Para Imigran asal Afganistan saat berada di Wisma Orchid Jalan Tuanku Tambusai Ujung, Gang Musyawarah
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Kemarin ratusan imigran yang ada di Kota Pekanbaru melakukan unjuk rasa ke Kantor Gubernur Riau. Tuntutannya mereka ingin segera dikirimkan ke negara ketiga yang diyakini akan memberikan kesejahteraan yang lebih bagi kehidupan para imigran. Bahkan dalam aksi unjuk rasa tersebut, salah satu imigran nekat menjahit bibirnya sebagai wujud aksi protes kepada pemerintah setempat.
Hal ini menimbulkan pertanyaan di hati kita semua, sebenarnya berapa "jatah" bulanan yang diterima oleh para imigran ini serta apa saja fasilitas yang mereka terima. Apakah terlalu kecil sehingga mereka merasa tidak diperhatikan oleh pemerintah dan ingin segera pergi dari Indonesia?
CAKAPLAH.COM berusaha mencari informasi terkait hal ini dengan langsung mendatangi salah satu rumah tinggal sementara imigran yakni di Wisma Orchid Jalan Tuanku Tambusai Ujung, Gang Musyawarah. Letaknya tak jauh dari kantor PLN Wilayah Riau Kepulauan Riau (WRKR).
Di lokasi, CAKAPLAH.COM berbincang-bincang dengan salah seorang penghuni di rumah tinggal sementara tersebut. Abul namanya. Bersama keluarganya, dirinya sudah genap 5 tahun berada di Bumi Lancang Kuning.
"Saya sudah 5 tahun tinggal di Pekanbaru. Saya warga negara Afganistan," ujar Abul memulai cerita.
Dirinya bersama dengan warga Afganistan lainnya datang ke Indonesia hingga sampai ke Riau ini karena memang lari dari negara asal yakni Afganistan yang dinilai tidak aman karena adanya perang.
"Kami lari dari Afganistan dan mencari negara yang aman. Kami sebenarnya ingin ke negara ketiga yakni ada Australia, Kanada, Amerika dan juga New Zealand. Jadi kami ke Indonesia ini sebenarnya karena kami mau ke Australia dan lewat Indonesia karena Indonesia adalah negara terdekat dengan Australia," ungkapnya.
Untuk imigran yang berada di Pekanbaru, Abul mengatakan waktunya sudah sangat lama. Bahkan ada yang mencapai 10 tahun lebih. Namun hingga saat ini belum ada informasi kapan Imigran ini bisa pindah dari Indonesia untuk selanjutnya menuju ke negara tujuan yang menjadi impian mereka.
"Sudah sangat lama kami di sini, ada yang sudah berkeluarga dan ada juga yang masih single. Kalau di Indonesia mungkin untuk imigran jumlahnya mencapai 14.000 orang dan yang dari Afganistan sekitar 7.000 hingga 8.000 orang. Kami sudah sangat lama di sini dan prosesnya terlalu panjang untuk bisa pindah," terangnya.
Selama tinggal di Pekanbaru, dikatakan Abul, setiap bulannya mereka menerima uang jatah yang sudah ditetapkan pemerintah. Untuk besarannya beragam. Bagi anak-anak dan yang belum menikah, akan mendapat Rp500 ribu perorangnya. Kemudian untuk yang sudah berkeluarga, 1 orangnya mendapatkan jatah Rp1.250.000.
Baca: "Kami Bukan Binatang", Imigran di Riau Jahit Mulutnya Sendiri, Minta Dipedulikan
"Saya yang umur 22 tahun juga menadapatkan jatah bulanan Rp500 ribu, sama dengan anak bayi. Bayangkan dengan uang segitu bagaimana saya mengatur keuangan. Itu sudah untuk semuanya. Kebetulan saya di sini berlima dengan ayah ibu serta 2 orang adik saya. Jadi orang tua mendapatkan jatah Rp2.500.000, kemudian kami anak-anaknya bertiga Rp1.500.000. Jadi total dalam sebulan kami dijatah Rp4.000.000," ungkapnya.
Pria yang mengaku belajar bahasa indonesia hanya dalam waktu 3 bulan ini mengatakan, uang yang diberikan oleh pemerintah itu sudah untuk semuanya. Baik makan, pakaian, obat-obatan dan berbagai keperluan lainnya. Tak ada tambahan jatah lain seperti barang atau semacamnya.
"Tidak ada kami diberikan makanan atau barang-barang lain. Hanya uang itu saja dan kita harus pandai-pandai mengaturnya bagaimana bisa untuk bertahan. Dalam satu bulan kami harus hidup dengan uang tersebut. Apapun kebutuhan saya ya hanya dari uang itu. Itu sangat tidak cukup sebenarnya," jelasnya.
Baca: Imigran di Riau Minta Dipindahkan, Kemenkumham: Bukan Wewenang Pemerintah Indonesia
Untuk fasilitas rumah tinggal, Abul mengatakan di Wisma Orchid ini setiap keluarga diberikan 1 kamar dengan ukuran 4x4. Jadi seberapa banyak pun anggota keluarganya akan mendapatkan 1 kamar tersebut. "Kebetulan saya berlima jadi ya di kamar itu kami berlima. Kalau lebih ya sempit-sempitan di dalam kamar itu. Itu ruangan kosong ya. Tidak ada fasilitas lainnya. Kalau mau fasilitas lain harus bayar," ucapnya.
Dengan kondisi yang dirasakan saat ini, Abul mengatakan dirinya bersama Imigran lainnya sangat ingin pergi dari Indonesia. "Kami memikirkan masa depan, mau seperti apa kalau kami di sini terus. Kami di sini sudah terlalu lama. Negara kami Afganistan juga tak aman, kami tak bisa pulang. Mau maju ke negara ketiga juga kami tak bisa. Kami tak bisa lakukan apa-apa," ungkapnya.
Ali, Imigran lainnya yang menghampiri CAKAPLAH.COM saat berbincang-bincang dengan Abul mengatakan dirinya bersama 2 anak dan istrinya sudah semakin berat untuk tinggal lebih lama di Pekanbaru, Riau. Terlebih jatah uang yang didapatkan oleh dirinya dan keluarganya sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Untuk penginapan memang gratis. Tapi kalau mau AC, mesin cuci dan wifi kami harus bayar lagi. Semuanya hampir Rp1 juta. Saya pakai AC karena anak saya ini masih kecil-kecil, mau tak mau harus pakai. Anak saya 2 kecil-kecil, belum beli susu, kemudian Pampers nya lagi. Sangat tidak cukup. Saya harap pemerintah bisa segera memfasilitasi kami untuk pergi ke negara ketiga," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Kesbangpol Kota Pekanbaru, Zulfahmi Adrian mengatakan jika para imigran asal Afganistan yang berada di Kota Pekanbaru diberlakukan dengan sangat baik. Bahkan, jaminan keselamatan selama tinggal di Bumi Lancang Kuning juga terjaga.
"Mereka selama di Pekanbaru sangat diperlakukan dengan baik. Baik dari pelayanan kesehatan, keselamatan bahkan jaminan kebutuhan hidupnya terpenuhi dengan baik," ungkapnya, Senin (11/10/2021).
Mantan Kepala Badan Satpol-PP Kota Pekanbaru ini menyebutkan, tuntutan agar para Imigran dikirim ke negara ketiga seperti New Zealand, Kanada serta Australia bukan menjadi kewenangan pemerintah daerah.
"Tuntutan agar mereka dikirim ke Negara ketiga tidak menjadi ranah kami. Tapi Pemerintah Republik Indonesia yang memutuskannya. Jadi salah kaprah juga kalau mereka ini diperlakukan buruk selama di Indonesia khususnya Riau, Kota Pekanbaru," imbuhnya.