Gema Demokrasi menilai Presiden Joko Widodo gagal menjalankan amanat reformasi. Selain itu, penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, juga dinilai mandek.
|
(CAKAPLAH) - Aktivis yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gema Demokrasi) menyatakan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla gagal dalam menjalankan amanat Reformasi 1998 selama tiga tahun memegang pemerintahan.
Gema Demokrasi, yang terdiri dari YLBHI, KontraS, Arus Pelangi, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lainnya, menilai beragam kasus penegakan HAM dan ketimpangan sosial seolah mangkrak dan tidak diselesaikan secara tuntas.
Amanat reformasi tertuang dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi. Enam amanat reformasi, yakni, adili Soeharto dan kroni-kroninya, cabut Dwifungsi ABRI, hapuskan budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Selain itu, otonomi daerah seluas-luasnya, amandemen UUD 1945, serta tegakkan supremasi hukum dan budaya demokrasi.
Ketua YLBHI Asfinawati mengatakan, bahwa amanat reformasi bertujuan untuk menegakan, memastikan hak manusia hidup sejahtera, dan di masa Jokowi hal itu semakin jauh dari harapan.
Ia mempertanyakan tentang pembangunan infrastruktur di bawah pemerintahan Jokowi.
"Pembangunan infrastruktur gencar dilakukan, tapi itu perlu dipertanyakan, untuk rakyat atau untuk pemodal?" ujar Asfinawati saat konferensi pers di kantor KontraS bilangan Kwitang, Jakarta Pusat, kemarin.
Asfinawati mencontohkan, pembangunan infrastruktur di beberapa tempat justru telah menyingkirkan masyarakat miskin.
"Ada pembangunan bandara, pembangkit listrik dan jalan tol mengubah tanah petani, misalnya di Semarang, di wilayah Kendeng, ada pengabaian pada masyarakat sipil," tutup Asfinawati.
Sementara, aktivis KontraS Arif Nur Fikri menambahkan, pelanggaran HAM khususnya di Papua sepanjang tiga tahun pemerintahan Jokowi-JK terus terjadi.
"Rakyat Papua sampai sekarang masih menjadi obyek penyiksaan pemerintah karena menyuarakan kemerdekaan," ujarnya.
Data KontraS di Papua menunjukkan pada 2014 ada 150 orang yang ditangkap, 540 orang pada 2015 dan melonjak tajam menjadi 3.156 pada Juli 2016. Penangkapan disertai tindak kekerasan oleh aparat ini berkaitan dengan hak kebebasan berpendapat masyarakat Papua.
Tak hanya itu, menurut KontraS, hingga kini masih terjadi pelarangan peliputan terhadap jurnalis asing di Papua dan eksploitasi sumber daya alam dan penjarahan kekayaan bumi Papua.
"Semua kasus ini merupakan episode buruk dari penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi di Papua yang senantiasa berulang dan direproduksi entah sampai kapan, ujar Arif
Senada, aktivis Arus Pelangi Lini Zurlia mengatakan, bahwa kelompok minoritas masih mengalami diskriminasi, intimidasi hingga kriminalisasi.
"Kasus kekerasan minoritas di pemerintahan Jokowi kasusnya meningkat, kasus-kasus persekusi di ruang publik atau privat, dari pembubaran diskusi, sampai aksi direpresi terus berlanjut," ujarnya.
Kasus seperti pembubaran diskusi tentang, penutupan pesantren waria di Yogyakarta, pembubaran pawai , persekusi dan pennagkapan secara sewenang-wenang kepada kelompok LGBT masih mendominasi 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK.
"Ada upaya kriminalisasi dari pemerintah melalui kekuatan kebijakan yang digunakan bagi kaum LGBT agar tak bisa bebas berekspresi," tegasnya.
Lini menilai pemerintah kini telah melakukan penyempitan ruang kebebasan berekspresi yang signifikan dalam 3 tahun Jokowi-JK. Jika hal itu dibiarkan, maka akan mengancam pondasi demokrasi Indonesia.
"Presiden Jokowi gagal mengemban amanat rakyat untuk berkomitmen pada penegakan Hak Asasi Manusia, cita-cita itu masih jauh panggang dari api," tutupnya.
Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM
Aksi Kamisan yang digelar Kamis (19/10) juga menyuarakan penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu.
Selain itu, aksi yang sudah masuk ke-510, menuntut pemerintah Joko Widodo menjalankan amanat reformasi 1998.
Asfinawati mengatakan, agar Jokowi melaksanakan janji-janjinya yang tertuang dalam Nawacita. Apalagi, saat kampanye pada Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu.
"Meskipun harapan kami dan para korban itu agak pupus ketika beliau mengangkat orang-orang yang tersangkut pelanggaran HAM di Indonesia," kata Asfinawati.
Menurut mantan Direktur LBH Jakarta itu, terjadi kontradiktif antara janji Jokowi dalam Nawacita dengan kenyataan yang terjadi selama jalannya pemerintahan, yang masuk tahun ketiga. Asfinawati menyebut telah terjadi penyempitan kebebasan di era Jokowi.
"Memang betul terjadi kontradiksi antara yang dituliskan di Nawacita dengan apa yang terjadi saat ini," ujarnya.
Asfinawati melanjutkan, aksi Kamisan sudah berjalan sebelum Jokowi menjadi presiden ke-7 Indonesia. Sehingga, menurut dia, siapa pun presidennya, aksi menuntut pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu akan terus dilakukan.
"Karena itu tentu saja kami akan terus melakukan hal ini, sampai penuntasan pelanggaran HAM terjadi," tuturnya.
Asfinawati dan koalisi masyarakat sipil kecewa dengan sikap Jokowi yang tak konsisten dengan janji-janjinya terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM. Ada kesan mantan gubernur DKI Jakarta itu tak peduli terhadap korban serta keluarga korban.
"Sampai saat ini belum sekalipun presiden datang ke Kamisan, menyapa ibu-ibu korban, menyapa orang tua korban, dan menjanjikan suatu penuntasan yang serius," tuturnya.
Editor | : | Ali |
Sumber | : | Cnnindonesia.com |
Kategori | : | Nasional |