Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Belakangan warga Pekanbaru dihebohkan pemberitaan pengungsi Rohingya terlantar di pinggir Jalan Sudirman Kota Pekanbaru. Pengungsi berjumlah 13 orang meliputi 6 laki-laki, 6 perempuan dan 1 Balita tersebut sudah diantar pihak Polresta Pekanbaru ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pekanbaru. Pihak Kepolisian turut membeberkan tujuan mereka ke Pekanbaru. "Pengungsi Rohingya sedang mencari suaka di depan Kantor Konsulat Malaysia Jalan Jendral Sudirman Kecamatan Bukit Raya oleh Polresta Pekanbaru," (14/12).
Sementara itu, Gubernur Riau (Gubri) Edy Natar Nasution mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau telah menerima surat dari Pemerintah Pusat yang meminta Pemda menampung pengungsi Rohingya. "Jadi ada surat yang meminta menampung itu (pengungsi Rohingya), kita (Riau) dan Sumatera Barat (Sumbar). Itu mereka dari Aceh, Pusat yang minta karena tidak tertampung di Aceh, sehingga diarahkan ke Riau dan Sumbar," kata Gubri (15/12). Pemprov Riau juga diminta berkoordinasi dengan Pemerintah Kota (Pemko) Pekanbaru menangani para pengungsi. Dalam penyampaiannya, Gubri memohon pengertian masyarakat Riau. “Kita tidak boleh belum apa-apa menolak, coba bayangkan kalau kejadian itu terjadi dengan kita. Kita pelajari terlebih dahulu seperti apa solusinya, dan masyarakat jangan langsung terprovokasi karena kita bicara soal kemanusiaan," Ujarnya lebih lanjut.
Kami selaku lembaga legislatif mengapresiasi langkah Pemprov Riau. Indonesia teguh memang prinsip kemanusiaan sebagai pengejawantahan sila kedua Pancasila “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu perlu cermat dan bijak menelaah persoalan. Secara peraturan perundang-undangan, hak mendapat perlindungan telah ditegaskan dalam Konstitusi RI yakni Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan disinggung di sejumlah peraturan seperti di Undang-Undang (UU) No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU No 37/1999 tentang Hubungan Luar Negeri; dan UU No 1/1979 tentang Ekstradisi. Kendati UU Keimigrasian hanya mengatur tentang masuk dan keluarnya orang asing ke wilayah Indonesia dalam situasi normal. Adapun para pengungsi dan pencari suaka termasuk orang yang hidupnya extraordinary. Sebab mereka mengalami penindasan, penganiayaan dan tak memperoleh perlindungan di negara asalnya.
Laporan Human Rights Working Group tahun 2020 menggambarkan kehidupan etnis Rohingya ibarat penjara tanpa akhir. Begitulah situasi mereka di tanah kelahirannya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Situasi makin rumit asbab tidak ada perlindungan dari Pemerintah di negaranya. Wajar kiranya mereka memilih pergi menggunakan segala cara dan upaya meninggalkan tempat tinggal. Menyelamatkan diri atau mengadu nasib ke daratan lain guna lanjutkan hidup normal layaknya manusia. Sejatinya, isu Rohingya adalah masalah kemanusiaan yang bisa terjadi di mana pun. Tak terkecuali di Indonesia.
Penolakan
Keberadaan pengungsi Rohingya perlu dimanajemen secara baik. Apalagi kabarnya gelombang pengungsi Rohingya ke Indonesia khususnya ke Aceh beberapa waktu terakhir mencapai ribuan orang. Di lapangan, sentimen negatif mencuat sewaktu kedatangan enam kapal pengungsi Rohingya beberapa waktu lalu. Kehadiran pengungsi diwarnai aksi penolakan oleh warga tempatan. Penolakan bukan berarti warga demikian tega. Namun didasarkan pengalaman.
Pengakuan warga Kabupaten Bireun, semua bermula dari sikap para pengungsi yang tak menghargai warga. Padahal dulu masyarakat Bireun sampai membuat kenduri (jamuan) bagi pengungsi Rohingya, menyediakan pakaian layak pakai dan memuliakan mereka. Tapi ketika semua sudah terpenuhi, mereka kabur ke Malaysia. Masyarakat juga menuding pengungsi Rohingya kerap bikin masalah. Mulai kabur dari penampungan, mengeluh ketika diberi makanan, tidak menaati aturan dan norma setempat dan melakukan perbuatan mengganggu ketertiban.
Selain itu, faktor kecemburuan sosial turut mewarnai. Warga memprotes Pemda setempat kalau menyediakan lahan khusus. Kesimpulannya warga memperbolehkan pengungsi tinggal untuk sementara waktu demi alasan kemanusiaan tapi tidak tinggal dalam waktu lama.
Berangkat dari kurang kondusifnya keadaan, Pemerintah dituntut cakap. Memang perkara pengungsi Rohingya dan pengungsi lainnya menempatkan negara kita dalam posisi dilematis. Di satu sisi ada unsur kemanusiaan, tetapi di sisi lain ada hati dan kehidupan warga negara yang mesti dijaga. Tambah dilematis Pemerintah belum mampu menghadirkan kehidupan lebih baik ke warga negara sendiri. Di ranah media sosial, isu berkembang tak terkendali. Netizen bahkan membandingkan perlakuan ke pengungsi dan warga negeri sendiri. Warga protes pengungsi terjamin makanan, diberi uang saku dan sebagainya, sedangkan warga banyak hidup tak layak.
Sekali lagi pangkalnya bukan warga anti pengungsi dan minim empati. Makanya sekarang momen yang membutuhkan pengambilan kebijakan yang tepat. Dimulai dalam negeri. Pemerintah harus menjamin agar perhatian ke pengungsi dan warga negara sama-sama terpenuhi. Kemudian mengedukasi pengungsi biar tahu norma dan adat yang dianut masyarakat. Disamping itu paling utama pengawasan. Supaya mereka terhindar dari gesekan dan problem sosial lainnya yang berpotensi mengganggu kehidupan warga negara.
Berikutnya, peran pemimpin negara dibutuhkan guna mendesak pemerintahan Myanmar melalui forum resmi bilateral, regional dan multilateral perihal etnis Rohingya. Tujuan utama mengembalikan mereka ke negara asal dan tentunya disertai perlindungan pemerintah di negaranya. Sejak dulu Indonesia selalu diperhitungkan di forum luar. Terakhir, memastikan pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia tidak ditunggangi pihak yang memanfaatkan kesengsaraan mereka. Apalagi terungkap pengakuan beberapa pengungsi yang diwawancarai warga Aceh dan media massa, ada indikasi sindikat terorganisir atau agen yang sengaja membantu perjalanan mereka. Malahan kedatangan pengungsi Rohingya tidak gratis. Mereka keluar uang. Seorang pengungsi mengaku membayar Rp 50 juta hingga Rp 66 juta ke agen perjalanan.
"Kami ada agen. Bayar per orang 15 ribu ringgit (setara Rp 50 juta), ada juga yang bayar 20 ribu ringgit (setara Rp 66 juta) per orang," Ucap salah satu pengungsi dikutip dari Antara news, 15/12/2023).
Keuntungan agen mencapai Rp 3,3 miliar. Ini tentu tidak bisa dibiarkan. Bila terdapat dugaan keterlibatan jaringan kriminal perdagangan dan penyelundupan manusia dalam arus pengungsi, maka Pemerintah berkewajiban memutus mata rantai ini. Sehingga, ibarat lilin menerangi kegelapan, ketulusan dan pengorbanan warga Negara menerima pengungsi terus terjaga dan tetap menyala.
Penulis | : | Dr. (H.C) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |