Bicara tentang Indonesia maka akan ada kaitannya dengan pertanian, karena sektor ini memiliki peran yang sangat vital dan strategis dalam pembangunan nasional yang mana diantaranya adalah sumber devisa negara, memberikan kontribusi terhadap PDB, penyerap tenaga kerja, bahan baku industri, sumber bahan pangan dan gizi, serta mendorong bergeraknya sektor-sektor ekonomi rill lainnya.
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan sekarang akan menginjak usia 74 tahun pada Agustus nanti, sepertinya Indonesia sudah banyak memiliki pengalaman-pengalaman, dimana salah satunya pengalaman menunjukkan bahwa sektor pertanian terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi. Pengalaman tersebut memberikan pelajaran berharga, bahwa menggantungkan perekonomian pada kegiatan ekonomi yang tidak berbasis sumber daya ternyata sangat rentan terhadap guncangan dan dinamika lingkungan eksternal.
Tingginya kontribusi sektor pertanian tidak diikuti dengan kesejahteraan petani sebagai aktor utama penggerak sektor pertanian. Banyak faktor penyebab belum tercapainya kesejahteraan petani. Salah satunya adalah belum berpihaknya kebijakan pemerintah melalui kebijakan makro ekonomi. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya suku bunga pinjaman, nilai tukar rupiah yang kurang mendukung sektor pertanian, masih diberlakukannya pajak ekspor terhadap komoditas pertanian serta rendahnya kredit dan investasi yang dialokasikan untuk sektor pertanian.
Saat ini sektor pertanian masih menghadapi banyak permasalahan, di antaranya keterbatasan petani dalam memperoleh modal, input pertanian, lahan, harga yang tidak seimbang dan akses pasar. Padahal PDB sektor pertanian berdasarkan harga berlaku mempunyai peran sangat strategis.
Menurut guru besar ilmu ekonomi FEM (Fakultas Ekonomi Manajemen) IPB Prof. Dr. Muhammad Firdaus, SP, M.Si “Meskipun akan memasuki 2020, persoalan pembangunan pertanian di Indonesia masih bersifat klasik. Persoalan itu mencakup masih belum tercapainya produktivitas potensi untuk sebagian besar komoditas, rantai tata niaga masih belum efisien dan berkeadilan, serta fluktuasi harga ditingkat produsen dan konsumen masih tinggi”
Peminggiran terhadap sektor pertanian terutama pada tataran instrumen kebijakan, seperti pajak impor, nilai tukar rendah, dan bahkan kuota tertentu bagi industri infant telah mengakibatkan konsumen domestik, termasuk petani, harus membayar harga beli saprodi, seperti pupuk, alat dan mesin pertanian lebih mahal dari harga sebenarnya di tingkat internasional. Begitu juga dengan kebijakan makro ekonomi, seperti kredit perbankan yang kurang mendukung kegiatan sektor pertanian.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah harga input produksi yang sangat tinggi, sehingga diperlukan kebijakan pemerintah untuk menjamin ketersediaan input produksi, pemberian subsidi atau menekan tingkat suku bunga perbankan agar petani bisa mengembangkan usahanya melalui dana perbankan. Pemerintah saat ini telah memberikan subsidi bunga kredit untuk meringankan beban petani pada skema Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) serta penjaminan bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR), namun penyaluran kredit program tersebut masih sangat rendah.
Penulis | : | Yogy Rasihen, SP Mahasiswa Pascasarjana IPB |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serantau |