PEKANBARU (CAKAPLAH) - Hingga kini Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih melakukan perhitungan secara real count ataupun manual perolehan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Legislatif (Pileg).
Namun, saat bersamaan sejumlah lembaga survei juga telah merilis hasil hitung cepat atau quick count mereka disejumlah televisi dan media cetak dan elektronik. Dari data yang dirilis, menimbulkan berbagai persepsi ditengah masyarakat pemilih, khususnya dibeberapa daerah yang menjadi basis pendukung kedua calon.
Pasalnya, selain lembaga survei tadi, masing-masing tim pemenangan baik itu pasangan 01 melalui Tim Kampanye Nasional (TKN) ataupun paslon 02 melalui Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi juga merilis data quick count dan real count mereka, dimana hasilnya tidak sama dengan yang di rilis lembaga survei tadi, saling klaim kemenanganpun tak terhindarkan.
Pengamat Politik dari Universitas Muhamadiyah Riau (UMRI) DR Aidil Haris menyatakan, survei ataupun quick count memang merupakan salah satu metodologi kuantitatif dalam pengambilan sampel yang banyak digunakan saat ini dalam pesta demokrasi.
Hanya saja, dalam pemaparan lembaga survei yang merilis hasil quick count Pilpres kemaren, memiliki tingkat akurasi yang rendah, lantaran memiliki margin eror diatas 10 persen, bahkan ada yang sampai 20 persen.
"Survei itu memiliki margin eror. Nah, dari yang saya baca kemaren bahkan ada yang margin erornya sampai diatas 10 persen. Karena dalam rumus sloving atau yamane, teori pengambilan sample, pengambilan sampling eror itu maksimal 1 sampai 10 persen, tapi kalau sampai 10 persen lebih bahkan 20 persen, itu tidak bisa dipedomani,"paparnya.
Karena itu katanya, sejumlah lembaga survei kemaren banyak yang tidak berani mengungkap berapa margin eror dari hasil quick count yang mereka rilis itu. "Makanya kemaren sebagian mereka (Lembaga survei,red) gak mau sebut margin eror. Bahkan ada saya baca di media juga ada yang sampai 20 persen margin erornya," tukas Aidil.
Aidil menyarankan, seharusnya dalam kasus Pilpres dan Pileg serentak ini menghindari publikasi hasil quick count ini.
"Sebenarnya, saya kurang sepakat menghitung yang begini dengan quick count karena bisa memancing emosional orang, bisa berakibat memunculkan konflik," tandasnya.
Ia menambahkan, penggunaan quick count dalam pesta demokrasi merupakan satu hal yang tidak dilarang, hanya saja jika merujuk situasi yang ada saat ini, ekspos quick count sebaiknya dihindari.
"Kita gak tau sekarang lembaga survei ini ada pihak mana, tapi ini sangat berisiko, sehingga nanti ini bisa jadi konklusi atau kesimpulan," tegasnya.
"Kita menghargai pekerjaan ilmiah yang dilakukan lembaga survei, meskipun tujuan untuk memanipulasi itu juga besar. Dalam artian dimana surveyor melakukan survei di basis-basis calon tertentu. Itu resiko, tak heterogen. jatuhnya homogen," cakapnya lagi.
Untuk itu, ia meminta kepada semua pihak untuk menunggu hasil penghitungan KPU yang real. "Tunggu saja real count resmi atau hitungan manual dari KPU, karena resiko kesalahan lebih kecil dibanding hitungan cepat tadi, karena tidak berupa sampel lagi," jelasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Hadi |
Kategori | : | Politik |