PEKANBARU (CAKAPLAH) - Untuk mendukung swasembada daging sapi, Provinsi Riau akan menerapkan implementasi Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA) dalam kerangka Rencana Aksi Daerah Kebun Sawit Berkelanjutan (RAD-KSB) di Provinsi Riau.
Pasalnya kebutuhan daging sapi di Riau mencapai 19.480 ton pertahun atau setara dengan 152.659 ekor sapi pertahun. Sedangkan populasi sapi di Riau 209.601 ekor, dan ketersediaan sapi lokal yang dapat dipotong hanya 24.146 ekor atau 15,82 persen. Dengan begitu, Riau masih kekurangan sekitar 128.513 ekor atau 84,18 persen.
"Kebutuhan sapi kita di Riau sangat tinggi sekali. Sementara untuk memenuhi kebutuhan daging sapi itu kita masih mendatang dari luar provinsi Riau," kata Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau, SF Hariyanto usai membuka diskusi implementasi SISKA dalam kerangka RAD-KSB di Provinsi Riau, Jumat (15/7/2022).
Karena itu, SF Hariyanto berharap dengan adanya integrasi antara sapi dan kelapa sawit ini ada kerjasama antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan sawit, dalam upaya memenuhi kebutuhan daging sapi di Riau.
"Luas kebun sawit di Riau itu kan mencapai 3,6 juta hektare (Ha). Jadi kalau perusahan perkebunan sawit menjadi induk, dan anak perusahaan bisa kerjasama dengan masyarakat ternak sapi di perkebunan. Kalau lahan perkebunan 3,6 juta Ha, kalau 2 Ha itu diletak satu ekor sapi. Artinya populasi sapi bisa mencapai lebih kurang 1,6 juta ekor. Coba ini dikembangkan," terangnya.
"Jika itu dikembangkan, maka kebutuhan sapi di Riau tidak perlu lagi mendatang dari luar Provinsi Riau. Memang kendalanya selama ini masyarakat dan perusahaan belum mengetahui terkait integrasi antara sapi dengan sawit ini. Untuk itu, dengan adanya pertemuan itu SISKA ini dapat kita kembangkan di Riau," sambungnya.
SF Hariyanto menyadari, potensi untuk pengembangan sapi dengan SISKA ini belum berjalan dengan baik. Padahal lahan perkebunan di Riau cukup banyak, namun tidak dimanfaatkan untuk pengembangan dan penggemuk sapi.
"Ini lah yang kita harapkan, ke depan integrasi antara perusahaan dengan masyarakat. Karena dengan SISKA ini, perkebunan juga akan diuntungkan dengan pupuk dari kotoran sapi itu sendiri. Kemudian lahan perkebunan juga bisa bersih karena rumput-rumput dimakan oleh sapi," tukasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH) Riau, Herman mengatakan, jika kebutuhan sapi di Provinsi Riau hanya mampu dipenuhi sapi lokal sekitar 15,82 persen dari total populasi sapi.
"Sedangkan sisanya kita datangkan dari luar provinsi tetangga. Misalnya saja kebutuhan di Rumah Potong Hewan (RPH) Pekanbaru rata-rata setiap hari 40 ekor di datangkan dari luar," katanya.
Jika kondisi ini tidak segera dicarikan solusinya, lanjut Herman, maka ketika ada wabah mengancam seperti baru-baru ini penyakit LSD, maka sapi yang didatangkan dari provinsi Lampung sempat tertahan.
"Akibatnya terjadi kelangkaan daging sapi di Pekanbaru. Permintaan banyak, sedangkan ketersediaan sedikit, maka dampaknya harga daging sapi tinggi," terangnya.
"Makanya dengan penerapan SISKA ini diharapkan kedepan Provinsi Riau bisa swasembada daging sapi. Karena kalau populasi sapi di Riau bisa mencapai 1,6 juta ekor, maka akan surplus. Sehingga tak perlu lagi kita mendatangkan sapi dari luar, bahkan kita bisa menyuplai untuk provinsi lain karena kebutuhan sapi di Riau sudah surplus," tutupnya.
Penulis | : | Amin |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Serantau |