Foto: Ilustrasi vonis hakim (detikcom/Ari Saputra)
|
(CAKAPLAH) - Sejoli terpidana pembunuhan berencana Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi menjalani sidang vonis di tingkat banding. Asa mereka untuk terbebas dari vonis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel) kandas di palu hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Seperti diketahui, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menerima permohonan banding mantan Kadiv Propam Polri itu dan istrinya. Di tingkat PN Jaksel, Ferdy Sambo divonis hukuman mati, sementara Putri divonis 20 tahun penjara.
"Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan 796/Pid.B/2022/PN JKT.SEL tertanggal 13 Februari 2023 yang dipintakan banding tersebut," tegas hakim ketua Singgih Budi Prakoso saat sidang di Pengadilan Tinggi DKI, Jalan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu (12/4/2023).
Duduk sebagai ketua majelis Singgih Budi Prakoso dengan anggota Ewit Soetriadi, H Mulyanto, Abdul Fattah, dan Tony Pribadi.
Singgih mengatakan Ferdy Sambo sempat menyinggung vonis Bharada Richard Eliezer yang rendah, yakni 1,5 tahun penjara meski Eliezer terbukti menembak Brigadir N Yosua Hutabarat. Vonis itu jauh di bawah tuntutan jaksa, yakni 12 tahun penjara.
"Di mana saksi Richard divonis jauh lebih rendah 1 tahun 6 bulan padahal diancam pasal penyertaan sebagai eksekutor penembakan," kata hakim Singgih.
Hakim Singgih mengatakan majelis tinggi PT DKI tidak berwenang untuk memberikan ulasan terhadap putusan itu. Alasannya, kata Singgih, Eliezer dan jaksa tidak mengajukan banding sehingga tidak diketahui apa yang menjadi pertimbangan putusan hakim atas putusan Eliezer.
"Bahwa tentang hal ini PT DKI tidak berwenang memberikan ulasan dan juga tidak diajukan upaya hukum banding sehingga diketahui apa yang menjadi pertimbangan hakim tingkat pertama," kata hakim Singgih.
Ferdy Sambo, dalam memori banding, juga mempermasalahkan vonis mati terhadap dirinya, padahal jaksa menuntut hukuman seumur hidup. Majelis hakim banding mengatakan hukuman mati masih berlaku di Indonesia.
Mulanya, hakim Singgih mengatakan pidana mati yang dijatuhkan hakim di tingkat pertama secara normatif masih berlaku di Indonesia.
"Berkaitan dengan pidana mati yang dijatuhkan majelis hakim atas perkara atas nama terdakwa Ferdy Sambo, pertama, adalah secara normatif hukuman mati masih berlaku sebagai hukum positif di negara Indonesia hingga saat ini," kata hakim Singgih.
Hakim juga menyatakan hukuman mati tertuang dalam KUHP yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Hakim mengatakan perbedaan mengenai boleh tidaknya hakim menjatuhkan pidana mati sudah tidak perlu dibahas lagi.
"Bahkan hukuman mati juga masih terdapat di dalam Kitab Hukum Pidana yang baru, yakni UU Nomor 1 Tahun 2023. Walaupun penerapan pidana mati ini dilakukan secara selektif, terutama dalam bobot kejahatan yang dilakukan, baik dari segi modus operandi, mens rea, maupun actus reus. Dengan demikian, perbedaan mengenai boleh-tidaknya hakim menjatuhkan pidana mati sebenarnya sudah tidak perlu dikemukakan lagi," sambungnya.
"Bahkan MK pernah menolak uji materiil yudisial terhadap keberadaan hukuman mati di Indonesia dan menyatakan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi karena UUD 1945 tidak menganut kemutlakan hak asasi manusia sebagai mana dalam putusan MK nomor 2-3/PUU/V/2027 hal serupa tentang penolakan uji materiil penghapusan pidana mati juga terdapat pada putusan MK nomor 15 tanggal 18 Juli 2012," kata hakim Singgih.
Atas dasar itulah, kata hakim Singgih, majelis PT DKI sependapat dengan majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan vonis ultra petita atau di atas tuntutan terhadap Sambo. Hakim mengatakan ultra petita dibenarkan dalam hukum pidana.
"Menimbang bahwa dari uraian di atas baik mengenai ultra petita maupun pidana mati majelis hakim tidak sebanding dengan memori banding penasihat hukum terdakwa Ferdy Sambo dan sebaiknya sependapat dengan apa yang sudah dipertimbangkan atau diputuskan dalam putusan tingkat pertama," kata hakim Singgih.
"Dengan demikian, secara mutatis mutandis ultra petita dibenarkan dalam lapangan hukum pidana," kata hakim Singgih.
Putri Candrawathi Tetap Jalani Hukuman 20 Tahun Bui
Usai Ferdy Sambo, hakim memulai sidang vonis tingkat banding Putri Candrawathi. Sama dengan keputusan sidang sebelumnya, Hakim Pengadilan Tinggi DKI menguatkan putusan PN Jaksel, yakni hukuman 20 tahun penjara.
"Menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 797/Pid.B/2022/PN JKT.SEL yang dimintakan banding tersebut," kata hakim ketua Ewit.
Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengatakan tidak ada hal meringankan karena Putri adalah pemicu pembunuhan Brigadir N Yosua Hutabarat.
Dalam banding tersebut, Putri menyatakan keberatan atas vonis majelis hakim tingkat pertama. Putri juga keberatan tidak ada hal meringankan dalam putusan tersebut.
"Menimbang bahwa keberatan penasihat hukum terdakwa terkait majelis hakim telah memutus dengan hukuman yang lebih berat dari tuntutan hukum penuntut umum, serta tidak adanya hal-hal yang meringankan dalam putusan majelis hakim, di samping itu hakim telah memperoleh alat bukti secara melawan hukum juga salah mengkualifikasi terdakwa yang akhirnya terdakwa dijatuhi hukuman yang melebih tuntutan penuntut umum," kata hakim Ewit.
Hakim ketua Ewit menyatakan penjatuhan hukuman pidana terhadap Putri adalah sesuai dengan Pasal 340 KUHP. Di mana, kata Ewit, tidak ada hal yang meringankan karena Putri adalah pemicu awal terjadinya tindak pidana pembunuhan terhadap Brigadir Yosua.
"Sedangkan dalam penjatuhan pidana yang sifatnya maksimal khususnya dakwaan primer Pasal 340 KUHP tidak terdapat hal-hal yang meringankan pada diri pembanding terdakwa, karena pada diri pembanding terdakwa yang menjadi pemicu awal terjadinya tindak pidana dalam perkara a quo," ungkap hakim Ewit.
Hakim mengatakan Putri juga tidak mencegah perbuatan suaminya, Ferdy Sambo. Hakim menyatakan Putri tidak mengingatkan Sambo untuk tidak melakukan perbuatan keji terhadap Yosua.
"Sedangkan dalam perkara a quo pembanding dalam hal ini terdakwa telah menjadi pemicu terjadinya perkara ini, pembanding Terdakwa tidak mencegah perbuatan yang akan dilakukan oleh suaminya Ferdy Sambo atau setidak-tidaknya mengingatkan untuk tidak melakukan perbuatan keji terhadap Yosua," ujar hakim Ewit.
"Bahkan pembanding terdakwa atas suruhan Ferdy Sambo, malahan membuat laporan palsu tentang pelecehan terhadap dirinya di Jaksel setelah terbunuhnya Yosua," ujarnya.
Hakim Ewit menyebut Putri telah membuka aib adanya kerusakan dalam lembaga yang merusak nama lembaga penegak hukum. Hakim menyebut harusnya hukum melindungi masyarakat, bukan malah membohongi masyarakat.
"Masyarakat umum menjadi tahu bahwa akibat perbuatan terdakwa dan terdakwa-terdakwa lainnya telah membuka aib adanya kerusakan dalam lembaga dan kesewenang wenangan pejabat yang merusak nama lembaga penegak hukum yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat," kata hakim Ewit.
"Karena sebenarnya hukum itu ada untuk menyejahterakan masyarakat bukan sebaliknya digunakan untuk mencederai membohongi masyarakat," imbuhnya.
Sambo Dinilai Tak Berupaya Klarifikasi Tudingan Pelecehan Sang Istri
Majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengatakan, berdasarkan keterangan saksi, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat masih merasa nyaman berada di lingkungan keluarga mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo setelah dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap istri atasannya, Putri Candrawathi. Hakim menilai mestinya Ferdy Sambo peka dan lebih dulu berupaya mengklarifikasi benar atau tidak tuduhan terhadap Yosua.
Hal itu disampaikan hakim ketua Singgih Budi Prakoso saat sidang putusan banding Ferdy Sambo di PT DKI, Rabu (12/4/2023). Mulanya, hakim Singgih mengatakan tidak ada usaha dari Ferdy Sambo untuk mengklarifikasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Menimbang bahwa hal juga yang menjadi perhatian majelis hakim tinggi adalah sepanjang pemeriksaan persidangan, tidak terdapat fakta-fakta adanya usaha dari Terdakwa Ferdy Sambo untuk melakukan klarifikasi terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, tentang apa yang sebenarnya terjadi. Yang terjadi adalah langsung dilakukan penembakan terhadap korban," kata hakim Singgih.
Hakim Singgih berpendapat, jika Yosua melakukan kesalahan fatal seperti yang dituduhkan, tentulah dia tak akan tenang berada di tengah keluarga Ferdy Sambo. Namun kenyataannya, hingga akhir nyawanya, Yosua tidak ada masalah di tengah keluarga Sambo.
"Selain daripada itu, korban N Yosua Hutabarat walau sudah dituduh melakukan pelecehan seksual, akan tetapi nampak masih nyaman berada di lingkungan terdakwa dan saksi-saksi," kata hakim Singgih.
"Hal ini bisa dilihat bahwa korban masih tetap berada di rumah kediaman di Magelang, pada saat setelah kejadian masih bertemu dan berbicara dengan saksi Putri Candrawathi antara 10 hingga 15 menit di kamar saksi Putri Candrawathi, sebagaimana keterangan Ricky Rizal Wibowo," jelas hakim.
Hakim Singgih mengatakan setelah peristiwa yang disebut pelecehan seksual itu, Yosua juga masih santai bercanda di kediaman Ferdy Sambo. Bahkan, kata hakim, dari keterangan beberapa saksi, Yosua sempat berteriak 'Ada apa, Pak?', seperti tidak mengetahui apa yang terjadi.
"Masih bersama-sama melakukan perjalanan dari Magelang ke Jakarta. Masih santai, bahkan bercanda di rumah kediaman Saguling di Jakarta. Bahkan, menjelang penembakan, korban seperti tidak mengetahui apa yang terjadi, utamanya ketika berteriak, 'Ada apa Pak? Ada apa Pak?'" ujar hakim Singgih.
"Tidak ada sesuatu yang kebetulan, juga tidak ada sesuatu yang sia-sia. Sekecil apa pun, apa yang terjadi itu karena Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Semua tergantung pada kita, bagaimana kita bisa menyikapi tiap-tiap kejadian atau peristiwa yang terjadi," imbuhnya.