


BANGKINANG (CAKAPLAH) - Dana Bagi Hasil (DBH) kelapa sawit menjadi angin segar dan harapan besar bagi pemerintah daerah untuk mendongkrak kembali jumlah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun ada sejumlah catatan penting disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia asal Riau Edwin Pratama Putra.
Dalam diskusi dengan sejumlah insan pers Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Kampar yang digelar di Rama Coffe, Bangkinang, Jumat (28/1/2022) sore, senator muda ini menyampaikan beberapa pesan penting kepada pemerintah kabupaten dan kota di Riau.
"Saya mendorong kabupaten/kota, buatlah kajian seperti apa idealnya, hitungan DBH kelapa sawit ini. Sampai Oktober 2022 paling tidak ada yang disampaikan ke Menteri Keuangan," tegas Edwin.
Menurut senator asal Bangkinang, Kabupaten Kampar ini, adanya DBH sawit merupakan angin segar bagi daerah. "Kalau seandainya perjuangan DBH sawit ini selesai, maka APBD atau TKDD (transfer ke daerah dan dana desa red) kita tahun 2023 sudah bisa kita lihat nomenklatur baru sehingga APBD kita meningkat," terang Edwin.
Ia mengatakan, perjuangan DBH sawit yang diusulkan oleh 21 provinsi penghasil kelapa sawit terus bergulir. Beberapa hari lalu telah digelar pula rapat kerja antara Komite IV DPD RI dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Diantaranya membahas dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), dimana secara nasional TKDD mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Seperti dijelaskan Bu Menteri, itu terjadi karena masalah Covid-19 sehingga penerimaan pajak berdampak kepada transfer ke daerah dan dana desa. Akhirnya APBD kita alami penurunan," terangnya lagi.
Edwin menambahkan, salah satu variabel dalam TKDD itu ada dana bagi hasil (DBH). "Dana bagi hasil kita masih belum akomodir DBH sawit. DBH kita masih belum akomodir DBH kelapa sawit," ulasnya.
Disalam perubahan TKDD itu sudah dimuat dalam Pasal 123 bahwa ada DBH lainnya yang nanti akan diturunkan pemerintah dalam bentuk pemerintah atau aturan turunan lainnya bahwa variabel DBH itu juga dimasukkan DBH perkebunan kelapa sawit yang selama ini diperjuangkan oleh 21 provinsi daerah penghasil kelapa sawit.
Itulah sebabnya daerah diminta agar menyampaikan skema seperti apa yang diharapkan dan berapa persen yang diharapka dari DBH sawit. Menurut Edwin, jika dihitung, setiap tahun transaksi penjualan minyak sawit mentah atau CPO (Crude Palm Oil) berkisar antara Rp 200 triliun sampai Rp 300 triliun. "Bayangkan kalau masuk ke daerah. Kita hampir 25 persen nasional (luas areal kebun kelapa sawit). Karena dari 14, 8 juta hektare, sebanyak 2,8 juta hektare di Riau. Nan ini salah satu variabel yang perlu dimasukkan dalam aturan turunan setelah Undang-undang HKPD (Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) disahkan," terangnya.
Lebih lanjut dikatakan, pembagian DBH sawit tinggal menunggu hari karena sudah menjadi amanah Undang-undang Harmonisasi Keuangan Pusat Daerah (UU HKPD) yang baru saja disahkan. "Tinggal lagil PP, Permen. Nah, ini hraus kita kawal. Kami berjuang sudah selesai. DPR di Komisi XI DPD di Komite IV, pemerintah diwakili Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM sudah sepakat, maka sudah menjadi Undang-undang. Tinggal lagi formula yang mengatur," katanya.
Ia berharap DBH sawit harus jelas persentasenya dan ia berharap jangan lagi dana yang besar ini dikelola oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). "Karena setelah dievaluasi, BPDPKS tidak menjawab kerugian daerah dari hasil perkebunan kelapa sawit. Yang rusak jalan tapi yang dibuat program pembinaan lain. Mudah-mudahan PP-nya, PMK dah bisa segera selesai. Tahun 2023 APBD kita transfer DBH sawit dah masuk," pungkas Edwin.
Penulis | : | Akhir Yani |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |























01
02
03
04
05


















