(CAKAPLAH) - Lama tak terdengar tentang etnis Rohingya Myanmar yang menjadi korban keganasan junta Militer Myanmar. Membaca pemberitaan dari situs CAKAPLAH.COM, Selasa 17 Oktober 2023 yang memberitakan bahwa 13 warga Negara Myanmar diamankan di Rokan Hulu yang diduga pengungsi etnis Rohingya, Myanmar. Tulisan ini hadir sebagai mengingat kembali bagaimana perjuangan etnis Rohingya melarikan diri ke Negara tetangga untuk menghindari kejaran dari junta militer Myanmar. Tulisan ini pula mencoba menjelaskan secara umum etnis Rohingya, Myanmar. Bagaimana perjuangan etnis Rohingya yang menjadi korban dari etnis Burma yang merupakan etnis mayoritas di Myanmar. Ada juga etnis Mon, Karen dan beberapa etnis yang ada di Myanmar. Dalam konflik bersenjata antara Junta Militer Myanmar dengan kelompok pro demokrasi, posisi etnis Rohingya tidak terlibat secara langsung. Namun dalam perjalanannya konflik antar etnis berimbas ke etnis Rohingya yang terpaksa mengungsi ke negara-negara tersebut seperti Bangladesh dan Thailand.
Etnis Rohingya yang minoritas umumnya menempati negara bagian Rakhine (Rakhine State) dan sekitarnya. Negara bagian Rakhine merupakan negara yang terletak di bagian pantai barat Myanmar yang berbatasan dengan negara Bangladesh. Negara bagian Rakhine berbatasan dengan Negara Bagian Chin di utara, Bagian Magway, Bagian Bago, dan Bagian Ayeyarwady di timur, Teluk Benggala di barat, dan Divisi Chittagong di barat laut, Bangladesh. Berbicara tentang Rakhine State, sesungguhnya berbicara tentang penderitaan dan pelarian pengungsi Rohingya yang ditindas oleh rezim militer Myanmar. Para pengungsi Rohingya tersebut melarikan diri ke negara Bangladesh untuk menghindari kejaran dan pembunuhan (genosida) oleh rezim militer Myanmar.
Dalam perkembangan sejarah modern Myanmar (Burma), etnis Rohingya bukanlah etnis yang baru mendiami wilayah Myanmar di bagian Barat negara tersebut (penduduk illegal seperti pengakuan dari pemerintah Myanmar). Etnis Rohingya menempati di negara bagian (Provinsi) Rakhine, Myanmar Barat yang berbatasan langsung dengan Teluk Benggala Bangladesh dan dipisahkan oleh sungai Naf yang memisahkan antara negara Myanmar dan Bangladesh. Etnis Rohingya yang telah lama mendiami wilayah di Myanmar Barat tersebut juga turut serta dan berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan Burma (sekarang Myanmar) dari penjajahan Inggris.
Hal tersebut merupakan fakta sejarah yang tak dapat diabaikan begitu saja oleh pemerintah Myanmar yang berkuasa saat ini dan dikuasi oleh etnis Burma. Negara bagian Rakhine (Rakhine State) mayoritasnya beretnis Rohingya dan secara tradisional lebih dekat wilayahnya dengan negara Bangladesh. Namun dengan banyaknya pengungsi Rohingya yang ada di negara Bangladesh juga menimbulkan dilema bagi Bangladesh untuk membiayai kehidupan pengungsi Rohingya tersebut. Secara kultural, etnis Rohingya berasal dari India dan Bangladesh yang umumnya beragama Islam, berbeda dengan etnis mayoritas Burma yang beragama Buddha. Etnis Rohingya tidak memiliki sejarah memberontak terhadap pemerintah pusat di Rangoon (sekarang Naypyidaw). Berbeda dengan etnis-etnis lainnya seperti halnya etnis Karen yang selalu menentang pemerintah pusat dan hingga kini masih terus berjuang dengan mengangkat senjata serta menginginkan otonomi khusus dan tidak menginginkan adanya pengawasan dari etnis Burma (etnis mayoritas di Myanmar).
Dalam sejarah perjuangan Burma (Myanmar) mencapai kemerdekaan, etnis Rohingya juga memiliki andil yang cukup besar terutama ketika berhadapan dengan penjajahan Inggris. Kendati telah bermukim di wilayah Myanmar, jauh sebelum perang dunia kedua, etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara. Barangkali perbedaan kultur dan kepercayaan yang menjadikan etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar yang sah. Pada tahun 1982, pemerintah Jenderal Ne Win (pemerintahan militer) memberlakukan hukum kewarganegaraan di Burma (Myanmar). Undang-undang kewarganegaraan Myanmar yang berlaku sejak tahun 1982 tak mengakui etnis Rohingya yang muslim tersebut sebagai warga negara. Undang-undang tersebut menolak status kewarganegaraan etnis Rohingya.
Sejak tahun 1990 etnis Rohingya telah “kehilangan” kewarganegaraannya yaitu Myanmar. Etnis Rohingya mayoritasnya menetap di negara Rakhine bagian utara, di mana mereka membentuk 80-98% dari populasi. Media internasional dan organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) menggambarkan etnis Rohingya sebagai salah satu etnis minoritas yang paling teraniaya di Myanmar untuk menghindari kekerasan di daerahnya banyak di antara orang-orang Rohingya yang melarikan diri ke pemukiman-pemukiman kumuh dan kamp-kamp pengungsi di negara tetangga Bangladesh. Selain Bangladesh, sejumlah negara-negara di Asia Tenggara menjadi tempat pengungsian etnis Rohingya tersebut. Selain Bangladesh, Thailand, Indonesia dan Malaysia menjadi tujuan pengungsian etnis Rohingya tersebut.
Etnis Rohingya di Myanmar termasuk etnis yang tidak pernah menuntut otonomi khusus, apalagi menginginkan kemerdekaan terpisah dari pemerintah pusat di Naypyidaw, ibu kota baru Myanmar. Berbeda dengan etnis-etnis lainnya, katakanlah seperti etnis Karen, Kachin yang minoritas dan beragama Buddha yang selalu mengangkat senjata untuk memperjuangkan otonomi khusus maupun kemerdekaan dari pemerintah pusat. Konsistensi pemerintah Myanmar yang dikuasai oleh militer tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Salah satunya adalah penggantian nama negara dari Burma menjadi Myanmar salah satunya adalah didasarkan kepada adanya faktor etnisitas dan politik konsolidasi.
Menurut versi pemerintah Myanmar yang berkuasa (Rezim Militer), etnis Rohingya tak diakui sebagai salah satu etnis yang sah di Myanmar, walaupun sebelum kemerdekaan Burma (Myanmar), etnis Rohingya juga turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan negara tersebut. Rekonsiliasi nasional di Myanmar masih belum berjalan dengan baik, sebab etnis-etnis yang ada di Myanmar seperti etnis Karen, Rohingya, Shan, Mon dan Kachen tetap menginginkan kemerdekaan terlepas dari kekuasaan pemerintah pusat di Naypyidaw (Ibu Kota negara baru Myanmar). Dominasi etnis Burma yang menguasai negara telah menimbulkan disharmonisasi hubungan diantara etnis-etnis yang ada di Myanmar umumnya. Sehari Pasca pemilu 7 November 2010, meletus pertempuran sengit antara militer Myanmar dengan kelompok minoritas etnis Karen, Shan dan Kachen diperbatasan Thailand. Etnis Rohingya tidak secara langsung menentang pemerintahan Myanmar, namun tetap memperjuangkan kedudukan etnis mereka menjadi bagian negara Myanmar.
Selain Malaysia, Indonesia salah satu negara yang menerima pengungsi dari etnis Rohingya, Myanmar dan begitu juga negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti halnya Malaysia, Thailand dan tetangga Myanmar sendiri yaitu Bangladesh. Para pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia tersebar di berbagai Provinsi khususnya di pulau Sumatera yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi Riau. Faktor kemanusiaan menjadi faktor utama para pengungsi Rohingya tersebut di terima di berbagai negara, untuk menghindari konflik di negaranya. Masih dalam ingatan, konflik di Negara Vietnam dulunya, juga para pengungsi Vietnam mengungsi ke Negara Negara terdekat tidak terkecuali Indonesia yang bersedia menerima pengungsi Vietnam. Untuk menampung pengungsi dari Vietnam, Indonesia telah menyediakan Pulau Galang, di Pulau Batam Kepulauan Riau untuk menerima para pengungsi tersebut. Konflik yang terjadi di Myanmar (Burma) tersebut memberi dampak terhadap etnis Rohingya yang mana banyak para pengungsi dari Rohingya melarikan diri dari kejaran junta militer Myanmar yang digambarkan sebagai genosida (pembersihan) etnis Rohingya di negara tersebut. Dan ini telah dikecam oleh dunia Internasional.
Penulis | : | Hasrul Sani Siregar, S.IP, MA: Widyaiswara di BPSDM Provinsi Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Internasional, Cakap Rakyat |