(CAKAPLAH) - Adanya perkembangan teknologi informasi yang cepat dan tak terduga membawa pengaruh terhadap makna kewarganegaraan. Jika dahulu ikatan kewarganegaraan adalah letak georafis, maka saat ini batasan tersebut memiliki peran yang sangat kecil jika ditinjau dari keterlibatan warga dunia dengan urusan Negara lain. Hal ini bertepatan dengan munculnya serangkaian tantangan global, termasuk ekonomi yang semakin terintergasi dan di gerakkan oleh pengetahuan, meningkatnya ketidaksetaraan, meningkatnya kesadaram dan perubahan iklim, degradasi lingkungan, percepatan globalisasi, dan perkembangan teknologi yang pesat memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap makna kewarnegaraan global.
Kewarganegaraan global (global citizenship) sendiri adalah seseorang yang mudah memahami orang lain di belahan bumi manapun, yang pada waktu yang bersamaan, dia bisa menunjukkan rasa peduli dan simpati sekaligus. Kewarganegaraan global (global citizenship) juga membutuhkan kesadaran dan tindakan yang konsisten dengan pemahaman yang luas tentang kemanusiaan, planet ini, dan dampak dari perilaku manusia terhadap keduanya. Hal ini tentu saja tidak muncul secara tiba-tiba pada diri seseorang. Kepedulian dan simpati tumbuh dari suatu proses yang didapatkan melalui hubungan timbal balik antara pola pikir, pola perilaku, dan pola asuh seseorang. Artinya setiap warga dunia harus mempunyai pengetahuan yang cukup dengan pendidikan sebagai daerah utamanya.
Pertanyaannya adalah, jenis pendidikan apa yang memungkinkan seseorang bisa menjadi warga dunia sekaligus memliki kepedulian terhadap sesama dan juga makhluk yang ada disekitarnya? Linyuan Go dalam Preparing Teachers to Educate for 21st Century Global Citizenship: Envising and Enacting (2014) setidaknya menyebutkan dua kata kunci yang dibutuhkan menjadi warga global yaitu karakter dan jiwa pengabdian. Dengan bahasa yang lebih sederhana warga dunia membutuhkan karakter.
Mengapa karakter sangat penting? Perhatikanlah lingkungan kita saat ini, yang dipenuhi karakter buruk dan jahat sudah merambah keseluruh lapisan masyarakat. Dimulai dari anak-anak, remaja, dan tidak luput pula dari orang dewasa. Maraknya korupsi di kalangan pejabat, kekerasan terjadi dimana-mana, narkoba, pelecehan seksual pada anak dibawah umur, pemanasan global, penebangan hutan secara sembarangan, serta pembakaran hutan tanpa merupakan bukti rusaknya karakter bangsa.
Adanya degradasi karakter bangsa ini tidak luput dari perhatian dalam dunia pendidikan. Sekolah melalui kurikulum yang berlaku menawarkan praktek pendidikan melalui lensa kewarganegaraan global (global citizenship education) dengan tujuan utamanya adalah untuk membangun rasa memiliki global dan kemanusiaan bersama, serta memupuk rasa solidaritas, identitas, tanggung jawab yang menghasilkan karakter suatu bangsa dan juga menghormati nilai-nilai universal. Meskipun nilai-nilai yang terkait dengan pendidikan kewarganegaraan global bukanlah hal yang baru, namun global citizenship education sebagai sebuah lensa untuk melakukan praktik pendidikan dan sebagai sebuah area pembelajaran dan pengajaran masih merupakan fenomena yang sedang berkembang dengan minat yang terus meningkat di seluruh dunia.
Guru sebagai agen perubahan di kelas dan komunitas sekolah yang lebih luas dan bagaimana program pelatihan guru dapat dirancang dan disesuaikan untuk mendukung tujuan GCE telah menjadi pertanyaan mendasar dalam membentuk karakter siswa. Guru yang baik harus memiliki kemampuan mentransformasi keyakinan bahwa tak ada yang mampu membentuk karakter seseorang untuk kita (nobody can build your character for you). Karakter merupakan tanggung jawab pribadi orang per orang, dan karena itu karakter merupakan pembeda satu dengan lainnya. Selain itu, guru harus mampu membimbing, memberi peluang dan kesempatan kepada siswa-siswi mereka untuk meyakini bahwa karakter seseorang sangat tergantung pilihan-pilihan yang mereka ambil dalam hidup. Prinsip we create our character by the choice we make harus dijadikan semacam kredo guru ketika mengajar, sambil tak lupa dan bosan memberi suri teladan yang baik.
Penting bagi sekolah untuk mempraktikkan hal-hal kecil seperti mengucapkan kata maaf, terima kasih, minta tolong, agar tercipta situasi saling menghargai (respect) satu sama lain. Untuk mengukur ada-tidaknya pendidikan karakter pada sebuah sekolah, lihatlah bagaimana sekolah menciptakan level of responsibility. Jika di sebuah sekolah banyak sekali kasus bullying, praktik kekerasan, dan sejenisnya, dapat dipastikan sekolah tersebut berada pada level nol karena tak ada perilaku yang bertanggung jawab. Situasi sekolah tidak sehat karena di antara guru, siswa, dan orangtua begitu banyak beredar rumor tentang kejelekan seseorang dan saling mengganggu satu sama lain.
Sekolah dengan karakter yang baik telah muncul kesadaran untuk bertanggung jawab dari sebagian besar komunitas sekolah dan praktik saling menghargai serta menghormati tecermin pada hampir seluruh siswa dan guru. Suasana sekolah bukan hanya lebih nyaman dan aman, di saat setiap siswa dan guru secara sadar selalu dalam posisi saling menghargai (respect) dan bertanggung jawab (responsible) pada kewajiban masing-masing, tetapi juga tampak dari kerukunan dan kekompakan untuk selalu saling membantu satu sama lain (help others).***
Penulis | : | Hastri Mulyani, Mahasiswa Program Studi Magister Pendidikan Dasar Universitas Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Kampus |