Panglima Besar Jenderal Sudirman ditandu selama perang gerilya.
|
(CAKAPLAH) - Tanpa semangat juang Jenderal Soedirman, mungkin Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang penjajahan Belanda. Jiwa patriotisnya dan semangat juangnya, berhasil membawa Indonesia sebagai negara yang diakui kemerdekaannya di Internasional.
Semasa kecilnya, Jenderal Soedirman memang telah dipupuk menjadi anak yang taat kepada ajaran agamanya. Hingga dia mulai menjajaki dunia pendidikan, Soedirman muda sangat aktif dalam mengikuti pelbagai kegiatan ekstrakurikuler.
"Sampai kemudian beliau menjadi seorang guru di sekolah Muhammadiyah," ujar Sejarawan Universitas Indonesia Anhar Gonggong.
Di era proklamasi, Jenderal Soedirman menjadi pimpinan militer Pembela Tanah Air (PETA) dan menjadi komandan batalion. Jiwa nasionalisme dan patriot jenderal Soedirman memang sudah terbentuk sejak dirinya menempuh pendidikan.
"Pak Dirman itu memang tentara, walaupun pendidikan tentaranya hanya singkat lewat PETA, tapi dia gunakan betul kemampuan tentaranya untuk memberi spirit kepada anggotanya," ujar Anhar.
Di tengah-tengah masa kritis saat Belanda kembali ingin merebut kemerdekaan Indonesia pada 1948, Soedirman pun ikut dalam perang gerilya. Kendatipun saat itu, Presiden sangat menyayangkan keputusan Soedirman.
Presiden RI Soekarno bersikukuh untuk meminta agar Jenderal Soedirman tidak ikut dalam perang. Karena saat itu kondisi Jenderal Soedirman yang tengah terkena sakit parah, TBC.
"Presiden Soekarno memerintahkan agar beliau (Soedirman) tidak perlu ikut dalam peperangan kemerdekaan itu dan justru diminta ke rumah sakit, tetapi jenderal Sudirman tidak mau," cerita Anhar.
Sebagai pemimpin dengan jiwa patriot dan tanggung jawab yang amat besar, membuat Jenderal Soedirman tetap merancang strategi untuk menghadapi serangan Belanda. Bersama Kolonel TB Simatupang, kala itu, memutuskan dan meminta agar Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta agar menyerahkan diri kepada tentara Belanda.
"Menyerahkan diri bukan dalam artian kalah ya. Ini adalah strategi untuk melindungi Soekarno dan Bung Hatta kala itu," ujar dia.
Soedirman dan TB Simatupang saat itu berpikir bahwa jumlah tentara mereka tidak akan cukup untuk melawan pasukan Belanda. Sedikitnya harus ada satu batalion atau 1.000 tentara lengkap untuk menghadapi Belanda. Sehingga, cara terbaik untuk melindungi orang nomor satu di negaranya adalah bukan dengan membawa mereka ke Medan perang, namun justru menempatkan Presiden bersama pemerintah Belanda.
"Mereka yakin jika Belanda tidak ingin membunuh Soekarno dan Bung Hatta, meskipun sasaran utama Belanda menyerang ibu kota adalah Soekarno dan Hatta. Karena dalam pandangan Belanda sumber utama kekuatan dan semangat kemerdekaan ada di dua orang itu," jelas Anhar.
Selama hidupnya bahkan di masa peperangan itu, sambung Anhar, Soedirman pun dikenal dengan sosok yang saleh dan taat dalam menjalankan ajaran agamanya. Soedirman senantiasa menjaga air wudhunya dan tidak pernah meninggalkan shalatnya.
Ibadahnya itu, tegas Anhar, digunakan oleh Soedirman sebagai kunci semangatnya dalam berperang melawan penjajah dan merebut kembali kemerdekaan. Beliau adalah seorang yang hebat, dia tentara yang dalam situasi kritis salah satu pegangannya adalah agama.
"Pak Dirman tidak sekadar patriotis tapi juga seorang penganut agama yang sangat tertib menjalankan aturan dan digunakan sebagai kekutan dalam berjuang," ungkapnya.
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Republika.co.id |
Kategori | : | Nasional, Serba Serbi |