Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Pidato Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto saat sidang senat terbuka wisuda Universitas Pertahanan (Unhan) menarik untuk diulas. Berhubung materi yang disampaikan merupakan problem tipikal dan klasikal di tengah kita. Bertempat di Aula Merah Putih Unhan, Sentul, Bogor (12/2/2024), Menhan menyampaikan kritikan atas praktik tak baik yang masih lestari dalam promosi dan pemberian penghargaan di banyak tempat di tanah air.
Praktik yang beliau istilahkan dengan “koncoisme” atau faktor koneksi. “Kalau negara kita mau hebat, yang dihormati dan dihargai harus segera dipromosikan, segera diberi penghargaan mereka yang berprestasi. Ini tradisi yang harus kita langgengkan. Kebiasaan kita adalah koneksi, koncoisme dan sebagainya, kamu anaknya siapa? Ponakan siapa? Dan sebagainya,” Cakap Prabowo. Berangkat dari pidato Menhan barusan perlu menjadi bahan renungan dan evaluasi kita bersama.
Apalagi “koncoisme” boleh dibilang sudah mendarah-daging. Sudah banyak riset menunjukkan dampak buruk fenomena yang akrab dikenal nepotisme di berbagai lini kehidupan. Di organisasi pemerintahan, swasta dan perusahaan implikasinya menghasilkan keputusan yang tidak berimbang, perlakukan tidak adil dan merusak kinerja organisasi/perusahaan jangka panjang.
Penelitian juga menunjukkan bahwa dampak nepotisme menyebabkan pekerja/pegawai kehilangan motivasi, kepercayaan diri, keterasingan, menyingkirkan individu yang memiliki kompetensi dan keterampilan serta membatasi persaingan dan inovasi. Sektor pendidikan pun tak luput dari efek negatif. Banyak para orang tua berjibaku lobi sana-sini cari bekingan agar anaknya bisa diterima di sekolah negeri favorit. Ini salah satu penyumbang masalah sepanjang penerapan sistem zonasi.
Maka tak heran dan sudah rahasia umum banyak orang pintar dan hebat di negara kita frustasi lalu memilih berkarier ke negeri lain. Hampir semua sisi kehidupan dihantui fonemena “orang dalam”. Cerita tambah dilematis bagi mereka yang selama kuliah dibiayai APBN/APBD. Negara menuntut balik pengabdian. Tapi ironisnya keahlian mereka tidak dihargai dan dimanfaatkan. Sementara yang modal kedekatan dan pandai menjilat diperlakukan istimewa. Kisah di akar rumput lebih dramatis lagi. Kebanyakan pemuda
Indonesia mengawali hidup dari level terbawah. Berjuang mengukir nama dan reputasi. Sisanya pemuda yang bersyukur mendapat privilege karena status bapak, paman atau handai taulan yang punya kuasa dan jabatan. Kembali membahas konsekuensi nepotisme, pada dasarnya tidak hanya melemahkan fondasi organisasi/perusahaan. Akan tetapi berdampak terhadap pembangunan berikut menurunkan kualitas dan daya saing bangsa secara keseluruhan.
Meritokrasi = Solusi
Meneruskan kembali pidato di awal tulisan, diakhir kesempatan Menhan sempat menyinggung perlunya bangsa menuju ke arah merit sistem atau menurut konsep dikenal dengan meritokrasi. Maknanya status -baik itu sosial, ekonomi, dan politik- yang dicapai seseorang melalui kemampuan dan ikhtiar atau usaha rasional ketimbang penilaian yang didasarkan umur, ras, kelas, gender atau karakteristik personal lain yang tak relevan. Sistem merit kebalikan dari gaya nepotisme atau “koncoisme”. Perkataan Menhan patut disambut baik. Semangat meritokrasi memberikan kesempatan bagi siapa saja orang-orang yang memiliki kemampuan dan prestasi untuk bersaing secara sehat. Di dunia olahraga misalnya, juara tidak dipilih berdasarkan dia anak siapa atau dia keponakan siapa atau dia punya kuasa apa. Tetapi yang terbaik mereka yang menjadi juara.
Namun mengubah keadaan jelas tak semudah membalikkan telapak tangan. Tuturan lisan mesti disertai aksi dan perbuatan supaya perubahan dapat terwujud. Implementasinya harus menjadi SOP dan dimulai dari pemerintahan terlebih dahulu. Sehingga memberi teladan. Ketika meritokrasi dapat terealisasi secara paripurna di tubuh birokrasi, maka pelayanan publik akan maksimal, kinerja meningkat dan membuahkan prestasi.
Terakhir, mumpung suasana Pemilihan Umum (Pemilu) momen berharga. Suara masyarakat sangat berperan dan menentukan mimpi perubahan dari the power of “orang dalam” menuju merit sistem. Waktunya rakyat mendidik Kami kandidat yang berkontestasi. Sehingga para kontestan disadarkan bahwa rakyat selaku pemilih berdaulat dan cerdas memilih wakil dan pemimpinnya.
Berlandaskan parameter visi, misi dan gagasan bukan sekedar gimmick atau kemasan lain. Sistem merit terbukti mekanisme dan cara paling obyektif serta berkeadilan memilih pemimpin yang handal. Rakyat sebagai pemilih melakoni peran sangat signifikan membangun harapan bangsa ke depan. Optimisme inilah yang perlu dijaga. Sebab pondasi sekaligus bekal utama bangun bangsa yang mengedepankan nilai dan prinsip meritokrasi.
Penulis | : | Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |