Petani Sawit di Kecamatan Kerincikanan, Saefi
|
SIAK (CAKAPLAH) - Fluktuasi harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang turun-naik di pasaran membuat petani di Kabupaten Siak Provinsi Riau, khususnya di Kecamatan Kerincikanan semakin sulit.
Pasalnya, dengan harga TBS sawit saat ini tidak sebanding dengan naiknya harga pupuk, ditambah lagi pupuk subsidi sudah dihentikan oleh pemerintah pusat sejak Juni 2022 lalu.
Rata-rata keinginan petani sawit sama yaitu ingin mendapat subsidi pupuk kembali. Karena untuk mendapatkan hasil panen normal mereka harus mengeluarkan setidaknya Rp12 juta sekali empat bulan.
Mereka terpaksa membeli pupuk jenis NPK non subsidi hingga Rp800 ribu per karung (sak) dan urea Rp450 ribu per sak.
Sedangkan dengan harga TBS sawit mencapai Rp2.000-2.500 perkilogram di pasaran tidak sanggup menutupi biaya pupuk serta kebutuhan lainnya.
Seorang petani plasma Kampung Bukit Harapan, Kecamatan Kerincikanan, Saepi (57) mengaku saat ini dirinya hanya menghasilkan 1,5 ton per bulan dari 2 hektare kebunnya dengan harga TBS Rp2.400/kg. Hasil ini jauh dari yang biasanya didapati ketika masih mendapatkan pupuk subsidi yakni 8 ton satu bulan.
"Saya tergabung di kelompok tani Mekar Jaya, tahun 2021 ada kuota pupuk subsidi 40 sak satu tahun, tapi sejak 2022 sampai sekarang tak ada lagi," cakapnya berbincang kepada CAKAPLAH.com, Senin (13/2/2023).
Sama halnya dengan petani Kampung Delima Jaya, juga di Kecamatankerinci Kanan, Maryanto. Dia mengaku hanya mendapat hasil panen 2,7 ton satu bulan dari sebelumnya bisa mencapai 6 ton. "Sekarang pupuk ala kadarnya saja," sebutnya.
Jika petani plasma saja sudah mengeluh, nasib petani mandiri jauh lebih sulit lagi. Seperti yang dialami Alfian Tanjung, Ketua Kelompok Tani Siak Berkah Mandiri di Desa Dayun, Kecamatan Dayun.
Alfian menceritakan, sejak dirinya menjabat sebagai ketua kelompok tani 5 tahun lalu, sampai saat ini tercatat 64 orang anggotanya. Dimana, jumlah lahan sawit dikelola sekitar 138 hektare.
"Yang saya sesalkan, kenapa harga TBS dari kelompok tani swadaya mandiri seperti kami ini harga jual lebih murah dari harga tim dan plasma. Padahal, sama-sama buah sawit yang dimanfaatkan pemerintah untuk CPO," katanya.
Dia mencontohkan, untuk harga TBS pekan ini yang diumumkan Pemerintah Provinsi Riau mencapai Rp2.400 per kilogram.
"Tapi harga TBS kita cuma dibayar Rp2.000 atau kurang Rp400 per kilo dari buah sawit kelompok tani plasma. Ini kan tak adil. Pupuk subsidi tak dapat, harga jual juga murah. Semakin lengkap penderitaan kami," keluhnya.
Dia menjelaskan, pupuk jenis urea biasanya digunakan sampai buah sawit berusia 5 tahun. Harga pupuk urea subsidi Rp140 ribu per sak (berat 50 kg), sedangkan non subsidi Rp400 ribu.
Setelah buah sawit berusia 5 tahun atau sudah berbuah pasir, lanjut Alfian, digunakan pupuk jenis NPK dan KCL. Pupuk ini bermanfaat agar mendapatkan buah yang bagus dan banyak.
"Petani swadaya mandiri sering mengeluhkan mahalnya harga pupuk jenis NPK dan KCL ini. Saat ini, jenis NPK harga pupuk subsidi Rp240 ribu per sak, non subsidi Rp800-Rp900 ribu. Selisihnya sampai Rp500 ribu per sak," jelasnya.
Pupuk jenis NPK ini digunakan petani 4 bulan sekali. Alfian mengatakan, untuk lahan sawit 2 hektare, dibutuhkan sekitar 35-40 sak pupuk untuk setahun.
"Akibat mahalnya harga pupuk, akhirnya petani swadaya mandiri terus menjerit. Sementara, pupuk subsidi tak pernah kita nikmati," kata Alfian.***
Penulis | : | Wahyu |
Editor | : | Jef Syahrul |
Kategori | : | Serba Serbi, Kabupaten Siak |