PEKANBARU (CAKAPLAH) - Cendikiawan Suku Sakai, M Agar Kalipke mengungkapkan kondisi masyarakat Sakai saat ini yang disebutnya terancam setelah tak lagi ada hutan sebagai tempat berlindung. Padahal hutan bagi masyarakat asli Riau adalah 'surga'.
Hidup orang Suku Sakai di Riau ini menurut M Agar Kalipke bergantung dari hutan, dan hutanlah menjadi adat dan budaya Sakai. Sehingga hutan menjadi surga bagi orang Suku Sakai. Namun hutan di negeri ini mulai hilang dan punah.
“Hilangnya hutan, maka hilang pulalah surga orang Suku Sakai,” kata M Agar Kalipke dalam agenda dialog Orentasi Adat Insan Pers di Balai Adat Melayu Riau, yang ditaja Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), Sabtu (26/11/2022).
Hutan itu menurut Agar Kalipke menjamin kelangsungan hidup adat dan budaya orang Suku Sakai. Hutan juga menjadi sumber makanan dan obat-obatan orang Suku Sakai.
“Kulit dan akar kayu di hutan adalah sumber obat-obatan dan makanan bagi orang Suku Sakai. Dalam pengolahan hutan ini, orang Suku Sakai mengunakan mantra, namun karena hutan sudah punah mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan orang Suku Sakai termasuk budayanya,” tambahnya.
Bukti lain bahwa hutan adalah sumber kehidupan di Suku Sakai, jelas M Agar Kalipke, rotan menjadi kerajinan dalam membuat keranjang. Ada lagi pandan yang dianyam hingga menjadi tikar, dan saat ini sangat sulit didapat.
Tak hanya itu, mau berharap dari sungai pun, kata Agar saar ini sulit, banyak yang mati. "Itu yang kita derita," cakapnya lagi.
Maka, suku Sakai, kata Agar Kalipke berharap kepada pemerintah, untuk dapat membantu Suku Sakai agar bisa hidup pararel dengan suku lain.
"Saat ini alangkah ironisnya, orang Sakai hidup di tanah, bumi yang kaya raya tapi orang Sakai kebalikannya. Susah dapat makan, susah minum, susah dapat pekerjaan. Dulu, saat hutan terbentang tak perlu cari pekerjaan, sudah ada semua di hutan. Ada umbi, buah, semua ada," cakapnya.
"Sekarang ini taroklah kita ini disandingkan dengan dunia moderen, tapi orang Sakai sulit dapat pekerjaan, maka ini memang kita berharap ada perhatian pemerintah," tukasnya
Untuk diketahui, acara acara hari ini dibuka langsung Ketum MKA Datuk Seri Marjohan Yusuf didampingi Ketum DPH LAMR Datuk Seri Taufik Ikram Jamil ini menghadirkan narasumber M Agar Kalipke, Syaiful Anuar, Derichad dan Alang Rizal.
Dalam elu-eluannya, Datuk Seri Taufik Ikram Jamil mengatakan, wartawan adalah salah satu ujung tombak dalam menyampaikan nilai-nilai adat. Karenanya keberadaan wartawan sangat penting dalam kehidupan berbudaya.
"Inilah salah satu tujuan dilaksanakan perhelatan orentasi adat insan pers ini. Bukan lantaran lataran latar belakang saya sebagai wartawan,” ucap Datuk Seri Taufik Ikram.
Senada dengan itu, Ketum MKA Datuk Seri Marjohan Yusuf, memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada insan pers karena sudah “mewakafkan” waktu untuk hadir dalam perhelatan ini.
“LAMR ini seperti dikatakan Datuk Seri Taufik Ikram Jamil, adalah rumah besar kita. Jadi silakan insan pers datang ke rumah adat ini,” ujar Marjohan.
Secara singkat Marjohan menjelaskan keberadaan LAMR adalah upaya membangkit batang terendam. Tugas dan fungsinya, mengembangkan dan memelihara adat istiadat, budaya, dan hak-hak adat masyarakat.
Menurutnya, dalam tubuh LAMR ada tiga unsur yakni, Dewan Kehormatan Adat (DKA), Dewan Pimpinan Harian (DPH), dan Majelis Kerapatan Adat (MKA),” ucap Marjohan.
Narasumber lainnya, Alang Rizal pada kesempatan itu membicarakan tentang adat dan budaya di dua wilayah yakni, daratan dan pesisir.
Di daratan, jelas Alang, bahwa kehidupannya bersuku-suku, salah satunya adanya kedatuk-an. Sistem kekerabatannya ada matrilineal dan ada patrilineal. Sedangkan masyarakat di Pesisir garis keturunannya dari bapak dan hidup tidak bersuku-suku.
“Di Pesisir sistem pemerintahan kerajaan dan tidak bersuku-suku namun ada kaum bangsawan dan rakyat,” ucap Alang Rizal.***
Penulis | : | Satria Yonela Putra |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Lingkungan, Riau |