Persidangan perkara suap dan TPPU pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) dengan terdakwa Muhammad Syahrir, Selasa (18/7/2023).
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Juli Sasmita akhirnya hadir di persidangan perkara suap dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) pengurusan izin Hak Guna Usaha (HGU) dengan terdakwa Muhammad Syahrir, Selasa (18/7/2023). Perempuan 32 tahun itu kembali menyatakan menolak memberi kesaksian untuk suaminya tersebut.
Juli Sasmita merupakan istri kedua Syahrir, eks Kepala Kantor Wilayah (Kanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau. Ia dihadirkan pada persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru melalui video conference dari Sumatera Selatan.
Sebelumnya, JPU dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah dua kali memanggil Juli Sasmita untuk hadir di persidangan yaitu tanggal 11 Juli 2023 dan 18 Juli 2023, tapi mangkir. Ia menyampaikan penolakan tidak secara resmi, hanya melalui penasehat hukum terdakwa.
Atas ketidakhadiran Juli Sasmita, majelis hakim yang diketuai Salomo Ginting mengeluarkan penetapan pemanggilan paksa, Senin (17/7/2023). Hakim memintanya hadir, baru diputuskan bisa bersaksi atau tidak pada Selasa (18/7/2023).
Di persidangan hari ini, Salomo kembali memastikan hubungan antara Juli Sasmita dan Syahrir. "Saya istri Pak M Syahrir," ujar Juli Sasmita dengan tegas.
Hakim menanyakan kesediaan Juli Sasmita untuk menjadi saksi bagi Syahrir. "Saya tidak bersedia sebagai saksi Yang Mulia," tegas perempuan yang mengenakan kerudung itu.
Hakim menerima penolakan dari Juli Sasmita. "Sebagai istri terdakwa, saudara berhak mengundurkan diri," ucap Salomo didampingi hakim anggota Yuli Artha Pujoyotama dan Yelmi
Atas penolakan tersebut, hakim mempertanyakan kesediaan dari Syahrir. Terdakwa menyatakan menerima. "Terdakwa juga tidak keberatan saudara mengundurkan diri. Silahkan meninggalkan zoom," kata Salomo.
Kendati menolak bersaksi di persidangan, Juli Sasmita telah memberikan keterangan kepada penyidik KPK yang dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Keterangan itu sudah disampaikan dengan benar dan ditandatangani oleh Juli Sasmita
Selain Juli Sasmita, JPU Rio Fandi dan kawan-kawan juga menghadirkan dua saksi lainnya. Mereka adalah Lufita Putri, pegawai Diirektorat LHKPN KPK, dan Niki Aldi selaku kuasa PT Pulau Kundur Perkasa di Sei Guntung, Kabupaten Indragiri Hilir.
Saksi Lufita menjelaskan, Syahrir melaporkan harta kekayaannya pada sejak tahun 2017 hingga 2020.. Pada 2017 hingga 2018 Syahril menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Maluku Utara sedangkan 2019 hingga 2021 menjabat Kepala Kanwil BPN Riau.
Harta yang disampaikan terdiri dari harta bergerak dan tidak bergerak, berupa kendaraan, tanah dan bangunan serta tabungan. Kekayaan itu umumnya ada di Provinsi Sumatera Selatan.
Saat menjabat Kepala Kanwil BPN Riau, Syahrir menyampaikan penambahan harta kekayaan ke KPKLN, berupa tanah dan kendaraan. Namun sejak 2022, Syahrir tidak lagi melaporkan harta kekayaannyan.
"(Tahun) 2022 belum ada laporan, batasan sampai 31 Maret 2023. Kalau pensiun, memang ada kewajiban melampirkan sampai akhir menjabat, tapi belum ada laporan," tutur saksi.
JPU dalam dakwaannya menyebut Syahrir diduga menerima gratifikasi dari perusahaan- perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya ketika menjabat Kepala Kanwil BPN Riau dan Kepala Kanwil BPN Maluku Utata. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset.
Tidak tanggung-tanggung, selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau sejak Tahun 2017-2022, Syahrir telah menerima uang gratifikasi, yang keseluruhannya berjumlah Rp20.974.425.400.
Rincian gratifikasi yang diterima Syahrir, sebesar Rp5.785.680.400, saat menjabat sebagai Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Rp15.188.745.000 saat menjabat sebagai Kepala Kanwil BPN Provinsi Riau.
Di Provinsi Riau, M Syahrir menerima uang untuk pengurusan hal atas tamah di Kanwil BPN Riau dari perusahaan seperti PT Permata Hijau, PT Adimulia Agrolestari, PT Ekadura Indonesia, PT Safari Riau, PTPN V, PT Surya Palma Sejahtera, PT Sekar Bumi Alam Lestari, PT Sumber Jaya Indahnusa Coy, dan PT Meridan Sejati Surya Plantation.
M Syahrir juga menerima uang dari ASN di lingkungan Kanwil BPN Provinsi Riau, untuk pengurusan izin HGU perusahaan, pengurusan tanah dan pihak lainnya yang memiliki hubungan kerja dengan Kanwil BPN Provinsi Riau. Di antaranya, dari Risna Virgianto yang menjabat sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Kuantan Singingi tahun 2019 sampai tahun 2021 sebesar Rp15 juta.
Kemudian dari Satimin terkait pengurusan tanah terlantar/permohonan HGU PT Peputra Supra Jaya pada tahun 2020 sebesar Rp20 juta. Jusman Bahudin terkait pengurusan pendaftaran HGU PT Sekarbumi Alam Lestari sebesar Rp80 juta.
Lalu dari Ahmad Fahmy Halim terkait pengurusan perpanjangan HGU PT Eka Dura Indonesia sebesar Rp1 miliar. Siska Indriyani selaku Notaris/PPAT di Kabupaten Kampar sebesar Rp30 juta.
Dari Indra Gunawan terkait pengurusan HGU PT Safari Riau/PT ADEI Plantation & Industry sebesar Rp10 juta. Suhartono terkait pengurusan perpanjangan HGU First Resource Group (antara lain PT Riau Agung Karya Abadi, PT Perdana Inti Sawit Perkasa, PT Surya Intisari Raya, PT Meridan Sejati Surya Plantation) sebesar Rp15 juta dan menerima uang terkait jabatannya Rp15.188.745.000.
Uang miliaran itu kemudian dialihkannya ke rekening lain dan digunakan untuk membeli sejumlah aset. D iantaranya, sejumlah bidang tanah, rumah toko (Ruko), kendaraan dan lainnya.
JPU menjerat Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 UU RI Nomor .31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.