(CAKAPLAH) - Sejak rezim militer Myanmar melakukan kudeta pada 1 Februari 2021 terhadap pemerintahan sipil yang sah di bawah pemerintahan Daw Aung Saan Suu Kyi, 2 tokoh yaitu Suu Kyi dan presiden Presiden Win Myint menjadi tahanan rumah.
Jenderal Min Aung Hlaing telah mengambil kuasa atas pemerintahan sipil yang telah berjalan selama hampir 10 tahun. Dengan kudeta militer tersebut runtuhlah demokrasi di Myanmar yang telah memulai pemerintahan sipil yang secara de facto dipimpin oleh Daw Aung San Suu Kyi.
Dewan Keamanan PBB sudah menekan militer Myanmar untuk membebaskan Aung San Suu Kyi yang sejak kudeta militer dijadikan sebagai tahanan rumah dan beberapa anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk demokrasi pimpinan Suu Kyi.
Myanmar termasuk negara yang sering melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil. Pada Pemilu tahun 1990 yang dimenangkan oleh NLD pimpinan Daw Aung San Suu Kyi juga dibatalkan oleh militer. Tradisi kudeta tidak terlepas dari peran militer yang ikut campur terhadap pemerintahan sipil. Hasil pemilu tahun 1990 yang dimenangkan oleh Partai NLD, secara sepihak dibatalkan oleh Junta Militer Myanmar, yang ketika itu menguasai dihampir semua elit politik. Hampir 90% suara dimenangkan oleh Partai NLD pimpinan Aung San Suu Kyi.
Pasca Pemilu tahun 1990, tokoh oposisi pro demokrasi tersebut dikenakan penjara hingga menjadi tahanan rumah selama lebih kurang 20 tahun. Banyak kecaman datang dari berbagai organisasi internasional terutama utusan khusus PBB, yang mengecap dan mendorong agar militer Myanmar mengembalikan kekuasaan kepada pemerintahan sipil.
ASEAN sendiri sebagai organisasi di kawasan Asia Tenggara sudah berupaya untuk melakukan komunikasi dan pendekatan secara konstruktif agar militer berundur dan menyerahkan kepada pemerintahan sipil. Eskalasi kekerasan di Myanmar semakin mengkhawatirkan dengan banyaknya korban yang berjatuhan.
Terakhir, ketika rezim militer Myanmar melakukan serangan bom di Negara bagian Kachin, di konser perayaan kelompok minoritas etnis Kachin dengan alasan menyerang kelompok separatis dan teroris di Negara bagian Kachin, diperkirakan 80 orang terbunuh.
Kamboja sebagai Ketua ASEAN, menyerukan semua pihak untuk menahan diri dan segera menghentikan pertempuran. Dalam pertemuan menteri luar negeri ASEAN di Jakarta pada 27 Oktober yang lalu, ASEAN menyesalkan dan menyerukan kepada rezim militer Myanmar menghentikan serangan khususnya terhadap etnis minoritas di Negara tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, telah terjadi konflik berdarah di Myanmar. Pertama; terjadinya pengeboman di penjara. Kedua; konflik di Negara bagian Karen dan ketiga; pengeboman konser di Negara Bagian Kachin. Kamboja sebagai Ketua ASEAN menghimbau kedua belah pihak yaitu Rezim Militer dan kelompok bersenjata (Karen dan Kachin) melakukan dialog agar menghentikan pertempuran. Konflik yang terjadi di Myanmar tidak hanya memperburuk situasi kemanusiaan, tetapi juga merusak upaya implementasi consensus perdamaian yang disepakati antara ASEAN dan Junta Militer di Myanmar di tahun 2021.
ASEAN menghadapi dilema khususnya dalam masalah Myanmar, yang tidak saja menjadi sorotan ASEAN, juga sudah menjadi sorotan Internasional yaitu Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan Uni Eropa yang mengkhawatirkan terjadinya konflik berdarah. Uni Eropa telah mendesak rezim militer Myanmar menghentikan serangan yang semakin massif terhadap kelompok bersenjata di Myanmar.
Rezim militer Myanmar tidak hanya berhadapan dengan para demonstran (kalangan sipil), juga berhadapan dengan kekuatan para pemberontak yang menginginkan kemerdekaan dan pisah dari Myanmar dari negara-negara bagian di Myanmar seperti kelompok bersenjata minoritas Karen, Kachin, Mon dan Shan yang sejak tahun 2010 melakukan perlawanan terhadap rezim militer Myanmar di perbatasan Thailand-Myanmar.
Selain etnis Burma yang mayoritas, terdapat juga etnis-etnis lainnya seperti Bamar, Karen, Kayah, Rohingya, Kachin, Chin, Arakan, Naga, Mon dan Shan (Siam dalam bahasa Thailand). Kelompok separatis yang terus melakukan perlawanan terhadap rezim militer Myanmar adalah dari etnis Karen dan Kachin di perbatasan Thailand-Myanmar. Dominasi etnis Burma yang menguasai negara Myanmar, telah menimbulkan disharmonisasi hubungan diantara etnis-etnis yang ada di Myanmar umumnya. Sehari Pasca pemilu 7 November 2010 yang lalu, meletus pertempuran sengit antara militer Myanmar dengan kelompok minoritas dari etnis Karen dan Kachin di perbatasan Thailand-Myanmar.
Oleh sebab itu, Kamboja sebagai Ketua ASEAN, terus mendorong adanya upaya rekonsiliasi rezim militer Myanmar dengan kelompok-kelompok minoritas di Myanmar, agar perdamaian yang telah diupayakan oleh ASEAN disepakati oleh kedua belah pihak agar tidak menimbulkan korban jiwa yang lebih besar lagi demi terwujudnya perdamaian di kedua belah pihak. Dan ASEAN terus mendorong upaya tersebut demi terwujudnya rekonsiliasi nasional.
Penulis | : | Hasrul Sani Siregar, MA, Alumni Ekonomi-Politik Internasional, IKMAS, UKM, Malaysia |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |