Inilah agaknya yang membedakan perjuangan Riau untuk Alih Kelola WK Migas Rokan kali ini. Oknum organisasi dan individu komponen masyarakat di Riau secara vulgar bergerak sendiri-sendiri, saling tuding dan saling curiga, secara vulgar mempertontonkan ketidakbersamaan.
Perjuangan beberapa kelompok dan personil yang memanfaatkan nama besar suatu lembaga (organisasi) untuk mendapatkan keuntungan pribadi “adanya ikan dibalik batu” ini pulalah yang menjadi topik sentral riuh dan heboh perbincangan WK Migas Rokan di Riau.
Pada saat-saat perjuangan strategis seperti ini, tampilnya Peneraju Negeri yang Arif dan Bijak merupakan suatu keniscayaan, agar tidak terjadi keretakan apatah lagi perpecahan di masyarakat. Pemimpin Negeri sebagai pengayom sepatutnya segera mengajak dan menyatukan sebanyak-banyaknya elemen masyarakat untuk Bersatu dan Bersebati secara bersama-sama memperjuangkan privilege daerah, dalam konteks Alih Kelola WK Migas Rokan ataupun DBH Non Migas sektor perkebunan dan perjuangan hak-hak daerah lainnya.
Padahal dari catatan sejarah jualah mengajarkan kita, beberapa kali perjuangan menuntut hak-hak daerah Riau kepada pemerintah pusat tidak terwujud. Antara lain tuntutan yang diagungkan Gubernur Riau Arifin Achmad pada Rapat Gubernur se Sumatera di Rantau Prapat Sumatera Utara di tahun 70-an, agar Riau diberikan pembagian Allokasi Devisa Otomatis (ADO) 5% dari ekspor migas untuk membiayai pembangunan daerah, tetapi ditolak karena pemerintah pusat menganggap migas adalah milik negara. Demikian juga perjuangan panjang tuntutan Dana Bagi Hasil (DBH) ekspor komoditi perkebunan, bahkan tuntutan ini masih dilakukan sampai sekarang.
Sepatutnya kita kembali evaluasi diri dan introspeksi, sudahkah kebersamaan (Riau Inkorporasi dan Riauisasi) membangun negeri kita lakukan dengan sepenuh hati dan itikad yang benar, sudahkah para peneraju negeri dan pejabat birokrasi di Riau menjalankan amanah dengan rasa tanggung jawab sosial dan moral yang utuh, sudahkah para pemimpin dan pejabat menempatkan diri dengan tauladan akhlaqul karimah, berprilaku hidup sederhana dan tidak mempertontonkan gaya hidup hedonisme, sudahkah dana pembangunan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat didayagunakan secara benar dan optimal, tidak boros, bocor apatah lagi di korupsi. Jika gaya hidup peneraju negeri jauh dari akhlaqul karimah, praktik korupsi dikerjakan dengan bangga dan tanpa sedikitpun rasa bersalah, rakyat miskin dan susah semakin ditelantarkan, maka tandanya Riau telah dan tengah mengalami “kutukan sumber daya alam” (resource curse).
Kekayaan sumber daya alam (SDA) yang sejatinya menjadi berkah untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (multiplier effect of economic), justru penduduknya terjebak dalam kubangan kemiskinan “bagai ayam mati di lumbung padi”, menimbulkan berbagai macam persoalan dan konflik, bahkan menjamurnya prilaku koruptif secara masif, seolah memberikan kutukan. Fenomena kesenjangan dan kemiskinan, kerusakan lingkungan, serta kebocoran dan korupsi dalam tata kelola sumber daya alam yang terjadi di daerah kaya sumber daya alam ini jamak disebut dengan kutukan sumber daya alam.
Untuk mampu “Melawan Kutukan Sumberdaya Alam” (Reversing the Resources Curse) dan Berkelit Dari Kutukan Sumber Daya Alam (Escaping The Resource Curse), maka hasil-hasil kekayaan sumber daya alam di Riau patut dan harus dikelola secara bijak dan cerdas. sehingga kehadiran industri migas maupun insdustri sumber daya alam lain (perkebunan dan kehutanan) di Riau dapat menjadi motor penggerak (lokomotif) perekonomian Riau dan memberikan impact serta benefit maupun value added sebesar-besarnya bagi Rakyat Riau.
Patut dicermati dan disadari, secara alamiah, sektor pertambangan migas sebagai sumber daya yang tak dapat diperbaharui (unrenewable resources) sudah mulai memasuki penghujung masa senjakala (sunset industry). Memasuki era industry 4.0 dan 5.0 energi fosil/energi karbon (migas dan batubara) sudah mulai ditinggalkan. BBM pada 10 – 20 tahun kedepan sudah dilupakan, demikian juga akan mengiringi SPBU menghilang dari wilayah publik.
Terbukti saat ini cadangan/deposit kian menyusut, sehingga kalaupun dipaksa untuk tetap berproduksi, harus menggunakan teknologi eksploitasi yang canggih (high-tech) dan mahal (high-cost), sehingga pada akhirnya tidak ekonomis, ataupun harus melakukan eksplorasi deposit-deposit baru namun pada ujung-ujungnya juga akan tidak bernilai ekonomis karena sudah mulai diproduksi beragam energi alternatif, energi baru terbarukan (EBT).
Namun untuk jangka pendek, industri migas di Riau masih dapat dijadikan andalan sebagai penopang dan sumber pendanaan pembangunan. Karenanya, paralel dg pencarian sumber-sumber baru untuk pendanaan pembangunan maupun menggerakkan perekomomian, maka DBH dan deviden yang diperoleh dari WK Migas yang ada di Riau haruslah dikelola dengan sangat hati- hati, bijak dan cermat serta transparan.
Program-program di APBD haruslah dirancang dengan orientasi dan pendekatan Profit Centre tidak lagi sebagai Cost Centre sebagaimana paradigma perencanaan pembangunan yang selama ini dipakai oleh birokrat pengelola negeri ini, selain itu proses perencanaan pembangunan haruslah melibatkan partisiapsi aktif masyarakat sebagai stakeholder utama pembangunan (collaborative governance).
Tersebab, setiap tahun trilyunan dana pembangunan dalam bentuk program dan kegiatan di APBD, habis tak berbekas, maka sudah saat nya dan harus ada yang dialokasikan dalam bentuk Dana Abadi (Trust Fund), sehingga pada saat sumber pendanaan dari DBH Migas sudah tidak dapat diandalkan maka sudah ada sumber dana cadangan untuk pembiayaan pembangunan Riau di masa depan.***
Penulis | : | Muhammad Herwan, Wasekjen FKPMR dan Pengurus DPP Apindo Riau |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi, Peristiwa, Riau |