Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau, Dr H Mahyudin MA (tenga).
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Riau, Dr H Mahyudin MA menanggapi Surat Edaran nomor 5 tahun 2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan musala yang beberapa hari terakhir jadi perbincangan di tengah masyarakat.
Mahyudin menyebutkan, beberapa pemberitaan yang menyebutkan bahwa Menteri Agama bandingkan aturan toa Masjid dengan gonggongan anjing, sama sekali tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
“Sesuai dengan penjelasan yang telah disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kemenag RI, Thobib Al Asyhar, bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sama sekali tidak membandingkan suara azan dengan suara anjing. Pemberitaan yang mengatakan Menag membandingkan dua hal tersebut adalah sangat tidak tepat. Ia mencontohkan tentang pentingnya pengaturan kebisingan pengeras suara,” jelas Mahyudin.
Selain itu, lanjut Mahyudin, dalam transkrip statemen Menag saat diwawancarai media di Pekanbaru beberapa hari lalu, sama sekali tidak melakukan pembandingan azan dengan suara anjing.
"Saat itu Menag menjelaskan soal aturan azan, kita sudah terbitkan surat edaran pengaturan. Kita tidak melarang masjid-musala menggunakan toa, tidak. Silakan. Karena kita tahu itu bagian dari syiar agama Islam. Tetapi ini harus diatur, tentu saja. Diatur bagaimana volume speaker, toanya tidak boleh kencang-kencang, 100 dB maksimal. Diatur kapan mereka bisa mulai menggunakan speaker itu, sebelum azan dan setelah azan, bagaimana menggunakan speaker di dalam dan seterusnya. Tidak ada pelarangan," paparnya.
Menurutnya, aturan ini dibuat semata-mata hanya untuk membuat masyarakat kita semakin harmonis. Meningkatkan manfaat dan mengurangi mafsadat. Jadi menambah manfaat dan mengurangi ketidakmanfaatan.
"Karena kita tahu, misalnya, ya di daerah yang mayoritas muslim. Hampir setiap 100 meter, 200 meter itu ada musala-masjid. Bayangkan kalau kemudian dalam waktu bersamaan mereka semua menyalakan toa-nya di atas, kayak apa. Itu bukan lagi syiar, tapi menjadi gangguan buat sekitarnya," lanjutnya.
Agar niat menggunakan toa menggunakan speaker sebagai sarana, wasilah untuk melakukan syiar tetap bisa dilaksanakan, tanpa harus mengganggu mereka yang mungkin tidak sama keyakinannya.
Lebih lanjut Mahyudin menjelaskan, Dalam Surat Edaran (SE) Nomor 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala agar sikap toleransi tetap terjaga dan kehidupan harmoni tetap terawat dengan baik.
Ia menjelaskan, pengaturan pengeras volume suara di Masjid dan musala dan tempat beribadah lain sesungguhnya bukan hal yang baru. Sebelumnya telah diatur oleh Kementerian Agama sejak masa orde baru yang diatur dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. Dan saat ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022, merupakan pembaruan dari instruksi yang lama dan tidak ada sesuatu yang baru.
“Bukan hanya di Indonesia, di beberapa negara muslim pun seperti Arab Saudi, Malaysia dan negara lainnya juga telah mengatur soal pengeras suara ini. Untuk itu, kami sangat berharap agar Surat Edaran ini bisa disosialisasikan kepada sejumlah pihak terkait, dengan mengedepankan asa toleransi dan kebersamaan,” harapnya.
Penulis | : | Alzal |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Peristiwa |