RMOL.co
|
(CAKAPLAH) - Penolakan gugatan atas pasal 222 Undang-Undang 7/2017 tentang Pemilihan Umum dikritik Partai Gerindra. Putusan tersebut dirasa bertentangan dengan tradisi Mahkamah Konstitusi.
Sekjen Gerindra Ahmad Muzani menjelaskan, dengan adanya putusan itu, maka presidential threshold atau ambang batas pengusungan calon presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen perolehan suara nasional berlaku dalam Pemilu 2019.
Putusan tersebut juga memperlihatkan MK kehilangan keseimbangan dan kewarasan. Bagaimana tidak, pemilu yang dilaksanakan 2014 untuk mencalonkan calon presiden dan calon wakil presiden digunakan di Pemilu 2019.
"Semakin hal itu akan digunakan kembali untuk hal yang sama. Menurut saya MK kehilangan rasionalitas, kehilangan kesetaraan, kehilangan kewarasan," jelasnya.
MK mengatakan pasal itu tidak kehilangan relevansi karena merupakan undang-undang baru yang dihasilkan DPR periode 2014 dan disahkan 2017. Kalau begitu, kata Muzani, tidak ada debat sama sekali tapi tugas MK adalah menyelaraskan cara berpikir, cara pandang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
"Termasuk bertentangan dengan kewarasan dan rasionalitas. MK pernah membatalkan seluruh undang-undang sebagian undang-undang beberapa pasal undang-undang, kenapa dalam pasal ini MK seperti gontai dan loyo," ujarnya.
"Bagaimana mungkin belum sampai pada keterangan ahli tapi sudah ambil putusan ada proses pengambilan putusan yang tahapannya belum selesai. MK seperti terburu-buru mengejar setoran untuk segera menyampaikan ke publik," sambung Muzani.
Memang putusan MK final dan mengikat. Tapi bukan berarti ada pihak yang mengkritisi pengambilan keputusan MK tersebut.
"Konsekuensi dari putusan MK ini bahwa calon presiden dan wakil presiden harus diusung 20 persen kursi, itu sudah kita perhitungkan. Kami harus berkoalisi, berbicara dengan teman koalisi untuk pencalonan presiden dan wakil presiden," ujar Muzani.