Pekanbaru (CAKAPLAH) - Cangkang kelapa sawit merupakan produk andalan utama baru sebagai komoditi ekspor di kawasan Pelabuhan Tanjung Buton, Siak, Riau. Ada sekitar 7 perusahaan eksporter telah berinvestasi di kawasan tersebut hingga saat ini.
Untuk diketahui volume ekspor cangkang sawit dari Tanjung Buton hingga Maret 2022 mencapai 162.388 metric ton (mt) dengan estimasi tahun ini mencapai 700.000 mt. Sementara pada tahun 2021 mencapai 425.000 mt, tahun 2020 sebanyak 360.183 Mt dan tahun 2019 sebanyak 308.239 mt.
Ini berarti pada tahun 2022 ada potensi ekspor di Pelabuhan Tanjung Buton dapat mencapai sumbangan devisa negara sebesar USD 82,6 juta atau senilai Rp1,2 Trilliun. Angka penghasilan yang sangat besar dari pelabuhan kecil di daerah Kabupaten Siak yang memiliki dermaga berukuran hanya 220 meter.
Akan tetapi sejak bulan Maret 2022, proses ekspor cangkang sawit di Tanjung Buton ini akan terkendala oleh adanya pemuatan paper roll di pelabuhan ini dengan loading rate yang sangat lambat, diperlukan 2 minggu untuk muat 6.000 ts. "Hal ini akan mengganggu frekuensi ekspor dari cangkang sawit, karena tidak bisa bersandarnya kapal-kapal mereka," kata Jimmy Zhang, Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) Provinsi Riau, dalam rilis yang diterima CAKAPLAH.COM, Jumat (8/4/2022).
Jimmy mengatakan, sebagai perbandingan, untuk muat 10.000 ts cangkang sawit bisa diselesaikan dalam waktu 3,5 hari. "Keberadaan kapal-kapal ini mestinya dipertimbangkan kembali oleh Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas pelabuhan (KSOP) izinnya, mengingat sarana dan prasarana di Pelabuhan Tanjung Buton belum memadai untuk memuat paper roll sebesar itu dengan kecepatan loading rate yang lebih cepat. Sehingga tidak menghambat potensi ekspor cangkang sawit yang sudah berlangsung lama dan berpotensi besar sebagai sumber devisa negara dari pelabuhan tersebut," jelasnya lagi.
Terkait masalah ini para eksporter cangkang sawit menyatakan protes keras soal keberadaan kapal yang menggunakan pelabuhan Tanjung Buton dengan sarana dan prasarana yang tidak memadai, sehingga loading time sampai dua minggu. Akibatnya tidak ada ruang bagi eksportir cangkang sawit untuk loading.
"Kami sangat memaklumi banyaknya kapal siapa saja yang akan loading di pelabuhan kita bersama ini, tapi kalau loading rate tidak memadai dan dapat menghambat pemuatan eskpor yang lain, jangan dipaksakan malah jadi tidak produktif pelabuhan ini," jelas pengusaha cangkang sawit.
Oleh sebab itu para eksporter menyarankan agar pihak Samudera Siak sebagai pemilik pelabuhan untuk menetapkan saja loading rate per hari misalnya harus 2.000ts. "Sehingga dari kepentingan semua pengguna jasa terakomodir. Di sisi lain, penghasilan Samudera Siak akan maksimal. Dengan tidak adanya pengaturan loading rate, pengguna jasa pihak Samudera Siak akan sangat dirugikan. Sehingga pada akhirnya pengguna jasa akan berpikir untuk pindah ke pelabuhan lain," jelasnya.
Jimmy Zhang juga menyarangkan sebaiknya hanya kapal dengan LOA 120-130m saja yang boleh bersandar di pelabuhan Tanjung Buton atau boleh besar asalkan loading ratenya bisa maksimal 4 hingga 5 hari. "Lebih dari itu sebaiknya ditunda saja sampai fasilitasnya memadai," tutupnya.***