Pengendalian harga minyak goreng berdampak pada turunnya harga TBS petani.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Anggota DPRD Riau, Kelmi Amri angkat bicara terkait kondisi dimana sejak Sabtu (28/1/2022), dalam sehari, harga TBS anjlok hingga 25%, akibat Pemberlakuan Domestik Market Obligation (DMO) dan Domestik Price Obligation (DPO).
Disebabkan kebijakan pemerintah untuk menstabilkan harga minyak goreng, persoalan ini menjadi persoalan serius bagi petani sawit di Riau. Pasalnya selain anjloknya harga sawit dengan cepat, tidak dibarengi juga dengan turunnya ongkos produksi, yakni pupuk, sebagaimana kebutuhan para petani.
"Kebijakan ini memang seperti pisau bermata dua, satu sisi pemerintah ingin mengendalikan harga minyak goreng yang akhir-akhir ini meroket akibat harga CPO di pasar dunia melambung, hingga ekspor CPO begitu besar dan pasokan dalam negeri pun mengikuti harga dunia, dan berimplikasi langsung terhadap harga produk hilir CPO itu sendiri seperti halnya minyak goreng dan lain sebagainya," kata Kelmi, Sabtu (29/1/2022).
Kemudian, sambung Kelmi, pemerintah menerapkan kebijakan DMO dan DPO dengan harapan pasokan dalam negeri tercukupi dan harga disesuaikan dan dikendalikan. Namun implikasinya langsung dalam satu hari harga Tandan Buah Segar rakyat turun hingga 25%.
"Implikasi terhadap TBS rakyat ini mestinya diperhitungkan pemerintah, tak cukup hanya dengan niat mengendalikan harga produk hilir CPO saja. Jauh dari pada itu, pemerintah juga kita harapkan melihat persoalan ini lebih luas lagi, dimana implikasi ini mengakibatkan penurunan harga TBS dan apakah dengan turunnya harga TBS, pemerintah juga mampu kendalikan harga pupuk yang dalam 1 tahun terakhir alami kenaikan hingga 100%, agar balance antara penurunan harga TBS dengan harga pupuk akibat pemberlakuan DMO dan DPO," cakapnya.
Jika tidak mampu kendalikan harga pupuk, sambung Kelmi, tentu akan menimbulkan persoalan baru bagi petani, dimana ongkos produksi naik hingga 100% tapi harga produksi turun hingga 30%.
"Ini yang saya maksud pisau bermata dua sisi, pertama niatnya baik ingin stabilkan harga produk hilir dengan pembatasan ekspor dan kendalikan harga, tapi sisi lain, ada petani dan pengusaha yang korban," tukasnya.
Sebelumnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebut kebijakan kewajiban memasok ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) minyak sawit mentah (CPO), olein, dan minyak goreng, akan menekan harga tandan buah segar sawit di tingkat petani.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Medali Emas Manurung mengatakan dengan kebijakan tersebut maka pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian Tandan Buah Segar (TBS) ke petani.
"(Kebijakan) ini hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja, tapi sisi lain kami sebagai petani kelapa sawit dikorbankan," katanya.
Menurut dia, melambungnya harga CPO juga mengatrol harga TBS, namun kenaikan harga TBS ini tidak serta merta menaikkan keuntungan petani secara signifikan karena di saat yang sama harga pupuk mengalami lonjakan. Sejak Januari 2021 hingga Januari 2022 harga pupuk melonjak sekitar 185 persen.
Oleh karena itu, Apkasindo meminta pemerintah membuat kebijakan yang menyatakan bahwa pembelian TBS harus mengacu kepada harga internasional (cif Rotterdam). Hal itu perlu dilakukan untuk melindungi petani.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Ekonomi, Pemerintahan, Riau |