eks Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir. Foto: liputan6.com
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan eks Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau, M Syahrir, sebagai tersangka. Kali ini M Syahrir jadi tersangka dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Sebelumnya, KPK telah menetapkan M Syahrir sebagai tersangka suap pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan sawit milik PT Adimulia Agrolestari (AA) di Kabupaten Kuantan Singingi.
Kepala Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, penetapan tersangka TPPU terhadap M Syahrir dilakukan dari hasil pengembangan penyidikan. Diketahui, Syahrir menerima uang Rp1,2 miliar dari PT Adimulia Agrolestari.
"Saat proses penyidikan perkara awal untuk tersangka MS berjalan, tim penyidik kembali menemukan adanya dugaan perbuatan pidana lain yang dilakukan oleh tersangka dimaksud yaitu pencucian uang," ujar Ali dalam keterangannya, Selasa (21/2/2023).
M Syahril diduga telah mengalihkan, membelanjakan, mengubah bentuk hingga menyembunyikan, maupun menyamarkan asal usul harta kekayaan yang berasal dari hasil korupsi.
"Penerapan pasal dugaan TPPU ini juga dalam rangka untuk dilakukannya pemulihan aset atau asset recovery. Pengumpulan alat bukti di antaranya pemeriksaan saksi-saksi saat ini sedang dilakukan," tutur Ali.
Untuk informasi, penetapan tersangka suap terhadap Syahril berdasarkan pengembangan penyidikan Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra, dan General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso.
Dalam perkara ini Andi Putra menerima suap Rp500 juta dan telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Begitu juga dengan Sudarso selaku pemberi suap.
Di perkara M Syahrir, KPK kembali menetapkan Sudarso sebagai tersangka. Selain itu, status serupa juga disematkan pada Frank Wijaya selaku Pemegang Saham PT Adimulia Agrolestari. Keduanya kini dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru.
Sebelumnya, Ali Fikri menjelaskan konstruksi perkara dugaan korupsi ini. Berawal Frank Wijaya sebagai pemegang saham PT Adimulia Agrolestari memerintahkan dan menugaskan General Manager Sudarso, untuk melakukan pengurusan dan perpanjangan sertifikat HGU perusahaan yang segera akan berakhir masa berlakunya pada 2024.
Dari awal proses pengurusan HGU tersebut, Sudarso selalu diminta untuk aktif menyampaikan setiap perkembangannya pada Frank Wijaya.
Sudarso menghubungi dan melakukan beberapa pertemuan dengan M Syahrir Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau yang membahas antara lain terkait perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari.
Pada Agustus 2021, Sudarso menyiapkan seluruh dokumen administrasi untuk pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari seluas 3.300 hektare di Kabupaten Kuantan Singingi yang salah satunya ditujukan juga ke Kanwil BPN Provinsi Riau.
Sudarso menemui M Syahrir di rumah dinas jabatannya. Dalam pertemuan tersebut kemudian diduga ada permintaan uang oleh M Syahrir sekitar Rp3,5 miliar dalam bentuk dollar Singapura. Pembagiannya 40 persen sampai dengan 60 persen sebagai uang muka.
Atas permintaan itu, M Syahrir menjanjikan segera mempercepat proses pengurusan HGU PT Adimulia Agrolestari. Hasil pertemuan itu dilaporkan Sudarso ke Frank Wijaya, sekaligus mengajukan permintaan uang sebesar 120 ribu dollar Singapura atau setara dengan Rp1,2 Miliar ke kas PT Adimulia Agrolestari dan disetujui oleh Frank Wijaya.
Sekitar September 2021, atas permintaan M Syahrir, penyerahan uang dari Sudarso dilakukan di rumah dinas MS dan MS juga mensyaratkan agar SDR tidak membawa alat komunikasi apapun," kata Ali Fikri.
Setelah menerima uang tersebut, M Syahrir kemudian memimpin ekspos permohonan perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari. Dia menyatakan usulan perpanjangan dimaksud bisa ditindaklanjuti dengan adanya surat rekomendasi dari Bupati Kuantan Singingi, Andi Putra.
"Terkait penerimaan uang, diduga MS memiliki dan menggunakan beberapa rekening bank dengan menggunakan nama kepemilikan di antaranya para pegawai Kanwil BPN Riau dan pegawai Kantor Pertanahan Kabupaten Kampar," jelas Ali Fikri.
Pada medio September 2021 sampai dengan 27 Oktober 2021, M Syahrir menerima aliran sejumlah uang baik melalui rekening bank atas nama pribadinya maupun atas nama dari beberapa pegawai BPN tersebut sejumlah sekitar Rp791 juta yang berasal dari Frank Wijaya.
"Selain itu pada kurun waktu tahun 2017 sampai dengan tahun 2021, MS juga diduga menerima gratifikasi sekitar Rp9 miliar dalam jabatannya selaku Kepala Kanwil BPN di beberapa provinsi dan hal ini akan terus didalami dan dikembangkan tim penyidik," jelas Ali Fikri.
Atas perbuatannya, M Syahrir sebagai penerima suap atau gratifikasi dijerat melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.