PEKANBARU (CAKAPLAH) - Pakar Hukum Tata Negara Dr Mexsasai Indra menilai keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme di Indonesia harus bersifat perbantuan dan bukan dalam tatanan peristiwa. Hal tersebut tentu dengan melihat dari sisi bobot ancaman teror tersebut.
Hal tersebut disampaikannya dalam Webinar Nasional yang diselenggaran oleh UIN Suska Riau tentang ‘Polemik Perlibatan TNI dalam Penanganan Aksi Terorisme’ di Hotel Grand Zuri, Pekanbaru, Sabtu (10/10/2020).
"Harusnya keterlibatan TNI dalam penanganan kasus terorisme sifatnya perbantuan bukan peristiwa, dengan melihat dari sisi bobot ancamannya. Hal ini agar tidak terjadinya tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Polri dalam penanganan aksi terorisme,” katanya.
Dalam Webinar ini menghadirkan empat narasumber pakar hukum. Selain Mexsasai Indra, hadir pula akademisi hukum dari UIN Suska Riau Peri Pirmansyah SH MS, akademisi hukum dari Universitas Riau Dr Erdianto Effendi SH MHum, dan Drs Dardiri MA sebagai akademisi dari UIN Suska Riau.
Melihat ke belakang dari sejarah pemisahan kewenangan sesuai dengan tugas TNI dan Polri yang telah diatur di dalam Undang-Undang menurutnya adalah hasil dari kritik yang muncul terkait status dan posisi kedua dalam tatanan berkenegaraan.
Karena menurut teori, tugas dari Polri sendiri adalah untuk keamanan internal atau dalam negeri. Sementara itu untuk tugas dari TNI adalah dari segi eksternal atau untuk ketahanan dan kedaulatan negara.
Perubahan paradigma ini dapat dilihat dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang dinyatakan bahwa telah terjadi perubahan paradigma tentang pemisahan TNI-Polri sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing.
"Sedangkan keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme, kita tidak ingin kembali terjadi seperti masalah lalu. kehendak untuk melibatkan TNI (dalam penanganan terorisme) bisa jadi akan merusak tatanan yang dulunya sudah disusun,” jelasnya.
Di dalam perundang-undangan, Mexsasai mengatakan tugas dari Polri memang agak normatif. Dalam kata sepanjang tindak terorisme hanya membahayakan dari aspek keamanan masyarakatnya, itu menjadi tugas Polri. Namun yang terjadi di lapangan tidaklah mudah dalam pengaplikasiannya.
"Di UU Nomor 34 tahun 2018 tugas pokok TNI Pasal 7 ayat 2 huruf (b), bahwa TNI bisa dilibatkan hanya untuk operasi militer selain perang untuk mengatasi tindak terorisme. Kalau kita merujuk pada UU ini memang ada irisan bahwa TNI bisa masuk dalam penanganan terorisme,” cakapnya lagi.
Sementara itu untuk penegakan hukum pelaku terorisme merupakan tugas pokok dari kepolisian, seperti yang sudah diatur dalam Peraturan Presiden sesuai dengan pasal 43 I UU Nomor 4 Tahun 2018.
"Walau ini kewenangan pemerintah, pemerintah meminta pandangan DPR, yang sekarang masih dalam bentuk draf,” ujarnya.
Lanjut Dosen Universitas Riau ini, solusi yang terbaik untuk TNI dalam penanganan terorisme adalah mengacu pada UU Nomor 34 Tahun 2018, Pasal 7 dimana TNI hanya dilibatkan dengan melihat bobot ancaman terorisme, bukan pada peristiwa.
"Dengan cara ini, maka tugas dan fungsi TNI tidak bergeser dari tujuan pertahanan negara. Jangan sampai dari aspek kewenangan malah menjadi tumpang tindih dengan fungsi dan tugas lembaga lain," pungkasnya.