Dalam mengelola WK migas terbesar di Provinsi Riau tersebut, perusahaan pelat merah ini pun memperoleh porsi bagi hasil lebih besar dari pemerintah dalam kontrak baru dengan skema Gross Split. Sebelumnya kontrak pengelolaan WK Migas dilakukan dengan skema Cost Recovery. Skema Gross Split adalah skema dimana perhitungan bagi hasil pengelolaan wilayah kerja migas antara Pemerintah dan Kontraktor Migas di perhitungkan dimuka.
Melalui skema Gross Split, Negara akan mendapatkan bagi hasil migas dan pajak dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sehingga penerimaan negara menjadi lebih pasti. Dengan skema gross split, biaya operasi sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor. Tidak seperti kontrak bagi hasil skema cost recovery, dimana biaya operasi (cost) pada akhirnya menjadi tanggungan Pemerintah.
Pertamina akan menggunakan skema gross split, dengan meminta diskresi tambahan split sebesar 8%, dan rerata produksi 210 ribu barel per hari (bph). Cadangan terbukti Blok Rokan diperkirakan berkisar 500 juta - 1,5 miliar barel. Nantinya ada perbedaan pembagian porsi bagi hasil lapangan eksisting di WK Rokan, yakni antara Lapangan Duri dan Lapangan non-Duri.
Untuk Lapangan Duri, porsi bagi hasil dari minyak bumi bagian Pertamina ditetapkan sebesar 65 persen dan sisanya 35 persen adalah bagian pemerintah. Sedangkan bagi hasil dari gas bumi, Pertamina mendapatkan bagian sebesar 70 persen dan pemerintah sebesar 30 persen. Adapun untuk lapangan non-Duri, Pertamina memperoleh bagian 61 persen dari bagi hasil minyak bumi, sementara bagian pemerintah sebesar 39 persen. Untuk bagi hasil dari gas bumi, bagian Pertamina sebesar 66 persen dan pemerintah sebesar 34 persen.
Sukses dengan Riau Bersatu: Riau Inkorporasi dan Riauisasi
Menyikapi riuh perbincangan WK Migas Rokan tersebut, FKPMR (Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau) setelah Mubes II pada 19 Agustus 2019 dan menyelesaikan penyusunan pengurus masa khidmat 2019 – 2024, langsung tancap gas, intensif membahas dan mengkaji secara komprehensif Alih Kelola WK Migas Rokan.
Akhirnya pada 18 Desember 2019 FKPMR menyampaikan Pokok-pokok Pikiran dan Rekomendasi tentang Pengelolaan WK Migas Rokan kepada Gubernur Riau, setelah itu juga disampaikankan kepada DPRD Provinsi Riau serta ke Pemerintah Pusat, bahkan pada 15 Juli 2020 dilakukan Webinar Nasional yang diselenggarakan di Gedung DPRD Provinsi Riau secara offline dan juga secara online.
Dalam Pokok-pokok Pikiran dan Rekomendasi tersebut, FKPMR menyoroti 6 hal strategis sekaligus Hak Privilege yang harus secara sungguh-sungguh diperjuangkan oleh Riau, yakni pertama tentang Participating Interest (PI) 10%, agar Gubernur Riau segera mempersiapkan BUMD Provinsi Riau sebagai penerima dan pengelola PI 10%. Kedua tentang peluang Kerjasama Business to Business (B to B), Riau patut memperjuangkan BUMD di Riau untuk diberikan kesempatan bermitra sebagai operator WK Migas Rokan.
Ketiga tentang Potensi / Peluang Usaha bagi Pelaku Usaha Daerah. Kegiatan pengadaan barang/jasa dalam operasional WK Migas Rokan, patut dan layaknya menjadi potensi dan peluang usaha bagi pelaku usaha daerah dan masyarakat Riau sekaligus sebagai sarana penumbuhkembangan UMKM dan Entrepreneur Riau yang profesional dan berdayasaing. Keempat, tentang Kesempatan / Lapangan Kerja untuk Putra Daerah Riau. Putra Melayu Riau patut dan layak diberikan kesempatan yang seluas-luasnya dan diprioritaskan direkrut menjadi tenaga kerja pada operasional WK Migas Rokan.
Kelima, tentang Alih Kelola Aset. Fasilitas pendukung operasional WK Migas Rokan yang pernah dipergunakan oleh PT Chevron Pasific Indonesia yang tidak berkaitan langsung dengan operasional (core business) WK Migas Rokan, diberikan dan dioptimalkan pengelolaannya oleh Pemerintah Provinsi Riau.
Keenam, tentang pemanfaatan Dana Community Development dan Dana Corporate Social Responsibility (CD dan CSR) sebesar 85% diperuntukkan dan didistribusikan untuk pengembangan masyarakat Riau. Selain itu, FKPMR juga memperjuangkan agar didirikan Museum Migas Nasional dengan desain modern dan aristektur futuristik serta teknologi terkini, sekaligus difungsikan sebagai Pusat Pendidikan dan Pelatihan Migas Nasional.
Sebelumnya pada dua dekade yang lalu, FKPMR telah berhasil memperjuangkan dana bagi hasil (DBH) migas dan mendapatkan kesempatan mengelola WK Migas CPP (Coastal Plains and Pekanbaru) pada masa-masa perjuangan reformasi tahun 1997-1998) dan era awal pemerintahan reformasi (2000-2002). Patut untuk diingat, keberhasilan Riau memperjuangkan DBH migas dan mendapatkan kesempatan mengelola WK Migas CPP merupakan buah hasil perjuangan panjang FKPMR yang disuarakan sejak reformasi di tahun 1997 bergulir dan akhirnya pada 6 Agustus 2002 Pemerintah menetapkan Pertamina dan PT. Bumi Siak Pusako sebagai pengelola bersama WK Migas CPP. Patut pula disyukuri, pemerintah pada 7 November 2018 mempercayakan PT. BSP sebagai pengelola 100% WK Migas CPP yang akan dimulai 9 Agustus 2022.
Adapun kunci keberhasilan FKPMR memperjuangkan DBH Migas dan WK Migas CPP pada saat itu adalah Spirit Riau Inkorporasi “bersatunya semua komponen masyarakat Riau, bergerak langkah yang sama, tanpa pamrih dan tanpa membawa kepentingan pribadi atau untuk kepentingan kelompok tertentu”, disamping itu Gubernur Riau (Brigjen H. Saleh Djasit) mendukung penuh perjuangan masyarakat. Bukankah sejarah telah mengajarkan kepada kita, bahwa dengan kebersamaan dan bersatu (persatuan dan kesatuan) kemerdekaan Republik Indonesia akhirnya kita wujudkan. Demikian juga jika kita membaca sejarah perjuangan kemerdekaan maupun keberhasilan-keberhasilan yang terjadi di negara-negara lain.
Konsepsi tentang Riau Inkorporasi sejatinya adalah ruh kebersamaan semua unsur (stakeholder dan shareholder) Rakyat Riau melalui sinergi kekuatan dalam mengikhtiarkan tujuan yang hendak dicapai. Masing-masing unsur (komponen) rakyat, bersinergi dan saling mengisi (kuat menguatkan), memainkan peran sesuai dengan posisi dan fungsi namun tetap dalam jalur menuju satu tujuan dan sasaran bersama. Tidak seperti perlombaan panjat pinang, yang masing-masing pemainnya memiliki nafsu (syahwat) untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan lawan dengan cara menginjak kepala dan berebutan untuk mencapai posisi teratas.
Untuk adanya Riau Inkorporasi, Riauisasi merupakan prasyarat utamanya. Riauisasi pada hakikatnya adalah cara pandang seluruh rakyat yang bermastautin (tinggal dan menempati) di wilayah Riau, untuk menyatakan diri bahwa mereka merupakan anak jati Riau. Tidak ada Riau Inderagiri, Riau Kampar, Riau Bengkalis, Riau Siak, Riau Telukkuantan, Riau Rokan dan Riau-Riau lain. Demikian juga tidak dapat dipaksakan Riau hanya hak dan milik orang Melayu (“orang Riau”), tetapi Minang, Batak, Jawa, Bugis, Banjar dan puak-puak lain yang ada di Riau juga punya hak yang sama dan harus memiliki tanggung jawab (secara moral dan emosional) yang sama pula, untuk bersama-sama membawa Bahtera Lancang Kuning menuju pulau harapan, yakni Negeri Bermarwah, Cemerlang dan Terbilang. Walaupun tentunya, patut dimafhumi bahwa ada privilese sosial bagi “Puak Melayu Riau” yang juga harus dihormati oleh Orang Riau (Anak Jati Riau) dari puak lain.
Upaya untuk Riauisasi-pun sebenarnya telah dilakukan saat reformasi plus euphoria-nya disuarakan di Riau. Namun sangat disayangkan, Riauisasi dimaksud hanya didasari emosional tanpa rasional yang logis dan proporsional. Contohnya antara lain keharusan semua pemimpin daerah ini (Gubernur, Walikota dan Bupati, Kepala Dinas Instansi dan lembaga-lembaga strategis) ditempati “orang Riau”.
Namun apa hendak dikata, “bak menanam padi, lalang yang tumbuh”. Setelah semua pemimpin daerah ini “orang Riau”, plus dengan limpahan dana pembangunan dalam bentuk DBH, harapan rakyat Riau untuk merasakan (mendapatkan) kesejahteraan dan kemakmuran masih bagaikan pungguk rindukan bulan. Pemimpin yang katanya “orang Riau” ini menganggap kekayaan dan sumber daya ekonomi (termasuk didalamnya alokasi dana pembangunan APBN/APBD) adalah milik mereka saja, rakyat Riau yang lain hanya boleh menonton keserakahan yang mereka praktikkan tanpa boleh memberikan kritik apatah lagi meminta bagian. Inilah contoh memaknai Riauisasi yang salah kaprah, Riauisasi yang disalahtafsirkan.
Penulis | : | Muhammad Herwan, Wasekjen FKPMR dan Pengurus DPP Apindo Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi, Peristiwa, Riau |