Jokowi buka puasa bersama relawan GoJo.
|
(CAKAPLAH) - Loyalitas Partai Golkar tengah menjadi sorotan jelang pendaftaran Capres-Cawapres di KPU pada 4-10 Agustus 2018 nanti. Gara-garanya, manuver Ketum Golkar Airlangga Hartarto yang beberapa waktu lalu bicara serius dengan Ketum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Wajar saja spekulasi Golkar akan tinggalkan Jokowi menguat. Terlebih sejarah membuktikan, Golkar sebagai partai besar bisa dengan mudah mengubah arah politiknya ikut penguasa seperti pada Pemilu 2004 dan 2014.
Di samping itu, dorongan Airlangga menjadi cawapres di internal menguat. Tapi tak seiring dengan dukungan parpol koalisi Jokowi. Belakangan, nama yang mencuat malah Mahfud MD dan Sri Mulyadi sebagai kandidat cawapres petahana.
Ditambah, pernyataan Ketum PKB Muhaimin Iskandar yang menyebut antara dirinya dan Airlangga akan kembali menggelar pertemuan jika keduanya tak dipilih sebagai Cawapres oleh Jokowi. Hal ini menambah kuat spekulasi internal koalisi Jokowi tengah goyang.
Seberapa besar peluang Golkar hengkang?
Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago melihat kemungkinan Golkar cabut dari koalisi Jokowi. Sebab, menurutnya, Golkar adalah partai yang sulit dipegang.
Safari politik Airlangga dipandang sebagai upaya mencari 'perahu baru' jika tak dipilih menjadi cawapres. Pangi melihat peluang Golkar merapat ke kubu Prabowo Subianto atau membuat poros alternatif belum tertutup.
"Kalau Golkar banting stir mungkin saja, yang dipegang Pak Jokowi kan hanya Pak Luhut dan Airlangga. Kedua adalah strategi ini bola pantulan bisa kemana-mana bisa ke Prabowo bisa ke poros Demokrat," kata Pangi saat dihubungi merdeka.com, Kamis (12/7).
Potensi Golkar gabung koalisi Prabowo atau poros alternatif bisa terjadi apabila melihat celah untuk dapat mengusung kader menjadi cawapres.
"Kalau itu kemungkinan lompat pagar kalau di sana disambut dengan baik. Kalau enggak ada harapan di akan bertahan di poros Jokowi," terangnya.
Pangi menganalisis, alasan Golkar memaksakan Airlangga menjadi cawapres karena ingin mendapatkan efek ekor jas. Menurutnya, bila tidak ada kader yang diusung menjadi cawapres maka suara Golkar akan merosot.
"Itu dikhawatirkan kalau tidak usung cawapres suara bisa goyang. Logika partai paksakan cawapres tidak ingin perahu tenggelam kalau figur maju elektabilitas partai terangkat," paparnya.
Untuk itu, Pangi menyarankan Jokowi untuk mencari cara memagari Golkar agar tidak cabut dari koalisi. Salah satu opsi yang bisa dipakai adalah mengiming-imingi Golkar dengan jatah menteri yang lebih banyak dan strategis. Sebab, Golkar adalah partai yang tidak bisa jauh dari kekuasaan.
"Kalau Pak Jokowi ingin cari sosok non parpol beliau harus memberikan iming-iming lain. Anggap Airlangga tak jadi cawapres ada posisi lain yang ditawarkan," tandas Pangi.
Airlangga kini gencar melakukan pertemuan dengan beberapa tokoh. Pertemuan tersebut menuai anggapan sebagai langkah antisipasi Golkar jika tak dipilih sebagai cawapres Jokowi.
Namun anggapan itu langsung dibantah Airlangga. Dia menyebut pertemuan dengan beberapa tokoh termasuk SBY sebagai salah satu cara untuk mengajak partai yang belum menentukan arah dukungannya di Pilpres 2019 bisa turut mendukung Presiden Jokowi untuk menjabat selama dua periode.
"Antara koalisi pendukung presiden dan tentu bagi koalisi partai penduking presiden lebih banyak lebih baik di dalam politik lebih banyak lebih baik," kata Airlangga.
Airlangga menegaskan komitmennya untuk tetap mendukung capres petahana Joko Widodo atau Jokowi kalaupun nanti ia tak dipilih menjadi cawapres Jokowi. Ia mengatakan saat di awal menyatakan dukungan kepada Jokowi, partainya tak mensyaratkan soal posisi cawapres harus dari Golkar.
Sekretaris Badan Pendidikan dan Pelatihan DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Eva Kusuma Sundari menilai Partai Golkar tidak akan ambil risiko keluar dari koalisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019. Sebab, kata dia, Golkar punya berkepentingan subjektif untuk menjaga citra positif yang selama ini berusaha dibangun paska mantan ketua umumnya, Setya Novanto dijebloskan ke penjara karena kasus korupsi e-KTP.
"Aku melihatnya enggak akan mau ambil risiko yang berat ya. Karena mereka punya kepentingan subjektif Pileg. Pileg itu kan asosiasinya dengan pencitraan positif," kata Eva.