Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM.
|
Jika kita selalu melindungi anak dari kesalahan yang mereka perbuat, kelak saat dewasa kita akan membayar pengacara membela kejahatan yang mereka lakukan. Mendisiplinkan bukan kekerasan terhadap anak. (kata bijak)
Tenaga pengajar di zaman now menjadi profesi paling “menantang”. Sudahlah masih banyak berjuang hidup dari bulan ke bulan dan secara ekonomi tergolong prasejahtera, sekarang ditambah dilema manakala menjalankan pengabdian seiring fenomena meningkatnya kasus pelaporan guru ke pihak penegak hukum. Teranyar kasus melibatkan seorang guru agama di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mengutip dari media massa, setelah kasusnya viral, sang guru akhirnya buka mulut mengungkap kronologi penyebab dirinya dilaporkan ke polisi. Semua berawal ketika ia menghukum siswa yang tak mau diajak sholat.
Berdasarkan kronologis diperoleh dari guru dan teman sekolah yang berada di TKP, guru bersangkutan sempat berulangkali menghimbau siswa-siswa yang sedang nongkrong untuk menunaikan shalat. Sebagian patuh tapi beberapa tak menggubris. Malah guru mendapat tatapan sinis dari seorang siswa yang kemudian mendapat hukuman. Dari ulasan media terkuak pula bahwa guru bersangkutan berstatus honorer dan bergaji Rp. 800 ribu sebulan. Paska peristiwa, selain dilaporkan ke polisi, orangtua murid juga menuntut sang guru Rp. 50 juta. Sungguh nahas.
Menerapkan hukuman kepada siswa lazim khususnya di negara-negara timur. Terlebih di Jepang aturan ketat berlaku dan sanksi keras menanti. Teruntuk Indonesia punya pengalaman sama. Dahulu kita menganggap biasa tindakan guru mendisiplinkan anak didik (murid) dari perbuatan tak baik. Tak jarang setelah dihukum guru, di rumah dikasih “bonus” dari orangtua yang dapat bocoran kelakuan anaknya di tempat belajar. Namun di era saat ini para guru merasa cemas bila mau mendisiplinkan anak didik.
Salah-salah siswa mengadu ke orangtua dan guru dituduh melakukan tindak kriminal dan kekerasan. Ujungnya diadukan ke polisi dan dijerat hukuman pidana. Bicara pendekatan hukuman siswa didik juga mengalami perkembangan signifikan sehubungan dialektika ilmu mendidik yang terus berkembang. Satu sisi pertanda baik tapi sisi lain berpotensi mengorbankan penegakan kedisiplinan. Sulit bicara disiplin tanpa penerapan konsep reward dan punishment; penghargaan dan hukuman. Nabi Muhammad SAW saja bersabda: “Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat di umur 7 tahun, dan pukul mereka karena meninggalkan shalat di usia 10 tahun” (HR. Abu Dawud). Memang idealnya dunia pendidikan hendaknya dipenuhi pendekatan persuasif. Tapi bukan berarti mengenyampingkan hukuman.
Mendidik Tak Mudah
Tanpa bermaksud membenarkan penggunaan hukuman fisik di dunia pendidikan, membentuk karakter baik dan disiplin tak semudah retorika. Selain itu, hukuman dimaksud disini berorientasi mendidik. Bukan keras apalagi sampai menciderai. Karena tabiat manusia beragam. Ada yang mudah menerima nasehat dan ada yang mesti diberi stimulus. Kalau upaya mendisiplinkan dan membenarkan yang keliru cukup modal persuasif, lantas apa guna penjara?
Peraturan perundang-undangan sebenarnya sudah menjamin hak guru. Termasuk menegur dan menghukum murid ketika berbuat salah dan melanggar norma/peraturan meski terkadang keluarga murid tak terima. Semisal pasal 39 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 74/2008 dinyatakan: “Guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta didiknya yang melanggar norma agama, norma kesusilaan, norma kesopanan, peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang ditetapkan guru, peraturan tingkat satuan pendidikan, dan peraturan perundang-undangan dalam proses pembelajaran yang berada di bawah kewenangannya.” Lanjut di ayat 2 dipaparkan sanksi dapat berupa teguran dan/atau peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan kaedah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 40 dipaparkan pula bahwasanya saat melaksanakan tugas, guru berhak mendapat perlindungan, rasa aman dan jaminan keselamatan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah (Pemda), satuan pendidikan, organisasi profesi guru, dan/atau masyarakat melalui perlindungan hukum, profesi dan keselamatan dan kesehatan kerja. Terakhir dipertegas di pasal 41 perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, atau pihak lain. Artinya upaya mempidanakan guru saat mendisiplinkan peserta didik justru pelanggaran. Memang ada oknum tenaga pengajar bertindak di luar batas. Jika melanggar hukum dapat diproses. Akan tetapi tindak menghukum dan mendisiplinkan dalam batasan mendidik tak semestinya dipidanakan.
Kita patut khawatir tatkala proses pendisiplinan tak berjalan. Ancamannya ke generasi masa depan bangsa. Tampak kasatmata implikasinya. Akhir-akhir ini ramai kasus kekerasan melibatkan pelajar. Berdasarkan data Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang dihimpun Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM rentang 2020-2022, terdapat 2.304 kasus kejahatan pelaku anak. Mulai pencurian (838 kasus), Narkoba (341 kasus), penganiayaan (232 kasus), senjata tajam (153 kasus), pencabulan/pelecehan (173 kasus), pembunuhan (48 kasus), pemerkosaan (26 kasus) dan lain-lain (pornografi, perlindungan anak, penipuan, pengancaman dengan kekerasan, penadahan, laka lantas, pengrusakan, penyelundupan, penggelapan dll) sebanyak 491 kasus.
Riau tak luput. Baru-baru ini Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dan Sektor Tampan meringkus sembilan pelaku kejahatan di jalanan. Mirisnya sebagian besar anak di bawah umur. Menurut keterangan Polresta Pekanbaru, para pelaku melakukan aksinya secara berkelompok dan menyerang korbannya secara acak. Mereka menggunakan senjata tajam yakni celurit. Disamping itu marak kasus kekerasan atau bullying yang pelakunya melibatkan pelajar atau usia anak. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus perundungan di lingkungan sekolah paling banyak terjadi di SD dan SMP.
Menarik disorot laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang memaparkan penyebab tingginya angka kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Antara lain disebabkan Learning loss dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) selama pandemi. Imbasnya mayoritas orangtua siswa mengeluh susah mengendalikan sikap karakter anaknya. Kami di Komisi 5 menerima keluhan ini sepanjang metode belajar daring diterapkan.
Intinya lingkungan keluarga mengaku menyerah, kewalahan dan kesulitan tanpa keterlibatan satuan pendidikan. Bagaimanapun sekolah, madrasah dan sarana pendidikan lainnya bagian tak terpisahkan dan efektif membentuk kedisiplinan. Ironisnya kini tenaga pendidik dihadapkan pada dilema gara-gara mencuat kasus pelaporan guru. Mending cari jalan aman. Mau mendidik dan mendisiplinkan takut diadukan. Sementara siswa yang melanggar norma dan aturan makin melunjak asbab merasa dilindungi. Jadi daripada repot, para guru memilih fokus ke aktivitas pembelajaran yang menitikberatkan pencapaian target kognitif semata. Tak ambil pusing pengemblengan mental dan penegakkan disiplin. Dapat dibayangkan apabila hal tadi terjadi. Dampaknya pendidikan dan penguatan karakter kurang diperhatikan. Kalau sudah begini mau salahkan siapa?
Penulis | : | Dr. (H.C.) H. Sofyan Siroj Abdul Wahab, LC, MM. (Anggota Komisi V DPRD Provinsi Riau) |
Editor | : | Ali |
Kategori | : | Cakap Rakyat |