Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota DPRD Provinsi Riau)
|
Kita semua paham bahwa pahlawan bukan sosok sembarangan. Pahlawan tidak semata dilihat pada dampak positif tindakannya. Namun juga ketulusan. Hal disebut terakhir inilah yang membuat mereka istimewa di mata manusia terlebih lagi di mata Tuhan. Ketulusan mengorbankan apa yang berharga untuk kemaslahatan orang banyak. Sekalipun nyawa sendiri.
Dalam ajaran Islam, seseorang yang mati karena melindungi haknya -termasuk dalam konteks ini membela bangsa dari penjajah yang merampas negeri- digelari syahid dan dijamin masuk syurga. Ganjarannya bahkan telah ditampakkan seketika kala ruh lepas dari jasad. Sering kita diperdengarkan kisah jasad orang yang mati syahid dalam keadaan wangi. Ketulusan melahirkan spirit diluar dugaan. Inilah yang mengobarkan pertempuran Surabaya 78 tahun nan lalu yang begitu dahsyat selama lebih kurang tiga minggu. Banyak pejuang gugur dan warga sipil menjadi korban dalam pertempuran tersebut.
Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara,
Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian.
Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
Demikian sepenggal kalimat dari pidato lantang Bung Tomo melalui Radio milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) yang berhasil menggugah dan membakar semangat jelang pecah pertempuran Surabaya. Setelah sebelumnya sekutu sempat mengancam Gubernur Jawa Timur (Jatim) akan menduduki Surabaya jika tak mampu mengendalikan keadaan. Serta menekan pemimpin republik, komandan laskar dan seluruh pemuda bersenjata agar menyerah. Puncaknya, 10 November 1945 Gubernur Jatim melalui radio menolak ultimatum yang akhirnya memicu peristiwa bersejarah dan peperangan terbesar paska kemerdekaan.
November dikenang bukan hanya pertempuran di daratan Jawa. Daerah lain sebenarnya ikut bergejolak walau intensitasnya berbeda. Termasuk Riau punya kisah tak kalah epik. Sayang tak banyak yang tahu kontribusi Riau di masa lalu. Tercatat tanggal 28 November 1945 Sultan Syarif Kasim II mengirim pesan kawat ke Presiden Sukarno. Isinya menyatakan tekad Kesultanan Siak Sri Inderapura berdiri teguh di belakang Republik Indonesia (RI). Dukungan tak sekedar lisan. Sultan turut menginfakkan 13 juta gulden (yang jika di rupiahkan sekitar 1,4 triliun rupiah) untuk mendukung jalannya roda pemerintahan.
Riau juga menyumbang nama besar lain. Mungkin Hasan Basri agak asing di telinga kita. Atau pernah dengar tapi kurang tahu siapa nama dimaksud. Ya, nama tersebut tercatat sebagai Pahlawan Nasional dan diabadikan jadi nama jalan di Pekanbaru. Beliau lahir 8 April 1927 di Desa Meranti Bunting, Kecamatan Merbau. 1 November 1945, ketika menjabat Wakil Gubernur Militer Wilayah Riau, Letkol Hasan Basri membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Selatpanjang yang berada di bawah Karesidenan Riau.
Inisiatif beliau terbilang jitu meski beresiko bagi keselamatannya. Di matanya, Selatpanjang sangat rawan berhubung jumlah pendatang lebih banyak dibanding penduduk asli. Efeknya rentan disusupi pihak luar yang menggerogoti atau anti kemerdekaan. BKR bukan hanya bertugas menjaga stabilitas keamanan, paling utama menunjukkan eksistensi militer Indonesia. Kita masyarakat bumi lancang kuning pantas berbangga atas andil Riau dalam sejarah berdirinya negara RI.
Keikhlasan
Berangkat dari pemaparan, di hari spesial ini sudah semestinya kita menyempatkan waktu menapaktilas sumbangsih para pahlawan di masa lampau. Disamping wujud rasa syukur, lebih esensial lagi mengambil pelajaran perjuangan mereka. Pengorbanan mereka puncak keikhlasan. Ini merupakan level terberat dan tersulit selaku manusia. Mereka tak pernah mengaku pahlawan. Tak terlintas di benaknya suatu waktu orang-orang akan menggelarinya pahlawan. Di pikiran mereka hanya ada keinginan untuk menegakan kebenaran, memerangi kezaliman, kemungkaran dan ketidakadilan. Tanpa terbersit sedikitpun dalam diri mereka berjasa kepada negeri. Tak pula terbayang akan dibuatkan monumen guna mengenangnya.
Itulah kenapa 10 November didedikasikan untuk mengingat mereka. Dengan mengingat mereka kita disadarkan hal esensial yang perlu dimiliki sebagai modal berharga membangun bangsa. Sebab bangsa yang tak pernah menghargai sejarah tak punya masa depan. Sejarah bukan bermakna seni bernostalgia, tapi menyajikan ibrah yang bisa kita tarik ke masa sekarang dan mempersiapkan masa mendatang yang lebih baik.
Refleksi semakin diperlukan menimbang kondisi kekinian. Dimana tersaji begitu banyak paradoks di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Boleh dibilang kita memasuki fase penuh ironi dan cukup mengkhawatirkan. Betapa tidak. Tersaji kasatmata pihak yang menyerukan kebenaran disudutkan dan dipojokkan biar tampak salah. Sementara kezaliman dipoles supaya tampak benar. Ada sosok dipuja secara berlebihan, masih bernyawa tapi banyak dibuat patungnya. Seakan-akan telah berbuat luar biasa dan mengorbankan miliknya paling berharga.
Adapula menggunakan alat negara, mengacaukan tatanan dan etika bernegara demi memuluskan nafsu berkuasa dan kepentingan kelompoknya tapi tetap ada membela. Teranyar munculnya orang mengaku warga negara Indonesia tetapi berpihak ke penjajah israel. Fenomena tadi mengindikasikan bahwa mentalitas kaum terjajah masih bersemayam di negeri ini. Sungguh sudah jauh melenceng dari filosofi Pancasila dan UUD 1945 serta berseberangan dengan nilai yang diwariskan oleh para pahlawan. Oleh karena itu, ancaman laten dan upaya pembusukan sendi-sendi kehidupan bangsa harus ditentang.
Untuk mengimbangi ketidakwarasan yang sedang terjadi, kunci satu-satunya meregenerasi spirit kepahlawanan. Perjuangan para pahlawan memang tidak mewariskan harta yang bisa dinikmati generasi sesudahnya. Tapi meninggalkan modal mendasar yakni mentalitas. Kendati tak mungkin bagi kita menyamai tingkat perjuangan para pahlawan, tetapi kita dapat meniru komitmen dan ketulusan mereka sesuai kapasitas dan kadar kemampuan.
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |