PEKANBARU (CAKAPLAH) - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, Dr. Gulat ME Manurung, C.IMA, mengatakan kalau saat ini petani kelapa sawit sudah gerah karena tidak jelasnya harga tandan buah segar (TBS) sawit.
Gulat mengatakan, sepuluh hari berlalu setelah resminya dibuka kran ekspor CPO, tanpa memberikan harapan kepada harga TBS Petani sawit. Mirisnya hal ini justru terjadi disaat harga CPO dunia sudah tembus Rp23 ribu per kg
"Sementara di dalam negeri masih 'bertempur' dengan gonta ganti regulasi dan ekspor pun praktis tidak berjalan karenanya, Kementerian Perdagangan harus bertanggungjawab," kata Gulat, kepada CAKAPLAH.COM, Jumat (3/6/2022).
Hal ini terjadi, kata Gulat, karena kebijakan Kementerian Perdagangan, sejak kisruh minyak goreng sawit (MGS), Menteri Perdagangan selalu membuat peraturan yang tidak berkelanjutan karena tidak berdasarkan kondisi dan tidak berresolusi.
"Lihat saja di bulan Februari diberlakukan regulasi DMO dan DPO, lalu berselang beberapa hari diganti dengan regulasi MGS curah disubsidi dari dana sawit BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit) dengan konsukuensi saat itu dinaikkannya Pungutan Eksport (PE) dari USD 175 per ton menjadi USD 375," cakapnya.
Ia menjelaskan PE saat ini sudah sepertiga dari harga CPO itu sendiri, tentu ini sangat memberatkan yang ujung-ujungnya beban tersebut ditimpakan ke harga TBS Petani sawit. "Belum lagi pajak Bea Keluar (BK) USD 200/ton CPO, tentu secara total (PE dan BK) sudah mencapai setengah dari harga CPO itu sendiri dengan asumsi harga CPO jika Rp16.000/kg. Ini menjadi sejarah dan hanya terjadi di industri sawit yang bebannya mencapai setengah dari harga barangnya," keluh Gulat.
Apalagi, tambah Gulat, per tanggal 23 Mei lalu resmi DMO dan DPO diberlakukan kembali. Hal ini tentu menjadi tanda tanya besar kepada Apkasindo terkhusus petani sawit.
Karena, sambungnya, baik Pungutan ekspor maupun DMO/DPO akan menjadi beban ganda dari TBS Petani. "Saya tidak mengerti dasar teori apa yang digunakan oleh Mendag. Kami petani sawit sudah generasi kedua, sudah bisa menghitung dengan cermat. Paling herannya kami petani sawit, sejak tanggal 23 Mei lalu sejak larangan ekspor dicabut, sampai hari ini, belum juga terbit berapa persen DMO-nya dan berapa rupiah DPO-nya dan praktis ekspor terhambat," cakapnya lagi.
Gulat mengatakan, kebijakan ini menghancurkan harga TBS petani. Ia menyebut dari pantauan di 146 kabupaten kota, harga TBS petani sudah semakin anjlok, rata rata, harga saat ini Rp.1.900 untuk petani swadaya (non mitra) dan Rp.2.240 untuk petani bermitra.
Anjloknya harga TBS saat ini jika dibandingkan sebelum larangan eksport (Rp.4.250/kg TBS) sudah mencapai 55-60% dan jika kondisi ini masih berlarut, bisa dipastikan harga TBS petani bisa dibawah Rp.1.000/kg atau bahkan tidak laku, karena baik PKS dan Refinary sudah kewalahan menyimpan CPO hasil olahan TBS kami petani, karena ekspor belum juga berjalan," paparnya.
Walaupun larangan eksport sudah dicabut per tanggal 23 Mei lalu, per hari ini, sambungnya, masih belum ada sama sekali eksport CPO dan turunannya.
Akibat dari hal ini, maka praktis baik refinari dan PKS tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah lagi selalu gagal tendernya di KPBN, sudah lebih dari 1 bulan tender CPO di KPBN tidak membuahkan hasil (WD) akibat ketidakpastian ini.
Hal ini, kata Gulat merupakan masa-masa sulit tahap II yang pihaknya alami. Setelah sebelumnya saat larangan ekspor masih berlaku.
"Perlu dicatat bahwa kami tidak membela siapapun, tapi kami hanya memikirkan dampaknya kepada kami petani sawit dan kami punya keluarga yang harus dibiayai. Ini masalah dapur kami, apapun akan kami lakukan untuk itu, tidak ada bedanya ketika dapur anda terganggu," kata Gulat.
Terlampau sederhana sekali sebenarnya, kata Gulat, akar dari masalah kisruhnya industri hulu dan hilir sawit Indonesia ini, yaitu masalah distribusi untuk ketersediaan MGS yang terjangkau.
Korporasi sawit terkhusus produsen MGS, saat ini sudah patuh dengan kebijakan ketersediaan dan keterjangkauan MGS untuk rakyat. Namun resolusi yang diambil baik oleh Kementerian Kordinator Ekonomi, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian sama sekali tidak menyelesaikan akar masalah.
Apalagi Kementerian Pertanian, saat turbulensi ini sudah sekuat tenaga menjaga harga TBS petani sesuai Permentan 01 tahun 2018 yang mengatur tatacara penetapan harga TBS petani, namun tetap saja jebol.
"Paling mirisnya, kami melihat Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian malah saling menjegal, lihat saja di isi permendag dan permen perindustrian tentang MGS, semuanya saling timpa-menindih. Padahal dalam Pidato Presiden Jokowi tanggal 19 Mei, mengatakan mencabut larangan ekspor dikarenakan memikirkan nasib 17 juta Petani sawit dan pekerja sawit. Namun Kementerian Perdangangan khususnya gagal menjalankan Amanah Presiden tersebut, malah membuat kekacauan yang baru dengan double beban terhadap harga TBS Petani," ketusnya.
Gulat mengatakan lagi, seharusnya dengan dicabutnya larangan eksport per tanggal 23 Mei lalu, cukup melanjutkan program subsidi MGS curah dan ditambah subsidi MGS Kemasan Sedehana dari dana sawit BPDPKS. Dan untuk memastikan komitmen Korporasi sawit akan kebutuhan bahan baku MGS Domestik, cukup memberlakukan DMO, tidak perlu DPO karena keran harganya sudah diatur di pungutan eksport yang cukup tinggi.
Dengan regulasi ini, kata Gulat pihaknya memaastikan eksport pasti jalan dan MGS rakyat terpenuhi sesuai dengan pidato Presiden.
"Keputusan saat ini oleh Kemendag tidak jelas untuk kepentingan siapa, seharusnya mewakili semua kepentingan, baik ketersediaan dan keterjangkauan MGS untuk rakyat, harga TBS kami petani dan ekspor lancar," tambahnya.
Perlu diketahui bahwa dana sawit yang dikelola oleh BPDPKS tersebut adalah bukan APBN, namun dana gotong royong semua stakeholder sawit dan Petani sawit adalah penyumbang utamanya sebesar Rp.920/Kg TBS melalui mekanisme PE (USD 375) yang dipungut-kelola oleh BPDPKS.
Subisidi MGS Curah dan jika MGS Kemasan sederhana (kemasan gotong royong) diikutkan disubsidi paling maksimum Rp20 Triliun. Sementara dengan PE sebesar USD 375/Ton CPO, tahun ini berpotensi terkumpul di BPDPKS sebesar Rp140 triliun. Terlampau kecil Rp20 Triliun untuk mensubsidi MGS untuk rakyat tapi justru kebijakan saat ini (pasca dicabutnya larangan ekspor) menghancurkan pendapatan negara dari Pajak (BK), Devisa, PE, ekspor tidak jalan, harga TBS anjlok dan multi player effect lainnya.
"Semua berpacu dengan waktu, ini terkait ekonomi rumah tangga petani, biaya hidup kami petani. Untuk itu kami DPP Apkasindo Bersama 146 DPD Apkasimdo dari 22 DPW Provinsi, sudah merencakan rapat gabungan di depan Kantor Kemendag dalam waktu dekat dan anak-anak kami Petani sawit (Formasi Indonesia) dari 124 Kampus akan hadir membantu kami orang tuanya. Karena sekolah dan kuliah mereka sudah terancam putus. Kami harus mengadu ke Pak Jokowi sesegera mungkin atas kondisi ini, sebelum semua terlambat," tukasnya.***
Penulis | : | Satria Yonela Putra |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Ekonomi |