Muji Basuki
|
Ekonomi Indonesia tahun 2023 tumbuh sebesar 5,05 persen, lebih rendah dibanding capaian tahun 2022 yang mengalami pertumbuhan sebesar 5,31 persen, demikian salah satu poin penting dari rilis pertumbuhan ekonomi yang dilakukan BPS pada awal Februari 2024 yang lalu.
Jika dilihat secara spasial perekonomian Indonesia masih terus tumbuh. Kelompok provinsi menurut pulau yang mencatat pertumbuhan tertinggi adalah Maluku dan Papua, Sulawesi, serta Kalimantan dengan pertumbuhan (c-to-c) sebesar 6,94 persen; 6,37 persen; dan 5,43 persen. Sedangkan kelompok provinsi di Pulau Jawa yang berkontribusi sebesar 57,05 persen terhadap ekonomi nasional mencatat pertumbuhan 4,96 persen (c-to-c).
Pada tingkat Provinsi Riau, perekonomian tahun 2023 tumbuh sebesar 4,21 persen, lebih lambat dibanding capaian tahun 2022 yang mengalami pertumbuhan sebesar 4,55 persen. Angka pertumbuhan ekonomi Riau ini berarti dibawah kinerja pada tingkat nasional yang tumbuh sebesar 5,05 persen.
Dilihat dari sisi lapangan usaha, kinerja perekonomian nasional pada tahun 2023 ditopang oleh 3 sektor utama, yaitu sektor industri pengolahan, perdagangan dan pertanian yang masing-masing memberi share sebesar 18,67 persen, 12,94 persen dan 12,53 persen. Ketiga sektor tersebut pada tahun 2023 tumbuh masing-masing sebesar 4,64 persen, 4,85 persen dan 1,30 persen, atau tumbuh di bawah pertumbuhan nasional.
Pada tingkat Provinsi Riau, perekonomian pada tahun 2023 ditopang oleh 3 sektor utama, yaitu industri pengolahan, pertanian dan pertambangan yang masing-masing memberi share sebesar 27,55 persen, 26,30 persen, dan 19,78 persen. Ketiga sektor tersebut pada tahun 2023 masing-masing tumbuh sebesar 3,63 persen, 3,23 persen, dan 2,52 persen, atau ketiganya tumbuh dengan capaian dibawah level provinsi Riau yang tumbuh sebesar 4,21 persen.
Industrialisasi, Shortcut Peningkatan Nilai Tambah Ekonomi
Industri sendiri didefinisikan sebagai usaha atau kegiatan pengolahan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan.
Dari definisi ini, sejarah industri dalam kehidupan manusia bisa dikatakan bermula sejak manusia hidup di bumi. Dalam literatur agama disebutkan, bahwa Nabi Adam a.s dan keluarga intinya harus berusaha survive hidup di bumi dengan mengolah benda-benda disekitarnya menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk menunjang aktivitas mereka. Dalam ilmu antropologi ada istilah periode primitif, dimana manusia saat itu mengolah bebatuan di sekitarnya untuk menjadi berbagai alat-alat pertanian dan rumahtangga.
Dalam dalam teori industri modern, proses industrialisasi yang memberi nilai tambah signifikan terhadap perekonomian terjadi seiring dengan revolusi industri pada abad ke 18. Revolusi industri disebut-sebut sebagai generasi industri 1.0 yang menjadikan mesin sebagai instrumen utamanya.
Mekanisasi aktivitas produksi oleh manusia yang sebelumnya berlangsung secara tradisional ditransformasi menjadi berbasis mesin. Puncaknya adalah pada saat James Watt pada tahun 1776 menemukan mesin uap yang menjadikan proses produksi menjadi lebih efisien dan murah. Dengan efisiensi dari segi proses, waktu dan biaya, industrialisasi betul-betul memberikan dampak ekonomi yang besar bagi manusia, khususnya bagi negara-negara asal ditemukannya teknologi mesin tersebut.
Tahap industrialisasi berikutnya disebut dengan istilah industri 2.0 yang terjadi pada abad ke 19. Pada tahapan ini, proses produksi berbagai alat dan perlengkapan manusia diproduksi secara massal, terlebih pada periode ini dunia sedang dilanda kolonialisasi di berbagai pelosok. Negara-negara kolonial yang kebetulan umumnya menjadi negara penemu dari teknologi permesinan, memproduksi secara massif berbagai perlengkapan yang khususnya mereka butuhkan dalam program kolonialisasi mereka.
Generasi industri 3.0 terjadi pada pertengahan abad ke 20, dimana basis industrialisasi pada tahapan ini adalah ditemukannya teknologi kompoter yang mengubah proses produksi dari berbasis mesin menjadi berbasis komputer dengan tingkat presisi dan kualitas produk yang jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Sampai akhirnya sejak proses digitalisasi semakin canggih, banyak pihak yang menyebut bahwa saat ini dunia sedang berada pada era generasi industri 4.0.
Barat (baca : Amerika/Eropa dan sekutunya) yang menjadi penemu utama dari teknologi mesin dan komputer selama beberapa abad ini menjadi kawasan yang secara ekonomi berada jauh diatas negara-negara lain.
Ambil contoh misalnya negara-negara yang tergabung dalam kelompok G-20, selain dari China dan India, pada tahun 2021 Amerika dan negara-negara sekutunya di Eropa dan Asia menempati peringkat 10 besar dalam hal besaran GDP. 10 besar negara G-10 diisi oleh negara-negara dengan industri strategis yang kuat dan kokoh, seperti Amerika Serikat dengan GDP sebesar US$23 trilyun, Uni Eropa sebesar US$ 14,94 trilyun, Jepang sebesar US$4,94 trilyun, Jerman sebesar US$ 4,22 trilyun, Inggris sebesar US$ 3,19 trilyun, Perancis sebesar US$ 2,94 trilyun, Itali sebesar US$ 2,1 trilyun dan Kanada sebesar US$ 1,99 trilyun.
Dengan GDP sebesar itu dan penduduk yang relatif tidak terlalu besar, menghantarkan negara-negara tersebut menempati kelompok negara maju dengan pendapatan per kapita yang tinggi.
(de-) industrialisasi di Indonesia
Sebelum kemerdekaan, industri di Indonesia lebih banyak berupa industri rumahtangga, atau industri pengolahan komoditas pertanian seperti teh dan kopi. Menurut sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1939, sektor industri manufaktur di Indonesia pada saat itu mampu menyerap tenaga kerja sebesar 173 ribu orang.
Pasca kemerdekaan, Indonesia mulai menggiatkan sektor industri dalam negeri, sekalipun barang-barang kapital dan teknologi seperti mesin hampir seluruhnya diimpor dari luar negeri.
Seiring dengan booming minyak bumi pada awal dekade 50/60 an, sektor industri di Indonesia pun di dominasi oleh industri pengolahan hasil minyak bumi. Dalam kurun waktu yang cukup panjang, sektor pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Menurut BPS, pada tahun 1997 sampai tahun 2004, pertumbuhan sektor industri manufaktur baik migas maupun non migas selalu lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi secara agregat.
Pada tahun 1997 pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7 persen, dibawah pertumbuhan sektor industri manufaktor sebesar 5,3 persen. Pada tahun 1998 dimana terjadi krisis ekonomi, ekonomi terkontraksi sebesar 13,1 persen, tertolong oleh kontraksi sektor industri manufaktur yang lebih kecil sebesar 11,4 persen.
Pada tahun 1999 dan 2000 pola nya juga demikian, kecuali pada tahun 2001 dimana pertumbuhan sektor industri manufaktur sedikit lebih kecil dibandingkan pertumbuhan agregat, yaitu 3,3 persen sementara pertumbuhan agregat nasional sebesar 3,8 persen. Tahun 2002, 2003 dan 2004 pola kembali seperti sebelumnya, dimana pertumbuhan ekonomi nasional selalu lebih kecil dibandingkan pertumbuhan sektor industri manufaktur.
Pada tahun-tahun berikutnya, secara perlahan pola pertumbuhan sektor industri manufaktur mulai berbalik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara agregat. Pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi secara agregat sebesar 6,35 persen, sementara pertumbuhan sektor industri manufaktur sebesar 4,67 persen. Tahun 2008 pertumbuhan ekonomi agregat sebesar 6,01 persen, sementara pertumbuhan sektor industri manufaktur sebesar 3,66 persen.
Tahun 2009 pertumbuhan ekonomi secara agregat sebesar 4,55 persen, sedangkan pertumbuhan sektor industri manufaktur sebesar 2,11 persen. Dan pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi secara agregat sebesar 5,93 persen, diatas pertumbuhan sektor industri manufaktur sebesar 4,00 persen.
Dari segi share terhadap pembentukan PDB nasional pun, sektor industri manufaktur juga mengalami penurunan dalam periode 2007-2010, dimana secara berturut-turut share nya sebesar 27,04 persen pada 2007, naik sedikit sebesar 27,88 persen pada tahun 2008, kemudian turun lagi di 2 tahun berikutnya, yaitu sebesar 26,38 persen pada tahun 2009 dan 25,19 persen pada tahun 2010.
Kemudian jika dilihat polanya pada kurun waktu 4 tahun terakhir, share sektor industri manufaktur cenderung mengalami penurunan pada periode 2020-2023, dimana secara berturut-turut share nya sebesar 28,49 persen pada tahun 2020, menjadi 28,06 persen pada tahun 2021, turun menjadi 27,36 persen pada tahun 2022, walaupun naik sedikit menjadi 27,55 persen pada tahun 2023.
Dari sisi pertumbuhan, sektor industri pengolahan selama periode 2020-2023 mengalami fluktuasi turun naik. Sempat naik dari 1,91 persen di tahun 2020 menjadi 4,08 persen pada 2021, naik kembali menjadi 4,73 persen pada tahun 2022, kemudian turun menjadi 3,63 persen pada tahun 2023.
Dari data-data diatas, beberapa kalangan menyebut bahwa proses industrialisasi di Indonesia cenderung berjalan stagnan. Booming industrialisasi cenderung sudah lewat fasenya. Memang share sektor industri masih cukup besar, akan tetapi polanya cenderung stagnan di kisaran 20-30 persen.
Hal ini diduga karena sektor industri manufaktur di Indonesia masih berkutat pada produk-produk yang tidak terlalu strategis untuk jenis produk akhir, seperti makanan, minuman, sepeda, dan produk fashion. Sementara untuk jenis produk menengah, industri pengolahan di Indonesia baru sebatas menghasilkan produk-produk setengah jadi yang selanjutnya di ekspor sebagiannya ke luar negeri, seperti produk lanjutan nikel, CPO dan lain-lain.
Hilirisasi, Solusi Atas Fenomena de-Industrialisasi
Stagnasi sektor industri manufaktur di Indonesia merupakan ironi, karena Indonesia adalah negara dengan tanah yang subur, iklim tropis yang mendukung, sumber daya alam dan mineral yang berlimpah dan tenaga kerja yang banyak. Seharusnya Indonesia mampu mengembangkan industri manufaktur yang lebih strategis, agar penciptaan nilai tambah ekonominya bisa lebih signifikan.
Perlu ada terobosan dari berbagai pihak khususnya pemerintah untuk mendorong pengembangan industri manufaktur se-hilir mungkin, tentu disertai dengan pengelolaan pasar dan market, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Hilirisasi adalah industrialisasi yang berorientasi kepada end product, sehingga added value nya bisa meningkat secara sifnifikan, dan juga penyerapan tenaga kerja akan semakin besar.
Hasil sumber daya alam dan mineral seperti minyak bumi, gas alam, nikel, bauksit, dan lain-lain menunggu dikelola secara lebih optimal, agar nilai tambahnya bisa lebih besar dibandingkan yang selama ini berlangsung. Hasil-hasil pertanian seperti padi, kelapa, sawit, pinang, sayur dan buah juga merupakan bahan baku yang bisa diolah oleh industri agar bisa menghasilkan produk hilir yang lebih bernilai tambah. Komoditas perairan seperti ikan, rumput laut, garam dan lain-lain juga menunggu untuk dioptimalkan agar bisa menjadi produk hilir yang bernilai tinggi.
Jika hilirisasi kelak berjalan untuk berbagai produk dan komoditas, tantangan berikutnya adalah penciptaan pasar/market bagi produk-produk yang dihasilkan, baik pasar di dalam negeri maupun di luar negeri.
Tentu lebih banyak lagi resources yang bisa dikembangkan melalui program hilirisasi agar bangsa ini mendapatkan manfaat sebesar-besarnya dari kekayaan yang di anugrahkan Tuhan. Semoga
Penulis | : | Muji Basuki, ASN di BPS Kota Pekanbaru |
Editor | : | Unik Susanti |
Kategori | : | Cakap Rakyat, Riau |