(CAKAPLAH) - Berbagai tahapan Pemilu sudah kita lewati di Indonesia. Setiap tahapan penuh dengan hiruk pikuk dan masing-masing kelompok menggunakan strategi untuk bisa menang dalam Pemilu.
Pada masa pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Anggota DPD kita dapat menyaksikan para calon berebut untuk mencalonkan diri. Pada masa pencalonan Presiden dan Wakil Presiden lebih heboh lagi. Berbagai lobi dan stategi dimainkan. Pada saat masa kampanye, aksi saling serang, saling menghina, saling membuka aib dan adu argumen menjadi tontonan yang menarik. Tepat pada tanggal 11 Februari 2024 (satu bulan menjelang Ramadan) pemungutan suara dilaksanakan. Alhamdulillah, pemungutan suara selesai dilaksanakan. Setelah selesai pemungutan suara, masalah ternyata belum selesai. Tahapan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara tetap berlangsung.
Tahapan ini justru sangat menegangkan sebab pada tahapan ini ada peserta pemilu yang duduk tetapi lebih banyak yang “terduduk”. Peserta pemilu yang duduk yang meluapkan rasa kegembiraan mereka. Sebaliknya, peserta pemilu yang “terduduk” kecewa sebab telah mengeluarkan banyak biaya politik.
Suasana puasa kita tahun 2024 terasa agak sedikit berbeda dengan puasa sebelumnya sebab kita merasakan hawa persaingan pemilu cukup kuat. Tahapan pemilu belum berakhir. Bahkan pada bulan Ramadan ini menjadi tahapan sangat penting dalam pemilu karena penetapan hasil pemilu dilaksanakan bulan Ramadan. Sebenarnya, kita patut bersyukur masa penetapan hasil pemilu pada bulan Ramadan. Kita berharap tensi politik yang sangat tinggi dapat berkurang sebab kita sedang menjalankan ibadah puasa. Ketika menjalankan puasa kita dilatih mengendalikan hawa nafsu. Pengendalian hawa nafsu sangat penting karena kegagalan pengendalian hawa nafsu yang merusak ketaatan manusia kepada Allah SWT. Ketika berpuasa kita menahan diri kita dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak amal puasa. Hawa nafsu yang tidak terkendali akan membawa keburukan kepada manusia. Hawa nafsu itu merupakan inner power dalam diri manusia yang harus dikendalikan. Bila kita mampu mengendalikan hawa nafsu, maka ia akan memberikan energi positif bagi diri kita. Tetapi bila kita gagal, mengendalikan hawa nafsu akan merusak diri kita sendiri.
Allah berfirman “.... karena nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberikan rahmat oleh Tuhanku” (QS. Yusuf [12]:53).
Dikutil dari Kitab Minhajul Abidin karya Imam al-Ghazali, seorang penyair pernah menyatakan: nafsuku menyeruku pada apa yang membahayakanku// Menambah luka dan memperparah rasa sakitku// bagaimana aku melindungi diri dari musuhku// sementara ia bersembunyi di antara tulang rusukku.
Pelaksanaan “pesta demokrasi” pemilu juga melibatkan potensi hawa nafsu terutama nafsu kekuasaan yang terdapat dalam diri mereka. Setiap peserta pemilu berlomba-lomba untuk mendapatkan kekuasaan atas dorongan nafsu untuk memperoleh kekuasaan di dalam dirinya. Sehingga tidak mengherankan orang menggunakan berbagai cara atau strategi untuk mendapatkan kekuasaan. Nafsu untuk memperoleh kekuasaan tentu saja baik karena dengan dengan memegang kekuasaan dapat mendatang kebaikan dan kemaslatan bagi diri sendiri maupun orang lain. Kita boleh berupaya dengan sekuat tenaga untuk memperoleh kekuasaan jika itu memang untuk kebaikan dan kemaslahatan.
Nafsu kekuasaan, sama halnya dengan nafsu makan, minum dan hubungan seksual, harus dikendalikan. Jika tidak dikendalikan, nafsu kekuasaan justru akan menghancurkan diri manusia itu sendiri. Jangan sampai demi mendapatkan kekuasaan kita saling menjatuhkan dan menabur kebencian. Kita tidak boleh menjadi serigala yang bisa memakan sesamanya seperti ungkapan Plautus, Filsuf Yunani “lupus est homo homini”. Nafsu kekuasaan itu nikmat, menyenangkan dan bisa membuat orang mabuk dan lupa diri seperti nafsu makan, minum dan seks. Memegang kekuasaan itu halal sama seperti nafsu makan, minum dan seks. Yang harus dilakukan adalah mengendalikan nafsu kekuasaan seperti kita mengendalikan nafsu makan, minum dan seks pada saat menjalankan puasa.
Kita tidak boleh kalah dan tunduk kepada nafsu kekuasaan yang berada dalam diri kita. Sehingga kita tidak boleh diperbudak oleh kekuasaan.
Mengutip perkataan Imam al-Ghazali nafsu itu adalah musuh yang dicintai dan manusia biasanya buta terhadap aib sesuatu yang dicintainya seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair: kau takkan bisa melihat aib orang tercinta dan saudara// bahkan sebagiannnya pun takkan sanggup kalau kau cinta// karena mata yang terlanjur cinta akan tumpul melihat cela// sebaliknya mata kebencian akan melihat segala sesuatu yang buruk saja.
Kita berharap ibadah puasa yang kita jalankan tahun ini memberikan dampak positif terhadap proses demokrasi di Indonesia. Hikmahnya adalah kita lebih bisa mengendalikan nafsu kekuasaan yang terdapat dalam diri kita. Nafsu kekuasaan mendorong kita untuk menang dan memperoleh kekuasaan. Nafsu kekuasaan cenderung tidak mau kalah meskipun kenyataannya kita kalah. Jangan larut dan menghabiskan energi kita untuk demokrasi. Demokrasi hanyalah sebuah sistem yang telah disepakati manusia untuk membagikan kekuasaan kepada orang-orang tertentu. Demokrasi bukanlah kebenaran sejati dan segala-galanya.
Demokrasi hanyalah sebuah permainan perebutan kekuasaan yang bisa menggoda nafsu kekuasaan dalam diri manusa. Oleh karena itu, mari kita jaga nafsu kekuasaan kita dalam pelaksanaan demokrasi pada pemilu. Mari kita menahan diri seperti kita menahan diri ketika menjalankan ibadah puasa. Kita kendalikan nafsu kekuasaan dalam diri kita. Kita hindari tindakan-tindakan anarkis yang bisa merusak bangsa Indonesia. Kita dapat merespons pemilu secara kritis tetapi tidak dengan cara saling menghina, mencaci, dan merendahkan pihak lain.
Pihak yang menang jangan sombong dan harus memegang kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan bangsa. Pihak yang kalah tidak perlu membuat kegaduhan dan keos karena itu akan merugikan bangsa Indonesia. Sistem demokrasi melalui pemilu telah membuat kita lelah dan menghabiskan energi. Ditambah lagi biaya penyelenggaraan pemilu sangat mahal.
Tahapan Pemilu Serentak Tahun 2024 hampir selesai. Semangat menahan diri dalam puasa Ramadan kita jadikan landasan untuk menerima hasil Pemilu. Bangsa Indonesia sangat memerlukan kearifan kita untuk menerima dengan lapang hati hasil Pemilu yang ditetapkan penyelenggara Pemilu. Kita luruskan niat untuk terus memperbaiki proses demokrasi di Indonesia dengan sikap kritis konstruktif. Berbagai kekurangan dan kecurangan yang terjadi harus diperbaiki. Sistem demokrasi yang menghabiskan banyak energi dan biaya juga perlu diperbaiki. Jangan sia-siakan energi dan biaya yang telah kita habiskan untuk pemilu. Kontruksi berpikir menang-kalah dalam demokrasi harus diubah. Kita telah memilih sistem demokrasi untuk memberikan kekuasaan kepada orang atau pihak yang memiliki niat baik dan kemampuan memimpin bangsa ini. Jangan terjebak oleh sistem polarisai yang menyuburkan konflik dan pertikaiaan di antara kita. Kuatnya polarisasi akan menyuburkan nafsu kekuasaan sehingga ini akan merugikan bangsa kita. Semoga kekuasaan yang diperoleh melalui pemilu membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi bangsa Indonesia.
Penulis | : | Prof. Dr. Junaidi, S.S.,M.Hum, Rektor Unilak |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Politik, Cakap Ramadan |