PEKANBARU (CAKAPLAH) - Tidak hanya pemotongan anggaran yang terjadi di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Riau. Ternyata, perjalanan dinas fiktif juga dilakoni di instansi tersebut untuk menggerogoti uang negara.
Hal itu terungkap dari keterangan 11 saksi yang dihadirkan di persidangan dengan terdakwa Deyu, Kepala Sub Bagian Keuangan Bapenda Riau di Pengadilan Tipikor Pekanbaru, Rabu (22/2/2018). Saksi tersebut berasal dari Bagian Pajak dan sekretariat di instansi yang dulu bernama Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Riau itu.
Saksi itu adalah Said Rasliadi, Astri Widiastuti, Komariah, Novita Susilawati, Tengku Indrawati dan Sari Asnaini yang memberikan kesaksian pertama. Selanjutnya, saksi Leonita, Siska Andriani, Syarifah Nisa, Beni Karyadi dan Syamsiah.
Dalam kesaksiannya, para saksi mengungkap fakta menarik mengenai modus menggerogoti anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau yang dialokasikan di Bapenda tahun 2015 himgga 2016. Anggaran itu dimanipulasi seolah-olah terjadi perjalanan dinas sesuai Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD).
Umumnya saksi mengakui pernah melakukan perjalanan dinas. Namun, mereka membuat pertanggungjawaban tidak sesuai perjalanan yang dilakukan. "Lakukan perjalanan dinas satu hari buat pertanggungjawaban tiga hari," kata saksi Komariah.
Bahkan, ada yang tidak melakukan perjalanan dinas tapi menandatangani pencairan dana. "Dipanggil, semua dokumen sudah tersedia. Suruh tanda tangan, satu hari perjalanan," kata saksi lain.
Hal senada juga disampaikan saksi Said dan saksi Tengku Indrawati. "Ada yang saya berangkat sehari, laporannya tiga hari. Dana yang diterima untuk satu hari," ucap Said di hadapan majelis hakim yang diketuai Sulhanuddin.
Laporan perjalanan dinas ini dilakukan oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) dengan menyodorkan laporannya kepada pegawai yang berangkat dinas. Pegawai penerima uang perjalanan dinas hanya diminta menandatangani dokumen laporan saja.
Uang tidak hanya dicairkan melalui bendahara pembantu pengeluaran tapi juga PPTK. "Siapa yang pegang uang yang sudah dipotong," kata hakim Dahlia pada saksi Astri dan dia hanya diam.
Pertanyaan serupa juga disampaikan ke saksi lainnya tapi tidak ada satu pun yang mau menjawab pertanyaannya. Mereka kompak menyebutkan tidak tahu siapa yang memegang anggaran dan di mana dana yang dipotong itu disimpan.
"Tolong jujur, tak usah takut di persidangan ini. Dipegang bendahara atau PPTK,? tanya hakim Dahlia Panjaitan. Namun saksi kembali diam.
Akhirnya hakim Dahlia menjadi kesal dengan sikap para saksi. "Semua tidak tahu. Terserah kalianlah," tegas hakim Dahlia.
Pertanyaan yang sama juga disampaikan hakim anggota Hendri. Dia mempertanyakan dari mana para saksi mengetahui adanya pemotongan anggaran 10 persen. "Saksi Astri. Dari mana saudara tahu tentang pemotongan itu," tanya Hendri. Kembali saksi diam.
Sedikit kesal, hakim Hendri mempertanyakan apakah pertanyaan dan bahasa yang disampaikan tidak dimengerti oleh para saksi tapi saksi tetap mengatakan tidak tahu. "Ibu sakit? Cara menghela napas itu itu seperti saki," sindirnya.
Sementara saksi Said mengaku mengetahui adanya pemotongan dari Kepala Bagian Pajak. Namun, dia tidak mempertanyakan, kenapa haknya tersebut dipotong. "Kalau masing-masing diam, berarti sudah lazim (dilakukan)," kata hakim Hendri.
Mendengar para saksi tidak mau menjawab, hakim ketua Sulhanuddin jadi enggan memberikan pertanyaan. "Saya tak mau tanya lagi. Sepertinya saksi ada yang nyangkut di lehernya hingga tak bisa menjawab," sindir Sulhanuddin.
Atas keterangan saksi itu, terdakwa Deyu tidak mau mengomentarinya. "Saya tidak membantah keterangan para saksi karena tidak ada hubungannya dengan saya," kata Deyu.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), pada Februari 2015, terdakwa Deliana (berkas terpisah) memanggil terdakwa Deyu untuk datang ke ruangannya. Di ruang itu juga hadir Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Pembantu di masing-masing bidang.
Di antaranya, Deci selaku Bendahara Pengeluaran Bidang Pajak, Deli selaku Bendahara Pembantu Bidang Pengelolaan Data, Anggraini selaku Bendahara Pembantu Bidang Retribusi, dan Tumino selaku Bendahara Kesekretariatan.
Terdakwa Deliana memberitahukan kalau dana UPT segera cair. Namun dari dana itu akan ada pemotongan sebesar 10 persen dari Uang Persediaan (UP) dan Ganti Uang (GU) di masing-masing bidang.
Pencairan dilakukan pada Maret hingga Desember 2015 melalui juru bayar, Akmal. Untuk melaksanakan instruksi Deliana, terdakwa Deyu meminta Akmal memotong 10 persen kepada bendahara.
Setelah terkumpul, dana itu disimpan ke dalam brankas yang diketahui oleh terdakwa Deliana dengan tulisan uang pemotongan UP dan GU. Uang itu dikeluarkan atas persetujuan terdakwa untuk membayar operasional seperti bahan bakar minyak, tivi kabel, honor, tiket pesawat, makan bersama dan lain-lain.
Pemotongan serupa juga dilakukan pada tahun 2016.
Pemotongan ini berdampak pada masing-masing bagian di Bapenda Riau. Perjalanan dinas tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Akibat perbuatan itu negara dirugikan Rp1,23 miliar. Uang itu tidak bisa dipertanggungjawabkan terdakwa dan membuat SPPD tidak sesuai prosedur.
Dalam pengembangan perkara ini, penyidik Pidsus Kejati Riau kembali menetapkan tiga tersangka baru berinisial DA, SA dan AA. Mereka merupakan bendahara pembantu pengeluaran di bidang retribusi dan pajak. Saat ini mereka ditahan di Lapas Perempuan dan Anak
Penulis | : | Ck2 |
Editor | : | Jeff Syahrul |
Kategori | : | Hukum |