(CAKAPLAH) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) Indonesia melalui Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak dalam konferensi pers, di Jakarta pada 3 Januari 2023, mengatakan sepanjang tahun 2022, ada 28 kasus penculikan anak. Kasus tersebut mengalami kenaikan sebanyak 15 kasus pada tahun 2021.
Kenaikan tersebut bisa dirasa wajar dan tidak wajar. Kewajaran terjadi apabila dilihat dari beberapa aspek yang menjadikan kasus meningkat, diantaranya peran masyarakat (social awarenes) dan pemerintah tidak menjadi meningkat atau reaksi yang muncul hanya pada kasus, setelah selesai, reaksi hilang.
Tidak wajar, apabila upaya preventif internal dan eksternal sudah dilakukan namun masih muncul kasus. Sebelum membahas mengapa terjadi penculikan anak, perlu juga diperhatikan munculnya berita.
Informasi Zaman Now
Perkembangan informasi dipengaruhi oleh alat penyampaian informasi. Dulu sebelum marak internet, informasi dinominasi dari media cetak seperti koran dan majalah serta media audio visual seperti televisi. Isi dari kedua media tersebut berbeda.
Zaman dulu terbatas pada informasi pemerintahan dan informasi kejadian-kejadian lokal, nasional atau internasional yang keseluruhan informasi tidak berhubungan langsung untuk kepentingan personal, rata-rata informasi yang disampaikan akurat (tidak hoax).
Namun sejalan perkembangan peradaban, perkembangan teknologi menjadi pesat, global dan gradual, informasi yang disampaikanpun beragam yang tidak hanya berita berupa tulisan tapi dalam bentuk video, audio, grafik dan lain-lainnya dan juga memberikan informasi yang lebih mudah dimengerti oleh banyak orang dan informasi tersebut tidak hanya milik pemerintah tapi sudah milik pribadi dan informasi tersebut terjadi sangat cepat bisa akurat bisa juga tidak, serta ada kepentingan pribadi.
Informasi zaman now, sepertinya sudah bergeser pada tujuan ekonomi dan bisnis yang juga mengarah pada tujuan penipuan.
Sebuah smartphone mampu menghadirkan dunia ke genggaman tangan bahkan kita bisa membawa dan membuat informasi apapun yang disukai. Hal ini, tentu bukan untuk diperdebatkan. Sebab faktanya, perangkat smartphone telah berevolusi menjadi lebih dari sekadar alat komunikasi biasa, melainkan sebuah perangkat multifungsi penunjang kebutuhan harian, baik itu secara professional atau hiburan.
Pergeseran makna informasi zaman now menjadikan media informasi tidak terbatas baik pada hal yang baik dan bermanfaat tapi juga bergerak pada informasi yang tidak penting, negatif, dan merusak.
Perkembangan teknologi komunikasi ini membawa masyarakat pada sistem jaringan yang cukup kuat dan cepat. Fenomena ini memperkuat argumentasi ada fenomena masyarakat jaringan (network society) yang juga tergambar di lingkungan masyarakat hari ini.
Kehadiran network memungkinkan arus komunikasi berjalan kearah mana saja dan pada level struktur dimanapun tanpa perlu mediator dan tutor (pengajar). Namun tipe informasi berupa netowork society khususnya pada media sosial yang cukup massif, berdampak tumbuhnya persoalan-persoalan sosial yang baru.
Persoalan tersebut telah menghantarkan pada wajah-wajah baru masyarakat yang kurang masyarakat, berbangsa maupun masyarakat beragama. Gaya bernegara, bermasyarakat dan beragama memiliki corak yang lebih kekinian. Atas hal ini pula beragam persoalan politik, persoalan budaya maupun persoalan keagamaan mewarnai ruang-ruang media sosial.
Keadaan ini berpotensi terjadinya krisis sosial keagamaan, berupa kekacauan tatanan sosial sebagai insan yang berbudaya luhur. Hal lain adalah media zaman now mampu menjangkau massa dalam jumlah besar dan luas yang bersifat publik dan dapat memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa.
Itulah mengapa para selebriti atau siapa saja di negeri ini bisa populer karena kemunculannya dimedia massa, asal dia mampu menarik perhatian para warganet juga dianggap baru, nyeleneh, bahkan salah. Contohnya instagramer dan youTuber yang mampu menarik pengguna lainnya melalui foto dan video berdurasi pendek dan panjang.
Masih banyak lagi media massa lain yang digunakan untuk menampilkan diri dan menjadi populer di kalangan pengguna media sosial. Segala sesuatu yang dianggap populer oleh sebagian besar pengguna media massa otomatis akan diikuti dan menjadi trend di kalangan pergaulannya. Inilah bukti bahwa media massa sangatlah mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Disosiatif Kognitif
Fenomena informasi penculikan anak akhir-akhir ini viral terjadi ada yang benar-benar penculikan, ada yang rekayasa, informasi yang salah dipahami dan ada yang hoax. Informasi yang benar terjadi seperti yang terjadi pada Malika (6 tahun) yang akhirnya ditemukan setelah sebulan diculik.
Informasi yang salah paham seperti yang diunggah sebuah akun di Facebook pada 27 Januari 2023 mengunggah beberapa foto yang diklaim sebagai aksi penculikan anak. Dalam foto-foto tersebut diperlihatkan beberapa orang dewasa berdiri mengamati beberapa orang anak yang tergeletak di tanah dengan tangan terikat dan mulutnya ditutupi perekat berwarna putih.
Berdasarkan penelusuran, ternyata itu adalah bagian dari pembuatan video cerita fiksi, bukan peristiwa penculikan yang sebenarnya. Informasi yang rekayasa seperti yang terjadi di Lubuk Begalung padang, pengakuan seorang anak SD yang diculik ternyata anak itu mengaku hanya mengarang cerita bahwa ia diculik karena takut masuk sekokah lantaran sudah terlambat. Makanya dia mengarang cerita bahwa ia telah diculik.
Informasi hoax seperti rekaman suara (voice note) dan video yang diklaim sebagai kasus penculikan anak di Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur dinyatakan sebagai hoax. Rekaman suara berdurasi 63 detik itu, seorang pria yang tidak diketahui identitasnya menyebutkan bahwa ada penculikan anak di bawah umur di depan Toko AA, Kelurahan Kemayoran, Kecamatan/Kabupaten Bangkalan.
Beberapa informasi diterima seseorang atau masyarakat melalui teknologi yang berkembang telah mengubah cara berpikir dan bekerja. Dalam stimulus (informasi) - R (perilaku balas penerima stimulus) ada istilah jarum hipodermis (hypodermic needle theory) atau teori peluru ajaib (magic bullet theory).
Teori ini meyakini bahwa kegiatan mengirimkan pesan sama halnya dengan tindakan menyuntikan obat yang bisa langsung masuk ke dalam jiwa penerima pesan. Seperti peluru yang ditembakkan dan langsung masuk ke dalam tubuh.
Media massa sebagai stimulus/pemberi informasi amat perkasa dalam memengaruhi penerima pesan/pengguna media massa. Maka tidak heran akan mudah terjadi individualisme yang semakin menguat sehingga tingkat kepedulian antara sesama menjadi berkurang. Perubahan tersebut lebih banyak terlihat di daerah perkotaan dengan karakteristik masayarakat yang lebih heterogen dan mobilitas yang tinggi.
Perubahan cara berpikir yang dimaksud adalah dulu HP hanya bisa untuk telepon dan kirim pesan, sekarang sudah bisa membuat apa saja, menjadikan seseorang berpikir untuk bagaimana memanfaatkan teknologi smartphone menjadi sebuah alat dengan tujuan lain yang bisa menguntungkan secara pribadi.
Perubahan cara berpikir karena pengaruh penggunaan media sosial dan informasi dari media sosial khususnya maka terjadi disosiasi kognitif. Disosiasi kognitif bisa muncul dalam berbagai bentuk. Disosiasi sebagai kondisi dimana pikiran kita terpisah dari aksi yang kita lakukan sehingga menurunkan kesadaran diri terhadap lingkungan sekitar.
Contoh disosiasi adalah ketika kita sedang membaca sebuah berita criminal, namun pikiran kita ke anak yang sedang bermain yang tidak berhubungan dengan berita. Pada pembuat konten juga demikian antara tatanan sosial berupa nilai kehidupan seolah sudah terpisah dari keinginan menggunakan alat. Pembuat informasi dan penerima informasi sama-sama berada dalam disosiasi kognitif.
Semakin banyak menggunakan media social maka semakin tinggi tingkat keterpisahan pikiran seseorang. Dilain pihak, informasi yang diterima baik oleh pembuat atau penerima informasi apabila semakin banyak dan beragam, maka disosiatif kognitif akan bertambah kacau karena juga akan terjadi heuristic.
Heuristic ini terjadi karena seseorang sudah kelebihan informasi, akhirnya terjadi kelelahan dalam berpikir yang mengakibatkan tindakan yang dilakukan tanpa melalui proses berpikir yang baik dan benar.
Sepertinya fenomena disosiatif kognitif ini sering kita jumpai apabila kita berada di kafe misalnya, dimana orang-orang yang duduk satu meja, menjadi pribadi yang berbeda, masing-masing orang meletakkan dirinya ditempat lain padahal dia sendiri berada di kafe tersebut bersama teman-temannya.
Informasi penculikan anak akhir-akhir ini banyak yang hoax, hal ini terjadi karena individu-individu tidak lagi dapat menjadi pribadi yang bijak karena perkembangan teknologi memang tidak langsung menjadikan kita untuk bijak. Artinya seseorang belum siap secara kognitif dan emosi dalam penggunaan teknologi yang pada akhirnya perilakunya menjadi salah.
Penulis | : | Dr. Harmaini, S.Psi., M,Si, Dosen Fak. Psikologi UIN SUSKA Riau dan Aktivis Muhammadiyah Riau |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat |