Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau
|
Ide penulisan topik di atas muncul seturut meminum kopi panas dan sepotong roti bakar pagi hari di kedai kopi Nirwana, Air Molek, Indragiri Hulu, bersempena mengisi hari libur nasional dan menjenguk saudara di sana.
Bagi para penikmat kopi di Air Molek pasti tak asing lagi dengan kedai kopi Nirwana, yang telah beralih ke generasi kedua. Walaupun banyak kedai kopi bermunculan, namun Nirwana masih menjadi legenda dan tak terlupakan.
Tak dapat dipungkiri bahwa sebahagian kota di Tanah Air, bahkan kota-kota besar di dunia memiliki kedai kopi legendaris. Nyaris setiap kota memiliki kedai kopi. Aroma kopi merebak ke penjuru kota melalui kedai-kedai kopi semenjak pagi buta untuk memenuhi hajat para penikmatnya. Aroma kopi juga merebak hingga ke pelosok kampung dan desa-desa di Tanah Air melalui rumah-rumah penduduk dan kedai-kedai kopi di pedesaan, mulai dari Aceh hingga Papua.
Dalam beberapa dekade terakahir, bisnis kedai kopi khususny di kota-kota besar, telah mengalami semacam metamarfosis, dengan tampilan dan pelayanan yang serba modern, sofa dan meja modern, cangkir dan peralatan pendukung serta design interior yang mengikuti tren masa kini. Termasuk juga perlengkapan untuk browsing internet dengan layanan wifi gratis. Jenis kopi yang ditawarkan juga beraneka ragam, mulai dari yang panas hinga yang dingin. Minum kopi tidak lagi identik dengan kedai tradisional masa lalu, cangkir, meja dan kursi konvensional.
Di kebanyakan kota dan daerah di Tanah Air, khususnya di Tanah Melayu, seperti; Riau, Aceh, Sumatera Barat, Bangka Belitung, tradisi minum kopi sudah begitu memasyarakat, khusunya bagi kaum lelaki dewasa dan orang tua. Pergi ke kedai kopi untuk meminum secangkir kopi adalah tradisi yang telah berzaman, baik sebelum pergi beraktivitas di pagi hari atau setelah beraktivitas disiang hari atau petang hari.
Sehingga tak dapat lagi ditelusuri dengan pasti kapan bermulanya tradisi ini. Jika ditilik lebih jauh, tradisi minum kopi berasal dari bangsa Arab, yang kemudian berkembang ke Eropa dan Asia, termasuk Indonesia. Sehingga kemudian dikenal dua jenis kopi yang populer hingga kini, yaitu arabica dan robusta.
Walapun kemudian tradisi minum kopi bagi masyarakat Indonesia mengalami pasang surut, dimana kemudian digantikan dengan tradisi minum teh pada masa kini. Sehingga jika kita bertamu, maka yang paling umum disajikan adalah minuman teh. Karena memang juga didukung kenyataan, bahwa minum teh lebih diterima oleh seluruh kalangan dan usia, berbeda halnya dengan minum kopi yang lebih bernuansa kelaki-lakian dan minuman orang dewasa.
Di tengah arus perkembangan zaman, tradisi minum kopi tidak punah, bahkan seperti di sebutkan di atas telah mengalami metamarfosis, terutama di daerah perkotaan. Selain tampilan kedai kopi yang sudah semakin modeern, juga para penikmatnya sudah merambah kelas menengah ke atas, bahkan sosialita perkotaan.
Minum kopi juga sudah mempengaruhi gaya hidup anak muda dan remaja masa kini. Hal ini juga turut disebarluaskan dan dipromosikan melalui iklan dan media sosial, serta rangkaian kedai kopi global dengan merek starbuck coffee yang begitu dikenal anak-anak muda dan kalangan menengah atas masyarakat urban di hampir seluruh kota-kota besar di dunia.
Tak diragukan lagi, bahwa kedai kopi merupakan satu bisnis besar di perkotaan masa kini, dengan omzet yang menjanjikan. Kemajuan dan pembangunan kota juga seirama dengan perkembangan kedai kopi yang semakin menjamur, seperti di Kota Pekanbaru, Padang, Malang, Surabaya, Bandung, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Tanah Air.
Harga secangkir kopi kini juga bervariasi, mulai dari yang seharga Rp. 6.000 per cangkir hingga yang berharga ratusan ribu secangkirnya, tergantung tempat, merek, jenis kopi dan cara penyajiannya.
Nama kedai kopi juga ikut bermetamarfosis, dengan berbagai nama dan merek, dari yang tradisional hingga modern, seperti coffee house dan starbuck coffee. Di Pekanbaru dan kota-kota lain di Riau, kini juga berkembang Kupi Atjeh dengan penggemar dan komunitas tersendiri. Bahkan di Kota Manado, Sulawesi Utara menjelma menjadi Rumah Kopi sebagai terjemahan langsung coffee house, yang masih asing penggunaannya dalam masyarakat di Riau untuk saat ini.
Bahkan beberapa elit politik dan pejabat yang tersangkut kasus korupsi juga banyak kronologis kejadiannya juga berkait dengan pertemuan di Kedai Kopi. Juga, di kalangan masyarakat sudah begitu populer istilah Uang Kopi untuk pemulus dan pelancar urusan administrasi dan bisnis.
Diselesaikan di Kedai Kopi
Mengapa orang pergi minum ke kedai kopi? Apa daya tariknya? Hal ini, yang sampai sekarang masih banyak diperdebatkan, terutama bagi sebagian para isteri, karena suaminya yang gemar dan bahkan menghabiskan waktunya di kedai kopi. Disajikan dan dibuatkan kopi yang serupa dengan yang ada di kedai kopi tidak disentuhnya.
Bahkan di kampung saya, Taluk Kuantan, segelintir bapak-bapak dan kakek-kakek pergi minum kopi ke kedai kopi di pagi hari semacam kewajiban baru. Bahkan serasa berdosa jika tidak minum ke kedai kopi kesayangannya. Hebatnya lagi, ada atau tak ada uang tetap minum ke kedai kopi.
Bagaimana caranya? Saya dulu juga bingung, tetapi belakangan setelah beranjak dewasa baru faham, para penikmat minuman hitam kental tersebut memiliki kas bon dan daftar utang ngopi di kedai kopi langganannya. Bagi para PNS akan dilunasi ketika bulan baru, dan bagi para penakiak gotah (penyadap karet) dilunasi ketika selesai menimbang getah/karet.
Istilahnya minum ke kedai Hailam, karena kedai kopi khas tersebut pada umumnya dilakoni oleh etnis Tionghoa, khususnya suku Hailam, sehingga kedai kopi juga identik dengan kedai Hailam di Kampung saya.
Bagi para pegawaai negeri, minum kopi juga menjadi semacam aktivitas lain, yang dalam beberapa dekade belakangan sering dilakukan razia oleh para kepala dinas dan pimpinan, karena mbolos jam kantor dan pergi berleha-leha di kedai kopi. Walaupun ini kadang-kadang menjadi semacam ironi, karena tak jarang juga para petinggi dan pejabat menyelesaikan berbagai persoalan penting dan keputusan krusial jusru diselesaikan di kedai kopi. Bahkan, terkadang, persoalan yang begitu rumit dan kompleks dengan mudah diselesaikan di meja kopi.
Mengapa bisa begitu? Karena keberadaan di kedai kopi berlangsung secara informal dan santai, berbeda dengan suasana di kantor yang serba formal, serius dan kadang-kadang tegang dan keras. Maka di kedai kopi dapat ‘diselesaikan’ dan diputuskan secara damai dan santai.
Bahkan di kota-kota tertentu di Riau, khususnya di kota pesisir seperti Bengkalis, Selat Panjang atau Tanjung Pinang, justru banyak urusan-urusan formal adminsitrasi diselesaikan di meja kopi. Menariknya, para kepala desa dan mungkin kepala dinas harus membawa stempel kantor ke kedai kopi, jadi tak perlu ulang-alik ke kantor. Semua urusan diselesaikan satu pintu di kedai kopi.
Sehingga ada semacam anekdot bahwa jika mencari kepada desa ke kantor desa ketika jam kerja dan kemudian tak dijumpai di sana biasanya direkomendasikan mencarinya di kedai kopi.
Social Drink
Seperti telah sedikit banyak disentuh pada uraian di atas, bahwa pada intinya kedai kopi bukan hanya sekedar untuk minum kopi sebagi penghilang rasa dahaga. Namun, disebalik itu ada tujuan dan kepentingan lain yang terkadang lebih dahsyat dan menjanjikan, yaitu adanya deal-deal politik, janji-janji, perbincangan sosial-ekonomi bernilai tinggi atau niat jahat dan konspirasi terselubung, atau umpat dan caci maki masyarakat terhadap pemerintah, atau mendiskusikan topik yang hangat dibicarkan di televisi, surat kabar atau media sosial, semuanya campur baur di kedai kopi.
Dalam konteks ini, sungguh keliru jika ada orang pergi ke kedai kopi jika hanya sekedar melepaskan dahaga. Jika hanya ini lebih baik minum di rumah saja, atau bawa serbuk kopi atau sachet kopi kemana-mana, dan tinggal diseduh dengan air panas yang begitu mudah didapatkan dimana saja saat ini.
Minum kopi sudah berubah wujud sebagai social drink sejak berzaman. Saya kira, telahpun ditulis banyak buku berkenaan dengan budaya minum kopi. Bahkan Andrea Hirata dalam novel Tetralogi Laskar Pelangi konon kabarnya telah melakukan riset besar tentang budaya minum kopi yang begitu apik dan menarik ditulisnya dalam novel legendaris tersebut.
Sampai Andre mengamati dari jumlah putaran sendok ketika para pembacuh kopi mengaduknya, sehingga perbandingan takaran kopi dan gulanya, dan apa artinya kopi pahit, setengah pahit, kopi manis atau kopi para pejabat yang biasanya ditambahi dengan susu kental manis berbanding kopi kental pahit para buruh, karyawan dan tukang becak.
Jika penasaran silakan baca novel Andre tersebut, walaupun ini bukan promosi dan propoganda. Bahkan sampai diceritakan kisah para istri yang mendamprat para suami yang gemar minum kopi, dan enggan minum kopi di rumah, walaupun serbuk kopi dan takaran kopinya sama persis dengan yang ada di kedai kopi.
Selain itu, setiap kedai kopi memiliki keunikan dan citarasa serta citra tersendiri di mata para penikmatnya, yang dalam perjalanan waktu memunculkan komunitas sosial tersendiri. Hal ini dapat diperhatikan di kota Pekanbaru dan mungkin kota-kota lainnya di Tanah Air, dimana ada kedapi kopi tempat ngumpulnya para pejabat, dan elit politik, mulai dari pejabat di Kelurahan hingga Gubernur, dari pengurus partai hingga ketua parlemen.
Ada juga kedai kopi untuk komunitas untuk para jurnalis alias pewarta berita atau wartawan yang biasanya berkolaborasi dengan para pengurus lembaga swadaya masyarakat (LSM). Selain itu, ada juga kedai kopi untuk para pejabat atau elit politik tertentu, yang jika ngopi mesti ke kedai kopi kesayangannya.
Ada juga kedai kopi untuk para pensiunan PNS atau BUMN, sehingga ada istilah kantor baru bagi para pensiunan ini untuk mendiskusikan berbagai hal tentang kehidupan sosial, ekonomi dan poitik. Dari yang ringan-ringan, hingga yang super berat dan dahsyat, bisa dibicarakan dan bebas dibicarakan di kedai kopi.
Ada juga kedai kopi untuk kalangan menengah ke atas, anak-anak muda urban dan para sosialita dengan tampilan tempat mentereng dan kekinian, dengan harga secangkir kopi di atas rata-rata.
Kedai kopi juga dapat dijadikan tempat netral untuk membicarakan berbagai persoalan dan masalah, mulai dari urusan pribadi, rumah tangga hingga persoalan konspirasi politik dan niat jahat hingga urusan bisnis dan dagang beromzet milyaran rupiah.
Hiruk pikuk kehidupan kota, dengan segala persolan yang menyelimutinya mungkin dapat diregangkan dengan seteguk kopi di kedai kopi. Sengkarut politik, persoalan rumah tangga, tekanan hidup, pemutusan hubugan kerja (PHK), mutasi jabatan, hingga pencopotan jabatan dapat ditumpahruahkan dan disikat habis di kedai kopi. Bahkan tak jarang persoalan kompleks dan rumit dapat dicarikan solusinya secara elegan di kedai kopi.
Selamat menikmati minum kopi. Wallahu a’lam
Penulis | : | Dr. Apriyan D Rakhmat, M.Env, Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik, Universitas Islam Riau |
Editor | : | Unik Susanti |
Kategori | : | Riau, Cakap Rakyat |