Muji Basuki
|
Ada 250 kerajaan yang ada di Indonesia (baca : Nusantara) sebelum kemerdekaan Indonesia. Demikian data yang disampaikan oleh Ketua Harian Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MAKN) Kanjeng Pangeran Haryo Eddy S Wirabhumi. Tanpa mengurangi penghargaan atas segala kontribusi kerajaan-kerajaan itu terhadap rakyat Nusantara khususnya di wilayah kekuasaannya masing-masing, banyaknya jumlah kerajaan di Nusantara saat itu justru menjadi titik lemah Nusantara dalam menghadapi kolonialisme bangsa Eropa saat itu. Sejak awal abad 16 Portugis sudah masuk ke Indonesia, sebagai lanjutan dari ekspansi wilayah pasca revolusi maritim yang dirintis oleh bangsa Eropa semenjak ditemukannya benua Amerika oleh Christopher Columbus pada tahun 1492 dan juga ditemukannya jalur laut ke Asia Tengah oleh Vasco da Gama. pada tahun 1498. Selanjutnya negara-negara kolonial bergantian menjajah Nusantara, khususnya Belanda yang menjajah Indonesia selama 350 tahun dan Jepang selama 4 tahun di periode PD II.
Si Kecil Menjajah Si Besar
Dari segi ukuran, baik wilayah maupun penduduk, Nusantara jauh lebih besar dari negara penjajahnya. Memang tidak ada referensi ilmiah yang kuat untuk menggambarkan perbandingan ini, akan tetapi menurut Jousairi Hasbullah dalam artikelnya tanggal 3 September 2018 di salah satu media nasional, Armada VOC datang ke Nusantara hanya membawa ratusan orang, dipimpin oleh Cornelis de Houtman tahun 1596. Mereka dengan mudah mendarat dan disambut dengan damai. Pada tahun 1622 VOC memiliki 143 anggota pasukan keamanan. Dari jumlah itu, hanya 57 orang Belanda, sisanya adalah tenaga bayaran dari sejumlah negara di Eropa.
Bandingkan dengan Penduduk Jawa yang pada Tahun 1674 telah mencapai 3 juta orang. Batavia waktu itu telah dihuni oleh 27.068 penduduk; dan jumlah penduduk Eropa—yang terdiri atas beragam asal-usul karena pegawai VOC direkrut dari sejumlah negara—sebanyak 2.024 orang saja, atau tidak sampai 10 persen dari total penduduk Batavia, bahkan tidak sampai 1 persen dibandingkan penduduk Jawa yang dikemudian hari menjadi wilayah jajahan VOC, bahkan sampai meluas sampai ke seluruh wilayah Nusantara.
Penjajahan VOC atas Nusantara kemudian dilanjutkan oleh Pemerintah Belanda. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk Tahun 1930 yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda, setelah lebih dari 300 tahun bercokol di Indonesia (Nederlandsch-Indie), pada tahun 1930 jumlah penduduk Indonesia berkembang pesat mencapai 60,7 juta jiwa, dengan komposisi 59,1 juta penduduk pribumi (inlanders), 240.417 orang Belanda dan turunan Eropa lainnya, keturunan China berjumlah 1,2 juta jiwa (lima kali lipat jumlah orang Belanda), dan sisanya penduduk keturunan Arab dan lainnya.
Dari sekitar 240.000-an penduduk Belanda di Indonesia, 193.000 orang tinggal di Pulau Jawa. Sedikit sekali yang menyebar di luar Jawa. Di seluruh Sumatera yang berpenduduk 8,2 juta jiwa, hanya 28.496 orang Belanda. Di Kalimantan dan Sulawesi yang jumlah penduduknya telah mencapai 6,4 juta jiwa, hanya 14.000 orang Belanda.
Lalu, kenapa orang-orang Belanda yang demikian kecil jumlahnya bisa menguasai Nusantara dalam kurun waktu yang panjang? Dalam buku Devide Et Impera: Mengenal Taktik Dan Strategi Orang Belanda yang ditulis oleh Dharma Kelana menyebutkan bahwa Belanda/VOC menggunakan strategi Devide Et Impera atau kebijakan belah bambu untuk melemahkan kekuatan rakyat Nusantara. Divide et impera merupakan kombinasi strategi dalam hal politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan, dan mengadu domba antara satu kelompok dengan kelompok lain di Nusantara. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
Kompleksitas (menjadi) Indonesia
Indonesia adalah bangsa dengan tingkat keberagaman dan kemajemukan yang sangat tinggi, bahkan tertinggi di dunia. Baik keberagaman dari sisi bahasa, budaya, suku dan agama, bahkan geografis. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seperti yang digunakan BPS pada saat pelaksanaan Sensus Penduduk (SP) pada tahun 2010, ada 1.158 bahasa daerah di Indonesia. Juga masih mengacu kepada SP 2010 yang, tidak kurang ada 1.340 jumlah suku di Indonesia. Dan yang lebih unik, jumlah suku yang begitu banyak tersebut, tersebar di ribuan pulau yang ada di Indonesia. Menurut BPS, tidak kurang dari 17.504 pulau yang ada di Indonesia, tersebar dari Merauke di timur sampai dengan Sabang di ujung barat.
Keberagaman bahasa dan suku di Indonesia, ditambah dengan sebaran geografis kepulauan yang begitu luas, menjadi variabel utama munculnya beragam kultur dan budaya yang ada di Indonesia. Selanjutnya, Indonesia pun dikenal sebagai negara dengan keberagaman kuliner yang cukup tinggi. Belum lagi keberagaman dari sisi bahasa dan suku ini, ditambah dengan keberagaman dari sisi agama, dimana saat ini secara resmi ada 6 agama yang ada di Indonesia.
Keberagaman itulah yang di era Nusantara melahirkan begitu banyak kerajaan dan kesultanan, disamping karena saat itu secara global di berbagai tempat umumnya menerapkan sistem kerajaan sebagai sistem pemerintahan, juga disebabkan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat Nusantara masih sangat rendah, sehingga sistem kerjaan yang feodalistik menjadi berkembang saat itu. Masing-masing kerajaan dan kesultanan memiliki karakteristik suku, budaya, agama dan batas-batas wilayah kekuasaannya masing-masing. Demikian banyaknya kerajaan dan kesultanan yang ada, seringkali diantara kerajaan ini terjadi konflik yang saling menjatuhkan dan meniadakan satu sama lain.
Primordialisme berbasis kerajaan, suku dan agama inilah yang ditangkap oleh Belanda sebagai peluang. Dengan size yang kecil, Belanda dengan penuh percaya diri datang ke Nusantara dengan memanfaatkan kelemahan Nusantara yang satu ini. Strategi politik pecah belah begitu efektif melanggengkan kekuasaan Belanda atas Nusantara. Banyak peristiwa dalam periode penjajahan Belanda atas Nusantara yang menunjukkan keberhasilan strategi politik pecah belah ini. Sebagai contoh, pada periode 1651 sampai 1680 di era Sultan Ageng Tirtayasa memimpin Kesultanan Banten, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan dengan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka. Ketika terjadi sengketa antara dua putra Sultan Ageng, yakni Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda bersekutu dengan Sultan Haji. Dengan taktik politik adu domba, Belanda mengadu domba Sultan Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa yang anti kompeni. Taktik itu berhasil membuat kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa lumpuh. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga wafat pada tahun 1692. Sejak itu Kesultanan Banten mulai mengalami kemunduran karena terpengaruh oleh kompeni Belanda.
Di belahan timur Nusantara, Sultan Hasanudin merupakan Sultan Kerajaan Makassar yang memerintah pada 1653 sampai 1669. Ia dikenal sebagai sosok yang gagah, berani, dan pandai berdagang. Kerajaan Makassar yang merupakan gabungan Kerajaan Gowa dan Tallo mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin. Ia berhasil menguasai Wajo, Soppeng, Ruwu, dan Bone. Semasa kepemimpinannya, ia menolak kehadiran serta permintaan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan. Menganggap Kerajaan Makassar sebagai ancaman dan pesaing dalam pelayaran dan perdagangan di wilayah timur, VOC kemudian membangun siasat politik adu domba. VOC berpura-pura membangun hubungan baik dan saling menguntungkan dengan Kerajaan Makassar. Setelah disambut baik, VOC langsung memberikan tuntutan, namun langsung ditentang oleh Sultan Hasannudin. Politik adu domba yang dilancarkan Belanda juga berdampak pada terjadinya pertempuran Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka yang bersekutu dengan VOC, pada 1666 sampai 1667. Hal itu yang kemudian membuat Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya yang memaksa Sultan Hasanuddin tunduk.
Ambisi VOC Belanda untuk mencengkram Nusantara dengan strategi politik pecah belah juga terbukti berhasil melemahkan kekuatan rakyat Nusantara baik di Perang Diponegoro di Jawa Tengah, Perang Padri di Sumatera Barat, termasuk dalam Perang Atjeh.
Gerakan Perlawanan Nasional Berbasis Kekuatan Gagasan
Pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Belanda bernama Johannes Van Den Bosch mengeluarkan kebijakan Politik Etis atau politik balas budi. Kritik terhadap perlakuan pemerintah kolonial Belanda yang membuat nasib rakyat di wilayah jajahannya menderita menjadi salah satu alasan munculnya kebijakan ini. Pada awalnya Politik Etis lebih difokuskan pada pembangunan infrastruktur di Nusantara, khususnya jaringan transportasi dan irigasi, akan tetapi jelang akhir abad 19 Politik Etis juga masuk ke dunia pendidikan. Tanpa disadari Belanda, Politik Etis khususnya di bidang pendidikan telah menciptakan kelompok masyarakat terpelajar. Kelompok terpelajar ini selanjutnya bersentuhan dengan gerakan kebangkitan dunia timur di luar Nusantara yang saat itu punya nasib yang sama sebagai bangsa terjajah.
Dinamika pemikiran yang dialami oleh kelompok terpelajar ini membangun kesadaran baru di Nusantara, bahwa salah satu penyebab tidak efektifnya rakyat Nusantara lepas dari cengkraman penjajah Belanda adalah karena perlawanan saat itu masih bersifat primordial kesukuan dan kerajaan, serta bersifat sporadis. Mulailah para pemuda terpelajar saat itu berdialektika untuk mencari formulasi baru dalam gerakan perlawanan menghadapi penjajah Belanda. Di akhir abad 19 sampai awal abad 20 gerakan pemikiran nasional di prakarsai oleh para pemuda terpelajar dari berbagai latar belakang. Saat itu ada nama-nama seperti Boedi Oetomo, Ki Hajar Dewantara, HOS Tjokroaminoto, Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Dr. Soetomo, Ahmad Dahlan, Samanhudi, Wahid Hasyim, dan tokoh pergerakan nasional lainnya.
Tokoh-tokoh pergerakan nasional melalui proses dialektika yang panjang, berdialektika untuk melahirkan gagasan-gagasan besar, yang ditujukan dalam rangka mencari identitas dan konsensus bersama melewati batas-batas primordial suku, bahasa dan agama. Para tokoh pergerakan nasional menyadari bahwa selama ratusan tahun, keberagaman identitas yang begitu majemuk di Nusantara bukan dikelola untuk menjadi kekuatan, tapi justru menjadi titik lemah yang menjadi pintu masuk penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya.
Para tokoh pergerakan nasional percaya akan kekuatan ide dan gagasan sebagai basis perjuangan nasional. Para tokoh nasional berkeyakinan bahwa rakyat Nusantara memerlukan sebuah gagasan besar yang bisa menyatukan mereka melawan penjajahan. Proses dialektika pemikiran ini selama kurun waktu puluhan tahun disosialisasikan ke masyarakat melalui berbagai sarana dan media yang ada pada saat itu.
Sumpah Pemuda, Gagasan Kebangsaan Atas Kompleksitas (menjadi) Indonesia
Perlahan rakyat Nusantara mulai menyadari pentingnya keberadaan gagasan besar yang akan menyatukan mereka di masa depan. Mulailah berdiri berbagai organisasi pergerakan yang mewadahi perjuangan pemikiran para tokoh nasional ini. Pola perlawanan terhadap penjajah juga mulai beralih dari gerakan sporadis berbasis kekuatan fisik kepada gerakan terorganisasi berbasis ide dan gagasan. Lahirlah organisasi-organisasi pergerakan nasional, baik yang berbasis sosialisme, agama, suku, profesi, maupun nasionalisme.
Proses dialektika di era pergerakan nasional ini terus berlangsung untuk mencari isu bersama yang dapat menyatukan keberagaman bangsa ini. Proses ini berlangsung lama, sampai akhirnya para tokoh pergerakan nasional bersepakat untuk bertemu dalam Kongres Pemuda yang diadakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia/Jakarta.
Dalam kongres ini para pemuda membangun konsensus bersama, dimana mereka menegaskan cita-cita akan "tanah air Indonesia", "bangsa Indonesia", dan "bahasa Indonesia". Keputusan ini diharapkan menjadi asas bagi setiap perkumpulan kebangsaan Indonesia dan agar disiarkan dalam berbagai surat kabar dan dibacakan di muka rapat perkumpulan-perkumpulan. Mereka pun saat itu mendeklarasikan sebuah narasi baru, yaitu:Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah air Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
INDONESIA, itulah gagasan dan narasi baru yang disepakati saat itu. Kata Indonesia pun terus-menerus disosialisasikan ke berbagai kalangan masyarakat, melalui berbagai sarana dan media yang bisa digunakan saat itu, sampai akhirnya gagasan Indonesia itu menjadi semacam embrio lahirnya ide kebangsaan baru, bahkan keberagaman yang selama ini menyekat-nyekat mereka bisa disatukan dengan narasi ini, sehingga keberagaman yang ada justru menjadi modal kekuatan bersama untuk maju. Akhirnya, setelah puluhan tahun ide kebangsaan baru ini dikristalisasi dalam kehidupan bersama, ide yang awalnya hanya berupa gagasan bersama ini pun di deklarasikan menjadi sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.
17 Agustus 1945, Soekarno-Hatta mewakili bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini, bangsa yang melewati perjalanan amat panjang untuk menemukan jati diri kebersamaan di tengah keberagamannya.
Semoga setelah 78 tahun merdeka, nilai-nilai universal kebersamaan yang menyatukan bangsa yang majemuk dan beragam ini bisa terus diperkuat dan ditingkatkan, karena hanya dengan itu Indonesia bisa mewujudkan cita-cita Indonesia Emas 2045. Semoga!
Penulis | : | Muji Basuki (ASN di BPS Kota Pekanbaru) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |