Erisman Yahya
|
Di era milenial ini, mayoritas kita seakan tak bisa lepas dari apa yang kita sebut dengan media sosial (medsos). Teknologi internet khususnya melalui gadget telah memberikan kita kemudahan dalam berinteraksi melalui beragam aplikasi.
Kita sekarang sibuk ber-facebook ria, ber-WA-an, aktif di instagram, twitter, line, skype bahkan aktif menonton dan hobi meng-upload video di youtube.
Penelitian terakhir dari Kemenkominfo RI menyebutkan bahwa rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan waktu untuk bermedsos ria selama 8 s/d 11 jam dalam sehari.
Hebatnya lagi, ternyata kini rata-rata orang Indonesia hanya bisa lepas dari gadget paling lama 7 (tujuh) menit. Setelah 7 menit, ya pegang dan lihat lagi. Gadget seakan sudah menjadi “nyawa kedua” kita.
Sebelum tidur periksa dulu gadget. Bangun tidur yang dicari ya gadget lagi. Kadang gadget sudah melebihi keberadaan istri atau suami. Ketika berangkat kerja ternyata gadget tertinggal di rumah, duniapun terasa seakan mau kiamat. Biarlah dompet yang tertinggal asal jangan benda yang bernama gadget.
Namun, dari semua kesibukan duniawi kita itu, ada sisi-sisi kemanusiaan (humanism) yang agaknya penting kita cermati.
Apa itu? ternyata banyak di antara kita yang tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa yang santun. Melihat dunia maya (cyber) kadang kita seperti merasa di “terminal bus”. Banyak kata atau ucapan yang tidak sepantasnya disampaikan. Bahkan oleh mereka-mereka yang mengaku berpangkat dan berpendidikan tinggi.
Apa pentingnya bagi kita menyampaikan kata-kata kasar dan jorok, jika hal itu sejatinya hanya merugikan diri kita sendiri?
Hemat penulis, paling tidak ada beberapa kerugian yang bakal kita terima jika kita termasuk orang-orang yang suka menggunakan bahasa yang tidak santun alias “kebun binatang”.
Pertama, apapun yang kita tulis di dunia maya (medsos), akan meninggalkan jejak digital. Bahasa menunjukkan bangsa, kata orang Melayu. Orang akan bisa mengukur kualitas diri kita dari apa yang kita tulis atau sampaikan di dunia maya. Senangkah kita akan dikenang sebagai orang yang tidak sopan dalam bertutur kata? Pasti jawabannya tidak.
Kedua, andai kita tidak mampu mengontrol emosi, lalu kita menyampaikan atau menuliskan semacam ujaran kebencian, maka siap-siap dijerat dengan UU ITE. Anda bisa “membusuk” di dalam penjara hanya karena tidak bijak dalam ber-medsos ria.
Andai kita kembali kepada adat dan budaya kita sebagai bangsa Indonesia, maka orang-orang yang suka menggunakan bahasa-bahasa “jorok” sebenarnya adalah generasi yang tercerabut dari akar budayanya sendiri.
Ajaran Islam
Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengutipkan beberapa ayat Al-Qur’an yang sekiranya menjadi dasar bagi kita dalam bertutur kata.
Pertama, QS. An-Nahl ayat 125.
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan mu dengan cara bijaksana dan pelajaran yang baik. Dan (jika) terjadi perdebatan, berdebatlah dengan cara yang baik (kemukakan dalil-dalil yang valid dan argumentatif. Bukan emosi dan keberpihakan yang tanpa dasar). Sesungguhnya Tuhan mu lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan siapa yang mendapat petunjuk.
Kedua, QS. Thaha ayat 44. Ayat ini mengisahkan bagaimana Nabi Musa dan Harun ketika diperintah Allah SWT mengajak Fir’aun bertaubat.
Artinya: Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah-lembut. Mudah-mudahan ia (Fir’aun) ingat atau takut.
Coba bayangkan, berbicara kepada Fir’aun saja yang jelas-jelas mengaku sebagai Tuhan, Allah masih memerintahkan Nabi Musa dan Harun agar menggunakan bahasa yang baik, sopan dan lemah-lembut.
Masak antar sesama anak bangsa, satu agama Islam saling hujat-menghujat hanya kadang karena perbedaan pilihan. Bahkan, dengan sangat sadar saling cela-mencela dengan memberi julukan yang tidak baik, seperti cebong atau kampret.
Kalau begitu, kamu itu sebenarnya siapa? Wallahu’alam...
Penulis | : | Erisman Yahya |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |