Ekspos tentang ancaman pulau nipa tenggelam dan temuan investigasi tersebut banyak mendapat liputan media lokal dan nasional sehingga memberikan tekanan kuat kepada Pemerintah Pusat untuk menghentikan penambangan pasir laut. Presiden Megawati akhirnya menerbitkan Keputusan Presiden (Kepres) No. 33 tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan mengendalikan ekspor pasir laut. Setelah terbinya Kepres tersebut penambangan pasir laut di Kepulauan Riau dihentikan total, walaupun tanpa ada upaya pemulihan dampak lingkungan dan dampak sosial ekonomi yang dilakukan Pemerintah.
Namun baru pada tahun 2007, Indonesia benar-benar memutuskan melarang ekspor pasir ke Singapura. Larangan ini muncul setelah terjadi ketegangan antara Singapura dan Indonesia terkait pulau-pulau di antara kedua negara ini. Penambang pasir kabarnya hampir melenyapkan pulau-pulau tersebut. Tahun itu, lebih dari 90 persen pasir impor Singapura berasal dari Indonesia. Larangan ini menaikkan biaya konstruksi dan memaksa pemerintah mencari sumber pasir baru.
Jauh sebelumnya, Malaysia juga telah melarang ekspor pasir sejak tahun 1997, setelah media Malaysia gencar melaporkan aktifitas penyelundupan pasir ke Singapura. Pada tahun 2009 Vietnam dan Kamboja mengikuti jejak Malaysia dan Indonesia melarang ekspose pasir laut ke Singapura.
Singapura terus mencari sumber pasir untuk memperluas daratannya setelah negara-negara tetangganya menerapkan kebijakan larangan ekspore pasir. Pemerintah Pemerintah Singapura tidak pernah lagi mengungkap sumber pasir impornya saat ini. Kementerian Pembangunan Nasional Singapura mengatakan bahwa pemerintah membeli pasir dari "berbagai sumber yang disetujui", tetapi menegaskan bahwa rincian lebih lanjut bukan informasi publik.
Sejak beberapa tahun belakangan di pesisir pantai timur Provinsi Lampung juga dihebohkan dengan aktifitas penambangan pasir laut yang menyebabkan dampak serius bagi kehidupan nelayan lokal dan kerusakan lingkungan. Izin penambangan pasir laut di Lampung ditenggarai melanggar Rencana Zonasi Wilayah Peisisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah ditetapkan melalui Pearturan Daerah (PERDA) Provinsi Lampung.
Risiko dan Pengawasan
Setelah 20 tahun perizinan tambang pasir laut dihentikan dan larangan ekspore pasir ke Singapura dihentikan. Pada tanggal 15 Mei 2023 Pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimentasi di Laut (PP 26 tahun 2023) dan mencabut Keputusan Presiden No 33/2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, yang bertujuan mengendalikan bisnis ekspor pasir laut yang merugikan Indonesia.
Penolakan berbagai pihak terhadap kebijakan baru ini banyak disuarakan oleh organisasi masyarakat sipil yang memperjuangankan lingkungan, karena kebijakan ini memberikan peluang perizinan penambangan dan ekspor pasir laut. Dibukanya kembali keran ekspor pasir keluar negeri ditegaskan pada Pasal 9 ayat (2) huruf d dalam PP 26 tahun 2023 yang menyatakan kan bahwa pasir laut dapat diekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pengaturan kebijakan ekspor diberikan kepada Menteri Perdanganan setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan ketentuan teknisnya diatur melalui Peraturan Menteri.
Kekawatiran para pemerhati lingkungan, kebijakan ini akan menimbulkan resiko besar bagi kerusakan lingkungan pesisir dan laut dan menimbulkan dampak krisis iklim. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, juga dikawatirkan akan semakin miskin karena ruang hidupnya dan sumber mata perncahariannya dihancurkan. Dibukanya keran pemanfaatan dan ekspor pasir laut juga dipastikan akan memberikan dampak signifikkan pada kerusakan ekologis di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Jika izin penambangan pasir bermunculan dan tidak terkendali seperti 20 tahun lalu, maka dipradiksi akan banyak pesisir yang terkena abrasi, pemukiman di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terancam tenggelam.
Belajar dari maraknya tambang pasir laut 20 tahun lalu, dimana pemerintah mengalami kesulitan dalam pengawasan tambang pasir, dan perizinanan yang diberikan banyak yang tumpang tindih dan berada pada wilayah tangkapan ikan nelayan lokal, serta menyebabkan ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil. Maka, sebelum menerbitkan perizinan baru penambangan pasir, pemerintah diharapkan menerapakan analisis dampak sosial dan lingkungan yang ketat dan transparan serta melibatkan pemangku kepentingan, termasuk harus memastikan adanya rencana pemulihan yang terukur terhadap kemungkinan dampak sosial dan lingkungan yang akan timbul.***
Penulis | : | Ahmad Zazali SH MH, Managing Partner AZ law Office & Conflict Resolution Center, Anggota Mitra Bentala Indonesia - Lampung |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Cakap Rakyat, Lingkungan |