifan sistem saat ini melatarbelakangi pembentukan RUU ini. Nantinya dokter dan tenaga kesehatan tidak perlu mengurus perpanjangan STR dan SIP melalui banyak tahapan birokrasi, validasi, dan rekomendasi sehingga dokter dan tenaga kesehatan tidak lagi merasa terbebani termasuk dengan biaya-biaya yang timbul. RUU Kesehatan ini akan memberikan kemudahan serta keefektifan pendidikan dokter spesialis, pemerataan layanan kesehatan, fasilitas dan infrstruktur kesehatan, kemudahan birokrasi izin STR dan SIP, serta memenuhi banyaknya kebutuhan dokter spesialis di seluruh Indonesia. EUU Kesehatan ini juga memberikan kemaslahatan bagi bidang kesehatan serta masyarakat di Indonesia.
Referensi:
Bagiasastra, I. (2023). Gagasan Omnibus Law Kesehatan Sebagai Kebijakan Hukum Nasional Dalam Upaya Meningkatkan Derajat Kesehatan Masyarakat di Indonesia. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 23(1), 33-47. doi:https://dx.doi.org/10.30641/dejure.2023.V23.033-046
Elfrida, A. B. (2023, Mei). Revolusi Dalam Ruang Kesehatan: Mengharapkan Keseimbangan Antara Inovasi dan Kepastian Hukum. Diambil kembali dari lk2fhui: https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/revolusi-dalam-ruang-kesehatan-mengharapkan-keseimbangan-antara-inovasi-dan-kepastian-hukum/
Rokom. (2023, April 9). RUU Kesehatan Tingkatkan Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kesehatan. Diambil kembali dari kemkes.go.id: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230409/3142753/ruu-kesehatan-tingkatkan-perlindungan-hukum-bagi-tenaga-kesehatan/
Susetiyo, W., & Iftitah, A. (2021). Peranan dan Tanggungjawab Pemerintah Dalam Pelayanan Kesehatan Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja. Jurnal Supremasi: Jurnal Ilmiah Hukum, 11(2), 92-107.
Disclaimer: isi artikel tanggung jawab penulis.
Penulis | : | Nabila SH (Mahasiswi Pascasarjana Hukum Universitas Islam Riau) |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Kampus |