Salah satu kebijakan awal tahun 2017 yang sangat 'fenomenal' adalah merumahkan lebih kurang 2.950 orang tenaga honorer dengan alasan krisis keuangan. Terlepas dari pro dan kontra kebijakan tersebut, merumahkan tenaga honorer tersebut secara otomatis meningkatkan angka pengangguran di Kabupaten Kuantan Singingi. Dan itu semakin diperparah ketika Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kuantan Singingi tahun 2017 tak kunjung disahkan. Sehingga berdampak kepada pelaksanaan kegiatan dan program yang mesti dilaksanakan sebagai kegiatan rutin pemerintah daerah.

Mursini dihadapkan pada situasi yang sulit, ketika berbagai keinginan dan kehendak mendesak segera direalisasikan dan dicarikan jalan keluar. Beliau harus menanggung beban hutang dari pembangunan proyek tiga pilar. Disamping itu bagi kalangan Guru dan Aparatur Sipil Negara (selanjutnya disebut ASN) Kuansing yang mengharapkan agar gaji dan tunjangan yang menjadi hak mereka dibayarkan tepat waktu dan tidak tersendat sebab berhubungan dengan “Asap Dapur” dan keberlangsungan hidup. Apalagi masih ada sekitar 2.512 Tunjangan Profesi Guru (TPG) yang belum dibayarkan dan gaji tenaga honorer yang tidak sepenuhnya diberikan.

Pembahasan RAPBD Kuansing Tahun 2017 tersendat. Sudah hampir 4 bulan tahun 2017 berjalan, tanda-tanda RAPBD tersebut belum tampak akan disahkan. Kabarnya saat ini anggota DPRD Kuansing menggesa pembahasan KUA –PPAS tersebut dan telah membahas dengan Tim Anggaran Pemerintahan Daerah (TAPD) sampai larut malam agar APBD Kuansing segera disahkan.

Informasi yang berkembang, terjadinya tarik menarik pengajuan anggaran tersebut adalah permasalahan penganggaran utang tiga pilar dan Tunjang Profesi Guru. Legislatif bersikukuh agar utang tiga pilar tersebut tetap dianggarkan dalam APBD Kuansing dan mesti dibayarkan. Di satu sisi pihak eksekutif bersikukuh untuk tidak dianggarkan dan menunggu audit oleh lembaga yang berwenang. Tarik menarik kepentingan tersebut akhirnya berdampak kepada “penyendaraan” pengesahan APBD Kuansing. Konsekuensinya program-program yang ditetapkan tak bisa dijalankan secara maksimal.

Dilihat dari perspektif ideologis kekisruhan antara eksekutif dan legislatif di Kabupaten Kuantan Singingi dapat dijelaskan secara sederhana bahwa kedua belah pihak punya agenda yang secara ideologis berbeda terutama masalah pengesahan APBD. Seakan-akan pihak eksekutif menyatakan bahwa mereka punya kewenangan penuh dalam penyusunan anggaran sedangkan legislatif menyatakan bahwa pihak eksekutif tidak mau untuk 'ngopi bersama' mencapai kesepakatan.
 
Meskipun tidak sebanding untuk dibandingkan ketika peristiwa Negara maju dengan sebuah kabupaten yang masih tergolong berkembang tetapi tarik menarik kepentingan antara pemerintah dengan anggota kongres ini pernah terjadi di Amerika Serikat dapat dijadikan acuan.

Di Amerika Serikat pernah terjadi istilah fenomena Shutdown. Fenomena ini pernah muncul pada awal oktober 2013 setelah terjadinya penolakan atas pengajuan anggaran pendapatan dan belanja negara 2013-2014 (yang didalamnya berisi pengajuan utang) oleh Kongres yang didominasi kubu Partai Republik. Kejadian itu bermula ketika Obama yang terpilih kedua kalinya memaksakan kebijakan anggaran kesehatan untuk asuransi semua warga atau di sebut Obamacare (Affordable Care Act atau Undang-Undang Layanan Kesehatan). Akhirnya Kongres minta program tersebut ditunda setahun, namun Senat yang dinominasi kubu Demokrat menolaknya. Penolakan tersebut dibalas pihak kongres dengan menolak menyetujui penambahan pagu utang pemerintah. Konsekuensinya pemerintah AS tak memiliki uang untuk menggaji pegawainya, mengingat batas uang negara hanya sampai September 2013. Akibatnya pemerintah tutup/Shutdown, 800 ribu pegawai negeri menganggur karena bekerja tanpa bayar.

Dilihat dari komposisi anggota DPRD Kuansing di legislatif, mayoritas berada di kubu oposisi yang bukan sebagai pengusung Mursini-Halim pada Pilkada Serentak 2015 silam sedangkan anggota DPRD Kuansing yang mengusung pihak pemerintah hanya ada 7 kursi berdasarkan perolehan suara partai pengusung. Artinya anggota DPRD yang berada di pihak lawan pemerintah (eksekutif) lebih besar dibandingkan pihak pendukung. Celakanya, anggota DPRD yang berada di pihak pemerintah tidak memberikan pembelaan terhadap kebijakan yang dilakukan sang Bupati dan bahkan informasinya pada pembahasan KUA-PPAS yang dilakukan komisi C ada yang tidak datang. Sehingga ada anggapan sang Bupati tak punya loyalis yang siap membela kebijakan yang diambil dan terkesan berjuang sendiri.

Buntunya pembahasan APBD Kuantan Singingi yang diindikasikan akibat “perseteruan” eksekutif dan legislative menjelaskan bahwa kepemimpinan politik selalu terus menerus dihadapkan pada berbagai negosiasi politik dengan berbagai spektrum politik. Kontestasi politik yang sangat keras antara eksekutif dan legislatif yang sangat tajam menandakan bahwa proses politik gagal mencapai konsensus. Pemimpin politik dihadapkan pada manajemen konflik untuk menggalang agar program-program dan kebijakan-kebijakan yang akan ditetapkan dapat berjalan dengan lancar dan mulus tanpa ada pertentangan. Harus kita sadari bahwa kepemimpinan demokrasi juga merupakan kepemimpinan negosiatif. Harus mampu bernegosiasi dengan spektrum politik berbagai ragam aneka kepentingan – demi mewujudkan kepentingan politik yang berkualitas melalui deal-deal politik.

Adanya kejadian yang dirasakan dan dipertontonkan saat ini dikhawatirkan melahirkan rasa kebencian kepada dua lembaga (eksekutif dan legislatif) tersebut. Harapan kita pengesahan APBD bisa dipercepat agar roda pemerintahan dapat berjalan dengan semestinya dan Kepala Daerah bisa melaksanakan program-program yang ditetapkan sesuai dengan Visi dan Misi yang dijabarkan. Jika ini terus diperlambat dengan alasan apapun, dampak luar biasa yang terjadi adalah timbulnya kebencian massal dari masyarakat akibat rasa frustasi dengan keadaan terutama yang mengantungkan hidup pada sumber-sumber anggaran APBD seperti Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun para Guru.  

Bukan tak mungkin menimbulkan instabilitas dan gesekan-gesekan di masyarakat yang berujung pada tindakan demontrasi dan mogok bersama. Jika itu terjadi tentu suatu tindakan yang sangat memalukan di bawah kepemimpinan Mursini. Kok Mursini? Bukankah hal ini juga “sumbangsih” dari lembaga legislatif? Betul sekali tetapi bagaimanapun lambang kepemimpinan politik daerah adalah pimpinan eksekutif sebagai nakhoda menjalankan roda pemerintahan dan itu tergantung dari insting kepala daerah dalam memainkan peran dan seni memimpin.

Harapan kita kepemimpinan elit politik daerah (eksekutif dan legislatif) tidak terjebak pada egoisme dan kepentingan sesaat sedangkan publik dibiarkan menderita. Pihak eksekutif selaku Kepala Daerah harus lebih fleksibel dalam mengelola konflik yang terjadi, menggalang konsensus secara luas dan lakukan pendekatan-pendekatan persuasive terhadap lembaga legislative.  Dan kepada pemimpin politik dari dua lembaga tersebut harus menempuh langkah berunding kembali untuk memecahkan persoalan demi keberlangsungan roda pemerintahan yang baik. Tanpa itu, Kuansing akan mengalami istilah "Timbuak" yaitu Pemerintah akan berjuang menyelamatkan Kuansing dari ke_karam_an yang membawa negeri ini tenggelam oleh permasalahan yang dibuat sendiri. Semoga dapat kita renungkan bersama.[]