(CAKAPLAH) - Badan Pusat Statistik (BPS) sesuai amanah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Statistik diamanahkan untuk melaksanakan 3 kegiatan sensus dalam kurun waktu 10 tahun sekali, yaitu Sensus Penduduk pada tahun yang berakhiran 0, Sensus Pertanian pada tahun yang berakhiran 3 dan Sensus Ekonomi pada tahun yang berakhiran 6.
Sesuai namanya, ketiga sensus ini mencakup seluruh unit observasi sesuai target outputnya masing-masing, dimana Sensus Penduduk untuk mengumpulkan dan memutakhirkan basis data kependudukan, Sensus Pertanian untuk mengumpulkan dan memutakhirkan basis data potensi pertanian, dan Sensus Ekonomi untuk mengumpulkan dan memutakhirkan basis data potensi ekonomi.
Untuk Sensus Pertanian sendiri yang sedang berjalan pada pertengahan tahun 2023 ini sudah dilaksanakan sebanyak 7 kali, yaitu tahun 1963, 1973, 1983, 1993, 2003, 2013 dan 2023.
Sebagai negara dengan penduduk yang besar dan wilayah yang luas, Indonesia disebut sebagai negara agraris karena masih luasnya wilayah pertanian, di samping sektor pertanian sendiri masih menjadi sektor penting terhadap perekonomian nasional, pertama karena sektor pertanian memberikan share besar terhadap PDB, dimana menurut data tahun 2022 sektor pertanian memberikan sumbangan sebesar 12,40 persen dari total PDB Indonesia atau menempati urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan.
Alasan kedua karena sektor pertanian merupakan sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja, dimana menurut data BPS per Agustus 2022 penduduk yang bekerja di sektor pertanian mencapai 28,60 persen, jauh melampaui sektor perdagangan yang sebesar 19,36 persen dan sektor industri pengolahan yang sebesar 14,17 persen. Maka dengan posisi sektor pertanian yang seperti itu, menjadi penting bagi seluruh stakeholder pertanian untuk mendapatkan data dan informasi mutakhir terkait perkembangan sektor pertanian, paling tidak dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Menurunnya Rumahtangga Usaha Pertanian Periode 2003-2013
Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2013, jumlah rumahtangga usaha pertanian menurun dibandingkan tahun 2003. Jika pada tahun 2003 ada 31,232 juta rumahtangga usaha pertanian, pada tahun 2013 menurun jumlahnya menjadi 26,135 juta. Penurunan hampir 5 juta rumahtangga usaha pertanian dalam kurun waktu 10 tahun menandakan setiap tahun rata-rata ada pengurangan rumahtangga usaha pertanian sebanyak 500 ribu-an rumahtangga.
Jika dirinci menurut sub sektor, maka akan terlihat penurunan jumlah rumahtangga usaha pertanian terjadi di semua sub sektor pertanian, baik sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor perikanan, sub sektor kehutanan maupun sub sektor jasa pertanian.
Untuk sub sektor tanaman pangan, rumahtangga usaha pertanian berkurang dari 18,71 juta pada tahun 2003 menjadi 17,72 juta pada tahun 2013. Untuk sub sektor hortikultura penurunan jumlah rumahtangga usaha pertanian terjadi lebih drastis lagi, dimana pada tahun 2003 ada 16,94 juta rumahtangga usaha pertanian sementara pada tahun 2013 menjadi 10,60 juta. Untuk sub sektor perkebunan juga mengalami penurunan dari 14,13 juta pada tahun 2003 menjadi 12,77 juta pada tahun 2013.
Untuk sub sektor peternakan juga mengalami penurunan dari 18,60 juta pada tahun 2003 menjadi 12,97 juta pada tahun 2013. Selanjutnya untuk sub sektor perikanan menurun dari 2,49 juta pada tahun 2003 menjadi 1,98 juta pada tahun 2013. Untuk sub sektor kehutanan hanya mengalami penurunan tipis dari 6,83 juta pada tahun 2003 menjadi 6,78 juta pada tahun 2013. Dan terakhir pada sub sektor jasa pertanian mengalami penurunan dari 1,85 juta menjadi 1,08 juta pada tahun 2013.
Ironi Negara Agraris
Memang pelaku usaha pertanian dari perusahaan berbadan hukum mengalami peningkatan sedikit, dari sejumlah 4.010 perusahaan pertanian di tahun 2003 menjadi 4.209 perusahaan pertanian di tahun 2013.
Akan tetapi penurunan cukup signifikan yang terjadi pada rumahtangga usaha pertanian menjadi fenomena yang menarik dicermati oleh berbagai pihak, terutama pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap pembangunan sektor pertanian. Fenomena ini menjadi paradoks jika dikaitkan dengan status Indonesia sebagai negara agraris yang tentu membutuhkan banyak sumber daya manusia yang terlibat untuk menggarap berbagai potensi pertanian yang terhampar baik di darat maupun di air.
Apalagi jika dikaitkan dengan populasi Indonesia yang besar, dimana dari hasil Sensus Penduduk 2020 jumlah penduduk Indonesia mencapai 270,20 juta jiwa. Dengan populasi sebesar itu tentu kebutuhan pangan Indonesia menjadi begitu besar. Sebagai contoh, dengan rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 114,6 kg, maka perlu ketersediaan beras yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang besar tersebut.
Belum lagi untuk komoditas pertanian lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat, baik untuk jenis tanaman pangan seperti jagung dan umbi-umbian, jenis hortikultura seperti buah dan sayur-sayuran, jenis telur, daging maupun ikan, dan lain-lainnya.
Dengan menurunnya jumlah rumahtangga pertanian di berbagai subsektornya, tentu ini menjadi tantangan dan hambatan tersendiri secara nasional untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Bahkan jika dilihat secara lebih spesifik pada subsektor peternakan yang mengalami penurunan sampai 6 juta rumahtangga, maka hal ini dapat menjadi sebab munculnya persoalan jangka panjang bagi upaya membangun swasembada hewan ternak secara nasional.
Dengan kondisi faktual seperti dipaparkan diatas, perlu kolaborasi antara pemerintah dengan berbagai pihak untuk menstimulasi minat masyarakat kepada sektor pertanian. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pembangunan sektor pertanian harus membuat terobosan kebijakan agar sektor pertanian bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Terobosan kebijakan yang diharapkan tentu mulai dari hulu sampai dengan hilir. Di bagian hulu tentu ada hubungannya dengan sistem pendidikan nasional, agar generasi muda nasional bisa dibangkitkan minatnya untuk masuk ke sektor pertanian. Di bagian hulu juga berhubungan dengan sistem agraria dan pembagian akses lahan yang lebih adil dan proporsional untuk seluruh masyarakat, kebijakan insentif pupuk dan kebijakan-kebijakan hulu lainnya.
Sementara di sektor hilir tentu ada hubungannya dengan hilirisasi komoditas pertanian agar terjadi nilai tambah yang bermanfaat lebih besar bagi para petani maupun secara agregat untuk perekonomian nasional.
Bagaimana dengan 2023?
Penurunan signifikan jumlah rumahtangga usaha pertanian pada periode 2003-2013 tentu diharapkan tidak kembali terjadi pada periode 2013-2023. Akan tetapi harapan itu baru bisa terjawab setelah pelaksanaan Sensus Pertanian pada tahun 2023 ini selesai dilaksanakan.
Tentu Sensus Pertanian 2023 yang disingkat dengan ST2023 ini tidak hanya akan memberikan informasi tentang jumlah rumahtangga pertanian menurut subsektor saja, tapi juga akan memberikan banyak informasi lain yang dibutuhkan oleh para stakeholder pertanian, seperti informasi megenai rata-rata luas lahan pertanian yang dimiliki oleh rumahtangga pertanian, pengunaan pupuk, efektifitas program pendampingan pertanian oleh instansi terkait, kapasitas produksi pertanian, dan lain-lain akan menjadi informasi yang sangat diperlukan khususnya oleh pemerintah, baik pada tingkat perencanaan, pelaksanaan program maupun evaluasi.
Penulis | : | Muji Basuki, ASN di BPS Kota Pekanbaru |
Editor | : | Yusni |
Kategori | : | Cakap Rakyat, Ekonomi |