Manager Advokasi Fitra Riau Taufik.
|
PEKANBARU (CAKAPLAH) - Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kabupaten Kepulauan Meranti, Kamis (6/4/2023) kemarin, merupakan pukulan bagi marwah Provinsi Riau.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Riau menilai peristiwa OTT tersebut sangat menyedihkan. Praktik korupsi di Negeri Lancang Kuning dinilai masih jadi PR besar bagi semua pihak.
"Terlihat komitmen anti korupsi hanya sebagai uraian di atas kertas, terpampang di tugu dan bahkan terpasang pada sertifikat saja dan malah itu hanya sekedar simbol menarik simpatik pemilih dan publik ketika musim kampanye tiba," ungkap peneliti Fitra Riau, Taufik, Sabtu (8/4/2023).
Kata Taufik, seharunya komitmen itu tertanam dari kesadaran naluriah hati kepala daerah dan pejabat, bukan justru sebaliknya hati dan sikap perilaku berbeda.
"Kami melihat, di gedung-gedung pemerintah dan saat-saat pembukaan acara, acap kali argumen, slogan, spanduk anti korupsi didengungkan. Tapi fakta terbalik, argumen itu tidak sebanding dengan sikap para pejabat. Masih saja ada mental pejabat yang korup," ujar Manager Advokasi Fitra Riau ini.
Kata Taufik lagi, OTT ini adalah pukulan keras. Fungsi inspektorat (APIP) juga tidak berfungsi dengan baik. Katanya, kadangkala APIP hanya sebagai pelengkap struktur saja. Peran pengawasan kinerja bagi OPD tak terlihat dan justru takut dan tunduk pada atasannya “kepala daerah”.
Selain itu, ia menuding, hasil-hasil audit temuan LHP BKP yang seharusnya clear dilakukan oleh para auditor untuk penilaian dan beroutput dalam penyelamatan uang negara juga hanya sebatas kepentingan.
"Ditemui oknum - oknum BPK daerah melakukan 'jualan' kepada kepala daerah dan sering auditor juga merangkap menjadi calo. Dan itu dibuktikan pada perkara OTT Bupati Meranti yang mana uang hasil jarahannya untuk keperluan WTP," jelasnya.
Urainya lagi, jika ditelaah dari hasil audit, yang sering diperiksa adalah keterlambatan dengan kondisi keuangan, keterkaitan dengan belanja pemerintah, aset.
"Juga hampir ratusan temuan yang tercatat. Apabila ditotalkan se-12 kabupaten kota di Riau dan temuan-temuan itu juga banyak berdampak pada kerugian negara. Tapi justru hasilnya malah opini baik," katanya.
"Ini harus menjadi koreksi bersama oleh BPK RI, merevisi skema - skema pemberian WTP kepada daerah tersebut. Karena pemberian WTP ancap kali dipergunakan oleh oknum untuk memperdagangkan produk opini kepada daerah dan daerah menyambut hal itu pula," ungkap Taufik.
Sementara itu, kepada KPK, Taufik meminta agar bisa melakukan penyisiran terhadap pembangunan-pembangunan infrastruktur yang ada saat ini. Seperti pembangunan tenda Masjid An Nur, Quran Center, dan lain sebagiannya, yang juga terekam dalam temuan terkait kekurangan volume.
"Untuk hal itu maka, harapan kami kasus Bupati Meranti, Kasus Bupati Kuansing kemarin juga, sebagai pembelajaran bagi para pejabat. Kedepankan etika moral dan perilaku. Dan jadikan peristiwa itu sebagai rasa takut bahwa setiap yang dilakukan oleh para pejabat pasti diawasi," tutupnya.
Penulis | : | Delvi Adri |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Riau, Hukum, Pemerintahan |