PEKANBARU (CAKAPLAH) - Kementerian Perdagangan mulai Januari 2023 akan mulai memberlakukan pengurangan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
Kebijakan tersebut diberlakukan agar kebutuhan kebutuhan CPO untuk minyak goreng dalam negeri tidak mengalami kekurangan, terutama saat bulan puasa dan Lebaran.
Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA,C.APO, mengatakan pemangkasan rasio quota ekspor dari 1: 8 menjadi 1 : 6 oleh Kemendag melalui Keputusan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Nomor 19 Tahun 2022, itu sudah tepat dan terukur.
"Konsepnya adalah sediakan 1 untuk kebutuhan dalam negeri, maka akan mendapat persetujuan ekspor 6," kata Gulat kepada CAKAPLAH.com, Selasa (3/12/2023).
Hal ini sangat terukur dan sangat diperlukan karena beberapa faktor, pada faktor utama, kata Gulat, menurut catatan dan simulasi dari Apkasindo, bahwa produksi TBS petani bakal menurun 20 - 35% bahkan berpotensi sampai 50% jika pemerintah tidak mengantisipasi harga PPM yang masih bercokol naik rerata 200-300% dari harga normal sebagaimana awal tahun 2022 lalu sekitar Rp250-300rb/zak jenis pupuk NPK. Saat ini harga nya mencapai Rp800-1jt/zak (berat 50kg).
Akibatnya, dari hasil wawancara kepada petani di 22 Provinsi Sawit Apkasindo, diketahui 60% luas kebun petani tidak memupuk sama sekali, 25% petani memupuk tidak sesuai dosis anjuran dan 15% petani memupuk dengan pupuk yang tidak berkualitas (legalitasnya diragukan). Dan ini menjadi pemicu menurunnya produktivitas kebun sawit rakyat.
"Akibat dari menurunnya produksi tbs petani, maka produksi CPO secara nasional akan terdampak menurun 5-11%," cakapnya.
Tahun lalu sumbangan CPO Petani adalah 28% dari total produksi nasional, untuk itu perlu diantisipasi berdampak melonjaknya harga minyak sawit dunia.
Kemudian, faktor kedua adalah, meningkatnya kebutuhan domestik, terutama dengan diberlakukannya mandatory B35 awal Feb nanti yang akan menyerap paling tidak 14 juta ton CPO produksi CPO Indonesia.
Faktor ketiga, meningkatnya kebutuhan dunia akan minyak nabati terutama dari sawit. Faktor ke empat, potensi tidak maksimumnya produksi CPO Malaysia karena masih bermasalah (belum stabil) dengan ketersediaan naker.
Selanjutnya, faktor kelima, kata Gulat, tekanan dari kebijakan Uni Eropa terhadap sawit Indonesia justru sangat memukul aturan yang dibuat UE yang dipaksakan, supaya diikuti oleh Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia.
"Sebenarnya, tekanan tersebut adalah lebih untuk melindungi petani disana yang memproduksi minyak nabati dari negara mereka dan Indonesia sudah benar dan tepat membuat kebijakan yang sifatnya affirmetive action (tujuan khusus dengan maksud tertentu). Istilah ini mirip dan sebangun dengan Pembatasan Ekspor Minyak Sawit kita," ulasnya.
"Akibat faktor satu sampai lima tersebut, maka harga CPO dunia akan naik di 2023 ini secara progresif dan tbs petani akan terdongkrak pada kisaran Rp3000-4500/kg tahun ini," cakapnya lagi.
Lebih lanjut, ia mengatakan, kenaikan harga minyak sawit dunia, tentu akan merangsang eksportir memacu quota ekspor nya. Jadi jika tidak diantisipasi oleh Kemendag dengan kebijakan affirmative action tadi, akan berpotensi kelangkaan Migor lagi.
Jadi, harus dijaga keseimbangannya antara kebutuhan dalam negeri dengan ekspor.
Besar kecilnya ekspor minyak sawit, sambung Gulat tentu akan mempengaruhi pemasukan devisa negara, maka harus benar - benar dipastikan rasio kecukupan dalam negeri.
Untuk memastikan keseimbangan ini, tentu Kemendag harus simultan (rutin) melakukan evaluasi terhadap kebijakan affirmative action tadi.
"Namun perlu dicatat, jika hanya untuk tujuan mengkondisikan ketersediaan Migor domestik untuk rakyat, maka dengan akan beroperasinya pabrik minyak makan merah (M3) Kemen Kopersi/UKM kerjasama dengan PPKS Medan dan PAMIGO (pabrik minyak goreng) program Kementan yang dikhusus kan hanya dioperasikan oleh kelas Petani/Kelembagaan Petani (koperasi), maka saya perkirakan tahun depan ketersediaan MIGOR untukk Domestik tidak lagi menjadi faktor pembatas quota ekspor Minyak Sawit lagi," ulasnya.
Karena, jika sesuai skema rencana produktivitas kedua program tersebut. Maka 60- 80% ketersediaan MIGOR rakyat sudah dapat dipasok dari M3 dan PAMIGO. Untuk kelas Migor Kualitas Khusus (kebutuhan khusus/premium) silahkan diproduksi oleh korporasi tanpa pembatasan ekspor.
"Dan yang paling penting adalah, sudah saat nya Indonesia sebagai barometer harga CPO Dunia. Selama ini kita hanya menjadi barometer produksi CPO, namun harga di atur oleh Malaysia. Kita harus dukung statemen Presiden Jokowi di acara ASEAN-UE beberapa waktu lalu, yaitu, kesetaraan dan tidak lagi diatur oleh mitra bisnis," katanya.
"Maka dari itu, saya meminta kerjasama semua pihak untuk mensukseskan program pemerintah tersebut yakni minyak M3 dan PAMIGO, termasuk korporasi besar, perbankan. Supaya kedepannya kebutuhan MIGOR Domestik tidak lagi mengganggu quota ekspor dan tentu akan meningkatkan pemasukan negara, jika tidak ada lagi pembatasan, dimana diketahui tahun 2021 mencapai Rp510 triliun," tukasnya.
Penulis | : | Satria Yonela |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Ekonomi |