Foto udara rumah-rumah warga yang hancur akibat gempa 7,4 pada skala richter (SR) di Perumnas Balaroa, Palu, Sulawesi Tengah.
|
(CAKAPLAH) - Likuifaksi atau pencairan tanah yang terjadi saat gempa mengguncang Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9/2018) merupakan fenomena baru bagi masyarakat Indonesia. Dalam berbagai video yang tersebar di media sosial, likuifaksi ditandai dengan bergeraknya bangunan di atas tanah seolah-olah terseret oleh lumpur.
Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kejadian likuifaksi di Kota Palu bukanlah yang pertama kali terjadi. Pada gempa bumi yang terjadi di Lombok, likuifaksi juga terjadi. Namun skalanya lebih kecil.
"Tidak semua tempat yang terjadi gempa, terjadi juga likuifaksi. Di Lombok terjadi, tapi kecil. Tapi kalau kita melihat di Palu, likuifaksi yang terjadi begitu besar," kata dia saat konferensi pers di Graha BNPB, Senin (1/10/2018).
Ia menjelaskan, terjadinya likuifaksi disebabkan oleh guncangan gempa. Kondisi material geologi yang ada di tanah juga ikut memengaruhi. Ketika guncangan terjadi, tanah menjadi cair karena material air yang tinggi.
Dalam volume air yang besar, kata dia, tanah menjadi gembur. Akibatnya, bangunan di atas tanah, perumahan, dan pohon, itu berjalan pelan-pelan sampai akhirnya ambles dan tertimbun oleh lumpur.
Dengan kata lain, likuifaksi merupakan proses keluarnya lumpur dari lapisan tanah akibat guncangan gempa dan menyebabkan lapisan tanah yang awalnya kompak, bercampur dengan air menjadi lumpur. Kekuatan tanah yang berkurang mengakibatkan bangunan di atasnya hancur.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah memetakan potensi gempa di wilayah Indonesia berdasarkan jalur sesar yang ada. "Sepanjang daerah itulah yang berpotensi likuifaksi. Tapi untuk peta likuifaksi sampai saat ini belum, karena masih sulit," kata dia.
Menurut Sutopo, likuifaksi tidak sembarangan ditemukan di jalur gempa yang akan terjadi. Artinya, tidak semua daerah rawan gempa, rawan pula terjadi likuifaksi.
Karena itu, perlu penelitian lebih lanjut. Pasalnya, belum semua jalur sesar di wilayah Indonesia terpetakan sampai skala mikro detail. Kejadian likuifaksi hebat yang menimpa Perumnas Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu, harus menjadi pembelajaran untuk semua pihak.
Ia mengimbau, pemerintah daerah (pemda) yang wilayahnya rawan gempa harus membuat peta mikro zonasi. Dengan peta itu, lanjut dia, akan diketahui potensi terjadi gempa. "Dari sana dijadikan dasar tata ruang. Artinya, kalau melakukan pembangunan di daerah itu, boleh tapi kekuatan konstruksinya harus diatur. Memang lebih mahal," kata dia.
Namun, ia mengakui masih jarang Pemda yang memrioritaskan penanggulangan bencana. "Jarang sekali visi misi masalah bencana dijadikan prioritas. Anda bisa lihat pilkada, pilpres, enggak ada di dalamnya masalah penanggulangan bencana. Padahal Indonesia rawan bencana," kata dia.
Sutopo menegaskan, penanggulangan bencana harus diperhitungkan dalam tata ruang. Pasalnya, mitigasi bencana akan menjadi investasi dalam pembangunan. "Memang lebih mahal tapi ketika terjadi bencana jumlah korban sedikit dan kerugian lebih kecil," ungkap dia.
Dalam kejadian gempa di Kota Palu, likuifaksi terjadi di Perumnas Balaroa yang terdapat sekitar 1.747 unit rumah. Sementara di Perumnas Patobo ada sekitar 744 unit rumah.
Sutopo mengatakan, BNPB belum menerima informasi terkait jumlah korban dan kerusakan yang terjadi di dua Perumnas tersebut. Namun, ia yakin jumlah kerusakan tinggi dan likuifaksi menelan banyak korban.