Jika sentimen ingin gubernur baru ini tak kunjung turun, Ahok potensial kalah dalam pilkada Jakarta, jika tidak di putaran pertama, atau di putaran kedua. Untuk menang Ahok butuh dukungan mayoritas pemilih Jakarta. Namun mayoritas pemilih Jakarta menjawab: Kami ingin gubernur baru
Demikianlah salah satu temuan survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI DENNY JA). Survei dilakukan pada tanggal 1-6 Desember 2016 di Jakarta.
Survei dilakukan secara tatap muka terhadap 440 responden. Responden dipilih dengan menggunakan metode multistage random sampling. Margin of Error survei ini plus minus 4.8%.
Survei ini dibiayai dengan dana sendiri, dan dilengkapi pula dengan kualitatif riset (FDG/focus group discussion, media analisis, dan indepth interview).
Sudah lima kali LSI melakukan survei pilkada DKI, sejak bulan Maret, Juli, Oktober, November dan Desember 2016. Dalam setiap survei itu, selalu diselipkan pertanyaan yang sama: ibu dan bapak jika pilkada hari ini, apakah ingin gubernur baru atau tetap ingin gubernur lama, atau tak tahu?
Sentimen ingin gubernur baru, meningkat dari waktu ke waktu. Pada November 2016, mereka yang ingin gubernur baru sebesar 52.6 %. Pada Oktober 2016, mereka yang ingin DKI Jakarta punya gubernur baru sebesar 48.6 %. Di bulan Juli dan Maret yang inginkan gubernur baru masih minoritas. Yaitu sebesar 31.5 % (Juli 2016) dan 24.7 % (Maret 2016).
Kini sentimen ingin gubernur baru di bulan Desember 2016 angkanya meningkat menjadi 61.3%, berselisih sekitar 36, 6% dibanding bulan Maret 2016.
Mengapa sentimen ingin gubernur baru meningkat? LSI menemukan 3 alasan.
Rapor merah atas 4 kondisi kehidupan masyarakat DKI Jakarta punya pengaruh. Persepsi publik terhadap empat aspek kehidupan sehari-hari yaitu aspek politik, ekonomi, keamanan, dan penegakan hukum cenderung negatif. Keempat aspek ini dinilai sangat baik/baik hanya dibawah 50 %.
Aspek politik dinilai sangat baik/baik hanya sebesar 45.30 %, aspek ekonomi 45.70 %, aspek keamanan 46.40 %, dan aspek penegakan hukum 45.0 %. Buruknya persepsi publik berbagai aspek kehidupan ini menjadi lahan perlunya perubahan.
Mayoritas publik juga tak nyaman dengan pro kontra kasus Ahok sejak mencuatnya kasus Al-Maidah. Terlepas dari sikap mereka yang pro atau anti Ahok, sebesar 68.5 % publik menyatakan kehidupan mereka terganggu/tak nyaman dengan berbagai pro kontra yang diwujudkan dalam bentuk aksi dukung/tolak mantan Gubernur Basuki Tjahaya Purnama. Mereka ingin perubahan.
Di samping itu, mayoritas publik (65%) tak bersedia dipimpin oleh gubernur dengan status tersangka. Ahok saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka. Naiknya status tersangka menjadi pihak yang bersalah memang tergantung proses peradilan.
Namun sudah menjadi memori publik bahwa Ahok saat ini bermasalah dengan isi sensitif penistaan agama. Status Ahok sebagai tersangka menjadi hambatan psikologis publik untuk memilihnya kembali.
Kemanakah pilihan mereka yang ingin gubernur baru? Ini isu berikutnya.
Jika dibreakdown dari mereka yang inginkan gubernur baru (60.3 %), sebesar 47.60 % (dari 60, 3% itu) mendukung Agus-Sylvi, dan 34.80 % (dari 60,3% itu) mendukung Anies-Sandi. Untuk sentimen ingin gubernur baru, jika pilkada hari ini, Agus lebih dipilih dibandingkan Anies.
Saat ini, Desember 2016, pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (Agus-Sylvi) memperoleh dukungan tertinggi dan sudah mengalahkan pasangan petahana (incumbent) Basuki Tjahaya Purnama-Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-Djarot) di atas margin of error .
Pasangan Agus-Sylvi memperoleh dukungan 33.6 %, pasangan Ahok-Djarot memperoleh dukungan 27.1 %, dan pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno (Anies-Sandi) memperoleh dukungan 23.6 %. Mereka yang belum memutuskan (undecided voters) sebesar 15.70 %.
Dukungan pemilih cukup terfragmentasi kepada ketiga kandidat. Memang selisih elektabilitas pun di antara ketiga kandidat belum double digit. Namun demikian, saat ini Agus-Sylvi sudah mengungguli kompetitor terdekatnya yaitu Ahok-Djarot dengan selisih 6.50 %.
Sementara Ahok-Djarot dan Anies Sandi selisih elektabilitasnya dibawah margin of error survei dengan selisihnya hanya 3.50 % (margin of error).
Peluang pilkada dua putaran cukup besar. Khusus pilkada DKI Jakarta, calon pemenang harus memperoleh dukungan minimal 50%+1.
Untuk lolos ke putaran kedua, jika 3 pasangan calon, maka setiap pasangan calon harus melampaui the magic number yaitu 33.3 % (Pembagian 100% : 3). Jika mengacu pada survei terbaru LSI Denny JA Desember 2016 ini, maka baru pasangan Agus-Sylvi yang telah mencapai the magic number tersebut. Karena saat ini dukungan Agus-Sylvi sebesar 33.6%.
Inilah temuan kedua yang penting dalam survei Desember 2016. Jika pilkada hari ini, Agus-Sylvi pasangan pertama yang dipastikan lolos ke putaran kedua. Sementara pasangan Ahok dan pasangan Anies masih berebut tiket untuk putaran kedua.
Jika pertarungan pilkada DKI saat ini adalah semi final, Agus sudah mendapatkan tiket masuk finalnya. Lawan tanding Agus di final menunggu pemenang Ahok versus Anies.
Dukungan ketiga kandidat pun saling mengalahkan di beberapa segmen pemilih. Di segmen agama, pemilih muslim yang merupakan populasi pemilih terbesar, Agus-Sylvi memperoleh dukungan sebesar 36.10 %, disusul Anies-Sandi 25.20 %, dan Ahok-Djarot sebesar 21.70 %. Masih ada 17 % pemilih muslim yang belum menentukan pilihan.
Di pemilih Non Muslim, Ahok-Djarot unggul telak yaitu sebesar 92.90 %. Dukungan terhadap Agus-Sylvi dan Anies-Sandi hanya masing-masig 3.60 %.
Di segmen pendidikan, Agus-Sylvi unggul dari pasangan Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi di segmen pemilih berpendidikan menengah ke rendah (Tamat SLTA ke bawah). Sementara Ahok-Djarot unggul di segmen pemilih yang berpendidikan tinggi (pernah kuliah atau diatasnya).
Di segmen pendapatan, Agus-Sylvi unggul dari pasangan Ahok-Djarot maupun Anies-Sandi di pemilih berpendapatan rendah (dibawah 3.5 Juta sebulan), sementara pasangan Ahok-Djarot unggul dari pasangan Anies-Sandi maupun Agus-Sylvi di segmen pemilih pendapatan tinggi (pendapatan 3.5 Juta ke atas/bulan).
Di segmen usia, Agus-Sylvi unggul di hampir semua segmen usia terutama di pemilih yang kategori usianya dibawah 50 tahun. Sementara pasangan Ahok-Djarot unggul di segmen usia diatas 50 tahun.
Secara teritori, Agus-Sylvi sementara ini unggul di wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Pasangan Ahok-Djarot unggul tipis di Jakarta Selatan. Dan ketiga pasangan calon bersaing ketat di Jakarta Barat.
Jika dibreakdown dukungan ketiga pasangan kandidat di berbagai segmen etnis pemilih, maka pasangan Agus-Sylvi unggul di pemilih beretnis Betawi dan Sunda. Sementara pasangan Ahok-Djarot unggul di pemilih beretnis Jawa dan etnis lainnya.
Mengapa pasangan Agus-Sylvi sementara unggul? Dan mengapa elektabilitas pasangan Ahok-Djarot untuk pertama kalinya cenderung rebound, menaik? Ahok untuk pertama kali dalam survei LSI cenderung rebound elektabilitasnya meskipun tidak di peringkat 1 lagi dalam survei.
LSI menemukan ada 4 (empat) alasan mengapa Agus-Sylvi unggul. Pertama, diantara ketiga calon gubernur, Agus Harimurti Yudhoyono adalah cagub dengan tingkat kesukaan/penerimaan paling tinggi.
Tingkat kesukaan Agus sebesar 77.10 %. Tingkat kesukaan Anies sebesar 74.30 %. Dan tingkat kesukaan Ahok sebesar 53.70 %. Semakin disukai semakin besar probabity calon dipilih.
Kedua, Agus-Sylvi lebih sukses menarik simpati pemilih mayoritas yaitu menengah-bawah (ekonomi) dengan program pro rakyatnya. Total populasi dengan penghasilan 3,5 juta ke bawah sebesar 65 persen.
Tiga program rakyat Agus-Sylvi yaitu program bantuan 50 Juta/Unit usaha untuk modal bergulir, program bantuan tunai 5 juta/tahun untuk keluarga tak mampu, dan program bantuan 1 Miliar per RW/RT disukai rata-rata diatas 70 % oleh pemilih ekonomi menengah-bawah (pendapatan dibawah 3.5 juta/sebulan).
Ketiga, Agus-Sylvi lebih mewakili spektrum ideologi “tengah”. Survei LSI menunjukan sebesar 45.8 % pemilih DKI Jakarta mengidentifikasi ideologi politik mereka “nasionalis religius”. Hanya 18.2 % menyatakan mereka berideologi nasionalis sekuler, dan 16.5 % berideologi agama.
Dan ketika ditanya dari 3 pasangan calon gubernur, manakah yang mewakili ideologi nasionalis religius, maka Agus harimurti Yudhoyono paling tinggi. Sebesar 32.5 % menilai Agus mewakili ideologi nasionalis religius, 26.1 % menyatakan Anies, dan 24.8 % menyatakan Ahok.
Positioning Agus yang dipersepsikan di “tengah” membantu Agus untuk lebih mudah masuk ke semua segmen.
Keempat, Agus-Sylvi dianggap sebagai pasangan paling minim kontroversi. Yang dimaksud dengan kontroversi disini adalah pasangan calon yang pernyataan, perilaku dan kegiatannya menimbulkan pro dan kontra. Pasangan Ahok-Djarot dinilai paling banyak menimbulkan kontroversi yaitu 52.4 %, Anies-Sandi sebesar 20.3 %, dan Agus-Sylvi sebesar 13.2 %.
Publik Jakarta tak menyukai kandidat yang kontroversial, yang acapkali menyulut hiruk pikuk yang tak produktif.
Mengapa Ahok-Djarot untuk pertama kalinya rebound? Sejak LSI melakukan survei di bulan maret, juli, oktober, november, dukungan untuk Ahok selalu menurun. Namun di bulan Desember 2016 ini, untuk pertama kalinya dukungan Ahok menaik. Tiga penyebab rebound itu.
Ahok berubah sikap. Ahok terlihat lebih low profile dan mulai menghindari bicara yang kesannya arogan, kasar dan kontroversi.
Permintaan maaf Ahok yang berulang-ulang disampaikan mulai diterima sebagian publik. Walau tetap banyak yang anti Ahok, tapi sebagian hati publik sudah memaafkan dan melupakan.
Di sebagian pemilih Ahok dinilai hanyalah korban dari politisasi agama. Ahok dianggap oleh segmen ini dizalimi dan dianiaya.
Meskipun mengalami rebound elektabilitasnya, namun belum cukup untuk membuat Ahok kembali nomor 1 dalam dukungan publik. Hal ini terjadi karena dua alasan
Status Ahok sebagai tersangka cukup fatal. Sebesar 65.0 % tidak bersedia dipimpin oleh gubernur berstatus tersangka.
Masalah penistaan agama melukai mayoritas pemilih muslim. Sebesar 64.7 % menyatakan Ahok bersalah dalam kasus Al Maidah ayat 51
Pilkada DKI Jakarta tinggal 63 hari lagi. Mungkinkah posisi dan dukungan masing-masing pasangan berubah? Undecided voters sudah jauh mengecil menjadi kurang lebih 15 persen saja.
Banyak hal mungkin terjadi, namun dua asumsi ini berlaku.
Jika sentimen ingin gubernur baru tak berkurang dari 60%, Ahok akan tersingkir jika tidak di putaran pertama atau di putaran kedua.
Jika Agus-Sylvi tetap menjaga loyalitas pendukungnya, apalagi jika trend menaiknya stabil, maka Agus Sylvi menjadi peserta pertama yang lolos ke putaran kedua. Ibaratnya, Agus sudah masuk final dan menunggu peserta final lainnya antara Ahok atau Anies.
Pengadilan atas Ahok yang berlangsung melampaui hari pilkada Febuari 2017 akan menentukan apakah Ahok peraih tiket final berikutnya? Atau Ahok justru tersingkir di putaran pertama dan Anies yang meraih tiket final. Drama di pengadilan adalah sesuatu yang menentukan nasib Ahok di mata pemilih Jakarta.(rilis/ck3)
Penulis | : | Bhimo |
Kategori | : | Nasional |