JAKARTA (CAKAPLAH) - Potensi kenaikan harga minyak dunia akibat ketegangan di Timur Tengah kembali menjadi sorotan. Kekhawatiran tersebut muncul menyusul serangan udara Iran ke Israel sebagai balasan atas insiden di konsulat Iran di Damaskus, Suriah.
Deputi III KSP Bidang Perekonomian, Edy Priyono menjelaskan kenaikan harga minyak dan gas alam (migas) sering terjadi saat konflik di Timur Tengah meningkat. Meski demikian, dampaknya tergantung pada seberapa luas dan lama konflik berlangsung.
“Kita berharap konflik antara Iran dan Israel tidak meluas. Kuncinya ada di Israel, Iran, dan negara-negara tetangga, termasuk AS dan Inggris, untuk menahan diri,” kata Edy dalam Investor Daily Talk di IDTV, Selasa (16/3/2024).
Saat ini, harga minyak dunia mendekati US$ 90 per barel. Meskipun melebihi asumsi APBN (ICP: US$ 82 per barel), kenaikannya belum signifikan. Menurut Edy, pemerintah masih mampu menanggung subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi seperti pertalite dan biosolar.
Edy menekankan pilihan untuk menaikkan harga BBM bersubsidi adalah opsi terakhir. Kenaikan harga tersebut akan memengaruhi harga barang dan jasa secara keseluruhan. Pemerintah saat ini sedang mempersiapkan simulasi kebutuhan anggaran tambahan untuk BBM bersubsidi, jika harga minyak dunia mencapai US$ 100-110 per barel.
“Kenaikan harga BBM menjadi alternatif terakhir. Kesehatan APBN dan kemampuan fiskal pemerintah sangat penting untuk kelanjutan pembangunan kita,” ungkap Edy.
Edy menambahkan prioritas pemerintah adalah mempertahankan harga BBM bersubsidi meskipun harga minyak dunia naik.
"Kita berharap kenaikannya tidak terlalu besar, sehingga biaya untuk mempertahankan harga BBM subsidi juga tidak signifikan,” tambahnya.