(CAKAPLAH) - Peneliti dan pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny Januar Ali atau yang akrab disapa Denny JA, menyebut hasil survei dari Litbang Kompas yang menyebut elektabilitas pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 di Pilpres 2024, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dari pasangan lainnya, konsisten dengan hasil survei dari lembaga lain.
Denny JA menyayangkan adanya kritik yang meragukan hasil survei Litbang Kompas.
Diketahui, survei dari Litbang Kompas awal Desember 2023 memaparkan elektabilitas Prabowo-Gibran di angka 39,3 persen, mengungguli pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (16,7 persen), dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (15,3 persen). Survei itu diambil pada periode 29 November 2023-4 Desember 2023.
"Elektabilitas tiga pasangan capres-cawapres yang diumumkan Kompas itu sebanding dan konsisten dengan lembaga survei lainnya yang kredibel, juga di momen yang sama, di awal Desember 2023," kata Denny JA dalam rilis yang didapat Beritasatu.com, Jumat (15/12/2023).
Survei LSI Denny JA periode 20 November-3 Desember 2023 memaparkan elektabilitas Prabowo-Gibran 42,9 persen, sementara Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud di angka 24,9 persen dan 24 persen. Sementara hasil survei Indikator Politik 23 November-1 Desember mengungkap elektabilitas Prabowo-Gibran di angka 44,9 persen, sementara Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud 22,6 persen dan 24,7 persen.
Denny JA mengaku sempat mendapatkan kritik serupa saat memaparkan hasil survei yang lebih mengungguli salah satu pasangan.
"Ini serangan lima tahun sekali. Sebut saja ini serangan musiman setiap pilpres.LSI Denny JA, sudah mengalami ini sejak pilpres 2004, 2009, 2014, 2019. Dibandingkan semua lembaga survei yang kini aktif, LSI Denny JA satu-satunya yang sudah hadir sejak Pilpres 2004," ungkap Denny JA.
Ia menilai serangan bertubi-tubi seperti yang dialami Kompas disebabkan tiga faktor. Pertama, serangan itu menjadi bagian dari defence mechanism kolektif kubu capres-cawapres yang kalah dalam survei.
"Mereka ingin menjaga semangat pendukungnya. Tak ada cara yang lebih praktis dan mudah selain menyatakan hasil survei ini dimanipulasi atau diintervensi," kata Denny JA.
Kedua, hal itu juga dinilai sebagai bagian dari perang opini. Pasalnya, masih banyak pemilih yang belum memutuskan, dan ingin ikut capres yang menang.
"Maka dilakukanlah apa yang disebut 'kill the messenger'. Bunuhlah citra sang pembawa pesan. Buruk-burukkanlah lembaga survei yang bersangkutan, atau tokohnya," kata Denny JA.
Ketiga, menurut Denny JA, hal itu merupakan gambaran kultur politik Indonesia yang sulit menerima kekalahan.
Ia sendiri menilai melorotnya elektabilitas Ganjar-Mahfud tak terlepas dari kesalahan strategi kubu pasangan nomor urut 3 itu yang menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, basis pendukung Ganjar-Mahfud sendiri ialah pendukung dari Jokowi.
"Ganjar memang mengalami penurunan yang dahsyat karena kesalahan fatal dan elementer dalam memainkan strategi. Dalam permainan catur, ini disebut blunder atau salah langkah," katanya.
Oleh karena itu, Denny JA berharap ke depannya, elite politik lebih bisa menerima hasil survei dari lembaga yang independen dan kredibel, sebagai bahan masukan untuk strategi kampanye mereka meningkatkan elektabilitas, ketimbang menyalahkan hasil survei yang tidak sesuai harapan.
"Banyak dari kita yang memang susah ikhlas mengalami suasana sedang dalam posisi yang kalah. Mungkin perlu 4-5 kali pilpres lagi untuk membuat kita semakin rileks bersaing dalam politik praktis," pungkasnya.**